BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Pemilihan Tema
Rumusan baku Gereja tentang Trinitas – sebagaimana sekarang ini – tidak terjadi begitu saja: butuh proses yang panjang dalam perjalanan sejarah Gereja. Gereja berkembang dan bertumbuh dalam sejarahnya. Kita tahu bahwa pada awalnya lingkungan agama Kristiani yang asali, yaitu agama Yahudi, amat ketat monoteismenya. Monoteisme dipeluk bersama-sama oleh orang Kristen dan orang Yahudi meskipun sebenarnya dengan pemahaman yang berbeda-beda.
Selain percaya akan Allah dalam arti YHWH, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, orang Kristen juga percaya akan Yesus Kristus. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa lewat peristiwa Inkarnasi-lah (Allah yang menjadi manusia dalam Diri Yesus Kristus) titik tolak munculnya persoalan trinitaris dalam Gereja. Memang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tidak ada “rumusan baku” tentang Allah Tritunggal. Akan tetapi, akar-akar ajaran Trinitas dapat ditemukan dalam Kitab Suci. Khususnya dalam Perjanjian Baru terdapat benih ataupun akar suatu konsep tentang Allah yang cocok untuk dikembangkan dan dijelaskan lebih lanjut menurut garis-garis doktrinal menjadi apa yang di kemudian hari disebut “ajaran Trinitas”. Pemahaman akan Kristus yang sedang berkembang dalam lingkungan umat purba ditentukan juga oleh Roh Kudus sebagai nilai pengalaman lain di samping Bapa.[1]
Tidaklah mengherankan bila dalam perjalanan awal sejarah, Gereja mengalami jatuh bangun dalam merumuskan siapa Allah Tritunggal. Kadang-kadang mereka menempuh jalan yang kemudian hari disadari sebagai keliru, lantas mereka merasa perlu menelusuri kembali langkahnya, dan mulai lagi menempuh jalan yang benar. Dan, Gereja awal menyadari bahwa mengulang-ulangi ayat Kitab Suci yang menyebut Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus tidaklah mencukupi. Dari pada mengulangi triade-triade alkitabiah tadi, Gereja perlu mengembangkan imannya lebih lanjut. Dan, hal itulah yang memang terjadi dalam abad-abad selanjutnya.[2]
Ketika menjalani masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di Paroki St. Pius X – Aekkanopan, penulis berhadapan dengan banyak soal-soal teologis menyangkut pribadi Tritunggal. Sebenarnya pertanyaan mereka sudah sangat umum: Bagaimana bisa dimengerti Allah itu satu tetapi tiga. Maka makalah sederhana ini berupaya untuk membahasakan rumusan trinitaris 1=3 dan 3=1 dalam bingkai dan latar belakang pengalaman TOP tadi, kendati penulis berhadapan dengan ambivalensi: di satu pihak rumusan itu penting, tapi di lain pihak sulit menemukan bahasa sederhana untuk memaparkannya.
Memang, memahami rumusan Trinitaris tadi tidaklah gampang, namun menantang juga. Menantang, karena sebagaimana disebut tadi, Iman Gereja yang baku seperti sekarang, tidak terjadi begitu saja. Dibutuhkan proses yang panjang dalam sejarah. Dalam perjalanan sejarah Gereja itulah, salah satu pemikiran tokoh sejarah Gereja yang penting yakni Origenes diuraikan di sini. Origenes adalah salah satu teolog kuno pertama dalam sejarah Gereja yang mencoba merumuskan hakikat Allah Tritunggal tersebut. Seberapa pentingkah ia dan ajarannya dalam perkembangan Gereja selanjutnya? Apa sumbangan pemikiran Origenes itu bagi ilmu teologi, khususnya teologi Trinitas? Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik hati penulis untuk mendalami secara khusus pemikiran Trinitaris Origenes.
- Perumusan dan Pembatasan Tema
Pertanyaan akan Allah adalah pertanyaan abadi umat manusia. Manusia terus mencari dan ‘mendefinisikan’ Tuhan. Namun, bukan karena dirumuskan, maka itulah Tuhan. Tuhan sebegitu besar dan Mahaluas, misteri. Tuhan tetaplah Tuhan pada Diri-Nya. Dia tidak pernah bisa dimengerti oleh manusia sepenuhnya dan tak pernah tuntas oleh pikiran manusia tersebut. Namun, sebagai manusia, kita tetap perlu mencari-Nya dan merefleksikan siapa Dia dalam perjalanan hidup kita.
Narasi sederhana ini sangat membantu dalam memahami pergumulan umat Kristen di awal-awal kehidupan berimannya. Lewat peristiwa Inkarnasi dan janji pengutusan Roh Kudus oleh Yesus dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, iman umat Perdana mulai bertanya-tanya tentang “Allah Trinitas”. Iman mereka yang bertumbuh kuat dalam monoteisme kental Yahudi berhadapan dengan persoalan siapa Bapa, Yesus, dan Roh-Kudus. Bahkan Paulus sampai kepada perumusan ucapan berkah: “Kasih Karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kami sekalian” (2Kor 13:13). Dalam arti yang ketat, rumusan ini belum dapat dikatakan “trinitaris” karena ketiga nama itu hanya dideretkan saja tanpa merefleksikan keesaan Allah.
Sebagaimana dikatakan tadi, Gereja perlu merumuskan imannya. Baru menjelang abad II dan sepanjang abad III menjadi lebih jelas bagaimana sebenarnya paham Kristiani tentang Allah. Pemikir paling berjasa dalam hal ini adalah Ireneus dari Lyon, Tertullianus, dan Origenes. Namun, mengingat banyaknya rumusan-rumusan yang muncul di awal abad kekristenan, penulis membatasi pemikiran trinitaris hanya pada tokoh Origenes. Tokoh-tokoh (yakni Ireneus dan Tertullianus) dan aliran lain akan disebut sejauh terkait dengan konteks Origenes dan pemikirannya. Maka, tulisan ini dibatasi dan diberi judul: Pemahaman Trinitaris tentang Rumusan 1=3 dan 3=1: Suatu Pandangan Trinitaris Origenes.[3]
- Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dalam rangka mengetahui pemikiran trinitaris dalam sejarah awal Gereja dengan segala dimensinya. Untuk itu, sedapat mungkin pemahaman komprehensif di sekitar awal abad itu sengaja dipaparkan di sini, tetapi terlebih pemikiran Origenes sebagai inti tulisan ini.
Di samping itu, tujuan penulisan makalah ini ialah hendak menanamkan kesadaran penulis dan juga para pembaca perihal pewahyuan Allah dalam dinamika perjalanan Gereja. Allah peduli dan aktif menyapa umat-Nya, sebagaimana nyata dalam Perjanjian Lama. Manusia terbatas oleh ruang dan waktu, tetapi Allah bersifat supranatural dan tak terbatas. Oleh karena itu, sebagai manusia kita membutuhkan suatu rumusan yang baku. Maka, perumusan Trinitaris khususnya Origenes serentak menyadarkan insan Gereja bahwa rumusan baku triniter sekarang ini adalah hasil perjalanan panjang Gereja dan pergumulannya. Kesadaran ini menumbuhkan “sensus ecclesiae” di pihak penulis dan semoga juga bagi para pembaca.
- Metode Penulisan dan Pembahasan
Dalam menyusun makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Pemikiran Origenes didalami lewat buku-buku teologi secara umum dan buku dari serta tentang Origenes sendiri. Penulisan makalah ini mengikuti Pedoman Penulisan Skripsi yang berlaku pada Fakultas Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas, Medan-Sumatera Utara, edisi 2009.
- Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi dalam lima bab tulisan, yang didahului dengan kata pengantar dan daftar isi. Panjang setiap bab diusahakan tersaji sangat padat dan singkat. Adapun pembagian dan pokok perbincangan bab-bab itu diuraikan sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang pemilihan tema, perumusan dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penulisan dan penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II adalah Riwayat hidup Origenes dan juga konteks pemikiran Origenes. Di dalamnya dibahas perkembangan iman trinitaris Origenes pada abad I-III dan pokok-pokok teologi dua pendahulu Origenes (Ireneus dan Tertulianus).
Bab III adalah inti makalah ini. Di dalamnya dipaparkan sumbangan pemikiran trinitaris Origenes sekaligus refleksi sistematis dari penulis tentang percaya kepada satu Allah dengan tiga pribadi dengan bercermin pada pemikiran Origenes.
Bab IV adalah penutup. Di sini dituliskan perihal kesimpulan pembicaraan dari awal sampai akhir makalah ini. Sesudahnya penulis memberi sedikit refleksi kritis atas pemikiran Origenes.
BAB II
KONTEKS PEMIKIRAN ORIGENES
- Riwayat Hidup Origenes
Origenes lahir sekitar tahun 185 dari orang tua kristiani, barangkali di Aleksandria. Ayahnya, Leonidas, dibunuh karena iman sebagai martir. Karena warisannya disita oleh negara, Origenes mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya dengan mengajar. Sekolah termasyhur untuk katekumen di Aleksandria berantakan ketika Klemens, kepalanya harus melarikan diri karena penganiayaan (oleh Kaisar Septimus Severus). Uskup Demetrius mengangkat pemuda Origenes pada umur 18 tahun menjadi pengganti Klemens. [4]
Namun karena tidak disenangi oleh uskupnya dan dipecat, maka Origenes membuka perguruan serupa di Kaisarea, Palestina, dengan dukungan uskup setempat (tahun 230). Menjelang akhir hidupnya, oleh pemerintah (Decius), Origenes dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa dengan ngeri. Dan, itu menyebabkan kematiannya.
Pikirannya dituangkan ke dalam sejumlah besar tulisan (konon sekitar 2000!) dan untuk kerjanya Origenes menggunakan suatu staf besar (7 stenograf, 7 penulis, sejumlah puteri yang merias tulisannya). Ada karya raksasa di bidang Kitab Suci yang biasa disebut “Hexapla” dan di samping itu sejumlah besar komentar atas Kitab Suci, yang bermacam-macam jenisnya. Teologi sistematiknya terurai dalam karya besar “Mengenai pokok-pokok utama” (Iman kepercayaan kristen – Peri Arkhon/De Principiis) dan sebuah karya apologetis “Melawan Celsus” (seorang filsuf Yunani yang menyerang kekristenan dalam karyanya “Alethinos Logos” – pikiran yang benar).[5]
- Perkembangan “Iman Trinitas” Gereja Purba pada Abad I-III
2.1 Abad I: Munculnya Pemikiran tentang Trinitas
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tidak ada ajaran tentang Allah Tritunggal. Hal ini tidak mengherankan sebab pada umumnya kitab suci Perjanjian Baru kurang bermaksud menyampaikan ajaran tertentu. Tujuan utamanya adalah memaklumkan Kerajaan Allah. Namun, akar-akar ajaran Trinitas dapat ditemukan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tersebut. Akar-akar ajaran Trinitas itu bisa dipahami demikian.
Allah Perjanjian Baru adalah Allah Yang Esa. Lingkungan agama kristiani yang asali, yaitu agama Yahudi, amat ketat monoteismenya. Berlawanan dengan politeisme yang dianut oleh bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal YHWH. Monoteisme dipeluk bersama-sama oleh orang Kristen dan orang Yahudi meskipun pemahaman yang berbeda-beda.[6]
Selain percaya akan Allah dalam arti YHWH, Allah Abraham dan Allah Ishak, orang Kristen juga percaya akan Yesus Kristus. Berkat terjadinya peristiwa Yesus dalam sejarah umat manusia, kita diperkenalkan dengan misteri Trinitas. Bisa dikatakan bahwa setelah Yesus dari Nazareth hilang dari panggung sejarah mulailah berkembang sesuatu yang boleh diistilahkan sebagai “kristologi”. Mereka yang dahulu menjadi pengikut Yesus mulai memikirkan, mengkonseptualkan dan membahasakan Yesus dan pengalaman mereka dengan Yesus. Kesadaran akan situasi itu hanya bisa menimbulkan rasa kagum atas prestasi teologis yang menjadi jasa unggul dua-tiga generasi kristen pertama seperti yang tercantum dalam karangan-karangan Perjanjian Baru.[7]
Kita tahu bahwa iman para murid berakar dalam peristiwa kebangkitan. Yesus yang telah bangkit itu dikenal sebagai Anak Allah (Rm 1:4). Hanya dalam rangka kepercayaan akan Allah, Sang Bapa, maka pengakuan iman akan Yesus itu memperoleh bobotnya.
Kristus yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa itu diyakini sebagai Juru Selamat yang bersatu dengan Bapa secara tak terpisahkan dan tak terbandingkan, dan dengan cara itu juga menjadi gambar Allah (2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dalam diri Yesuslah, Logos ilahi yang pada awal mula bersama-sama dengan Allah telah menjelma menjadi manusia. Dengan demikian ditegaskan di sini bahwa Yesus Kristus itu pra-ada: Ia sudah ada sebelum Ia di bumi ini (Yoh 1:1-18). Juga beberapa teks lain menyebutkan atau mengandaikan pra-eksistensi Kristus itu (Flp 2:5-11; Rm 8:32; 2 Kor 8:9). Pelbagai pengarang Perjanjian Baru berpikir tentang Yesus sebagai Allah, tanpa melepaskan keyakinan bahwa Yesus pun seorang manusia sejati.
Pemahaman akan Kristus yang sedang berkembang dalam umat purba itu ditentukan juga oleh Roh Kudus sebagai nilai pengalaman yang lain di samping Bapa. Roh hanya dapat didekati melalui Kristus, dan Kristus melalui Roh. Maka, Roh Kudus tidak dapat disamakan dengan Bapa maupun dengan Putera. Menyadari bahwa dalam ketiga nama ilahi termaktublah seluruh tindakan penyelamatan, Paulus merumuskan ucapan berkah: ”Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor 13:13).
Dalam tulisan lain Perjanjian Baru masih terdapat beberapa teks lain yang menyebutkan triade Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dalam arti yang ketat, rumus ini belum dapat dikatakan ”trinitaris” karena ketiga nama itu hanya dideretkan saja tanpa merefleksikan keesaan Allah. Juga Ef 4:4-6 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut walaupun menekankan kata ”satu”: orang kristen percaya akan satu Allah, bukan tiga allah. Begitu pula perintah untuk membaptis dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat 28:19) tidak memaksudkan tiga nama melainkan satu, sebagaimana tampak dari bentuk tunggal dari kata Yunani onoma (nama). Pengakuan akan Allah yang satu itu rupanya tidak menghindari Santo Paulus untuk juga mengakui Tuhan yang satu (1Kor 8:6;bdk. Gal 3:20; 1Tim 2:5) dan Roh yang satu (1Kor 12:11-13).[8]
2.2 Abad II: Inkulturasi Pemikiran Yahudi ke Dunia Hellenis
Pada abad kedua, titik berat Gereja berpindah dari lingkungan Palestina (Yahudi) ke alam pikiran Yunani. Dengan demikian, Gereja dihadapkan pad masalah inkulturasi: perlu mengungkapkan iman kepercayaannya ke dalam suatu ”bahasa” yang dapat dimengerti oleh mereka yang berbudaya Hellenis.
Pemikiran Yunani berbeda dari pemikiran Ibrani. Bagi orang Israel kebenaran Allah diwahyukan dalam sejarah, sedangkan bagi orang Yunani kebenaran itu didasarkan pada tatanan ontologis, yaitu hal ”mengada”. Inkulturasi tadi mengakibatkan bahwa cara bicara alkitabiah yang konkrit itu diganti dengan konsep-konsep metafisis yang berpusatkan masalah ”mengada”. Para apologet Gereja perdana bertindak sebagai perintis inkulturasi ketika mereka mempersatukan konsep Yunani logos dengan gagasan Logos dalam Prakata Injil Yohanes (1:1-18) dan memandangnya sebagai kepribadian tersendiri.
Pada abad kedua ini, kaum monarkian[9] berusaha membela ke-tunggal-an Allah (monoteisme). Gereja kurang tertarik dengan jalan yang ditempuh oleh kaum monarkian tersebut meskipun tujuan Monarkianisme patut dipuji, yakni mempertahankan monoteisme. Monarkianisme dinamistik cenderung ke arah pemahaman bahwa Yesus Kristus bukan sungguh-sungguh Allah (semi-Allah). Sementara monarkianisme modalistik berusaha menghilangkan perbedaan-perbedaan antara Bapa dan Putera.[10]
Selain aliran monarkianisme, pelbagai sistem gnostik[11] juga turut mempengaruhi pembentukan ajaran Gereja tentang Allah Tritunggal. Menurut pandangan hidup gnosis, dunia secara dasariah buruk. Ia merupakan hasil kekeliruan besar. Dunia seadanya suatu penipuan belaka, yang berpancar dari sesuatu yang buruk. Dunia yang sesungguhnya, dunia sejati ialah dunia ilahi, suatu prinsip ilahi yang tidak terjangkau dan tidak tercapai. Antara dunia, prinsip ilahi terpasang berbagai tingkat atau lapis lain yang memang berpangkal pada yang ilahi, tetapi semakin rendah tingkatnya semakin buruk. Tingkat terbawah, tingkat material yang dialami manusia ialah tingkat yang paling buruk. Manusia sejati, manusia sebenarnya berciri ilahi, semacam bunga api yang tercetus dari yang ilahi. Tetapi manusia sejati itu terjatuh dan terkurung dalam dunia material ini dengan segala keburukan dan hawa nafsunya. Penyelamatan manusia justru pembebasannya dari kurungan itu dan kembalinya manusia sejati kepada asal-usulnya, yang ilahi. Hanya manusia sejati sudah lama lupa akan asal-usulnya sehingga malah tidak tahu lagi siapa dirinya dan apa itu penyelamatannya dan betapa buruk situasinya. Supaya selamat manusia membutuhkan ”pengetahuan” (gnosis).
Yang Ilahi tidak lupa akan apa yang berasal dari dirinya, yaitu manusia. Maka yang ilahi dari tingkat teratas mengutus seorang penyelamat, Manusia asli sejati, yang membawa gnosis yang perlu, menyampaikan ”wahyu” yang membuka mata manusia yang buta dan lupa itu.[12]
2.3 Abad II-III: Unsur-unsur Awal Ajaran Trinitas
Gnosis yang tersebar luas pada umat Kristen selama abad II sungguh membahayakan identitas kepercayaan Kristen dan identitas Yesus Kristus yang menjadi tokoh mitologis belaka. Maka gnosis itu tidak dapat tidak memancing reaksi dari pihak Kristen. Beberapa tokoh layak disebut di sini: Agrippa Castor, Philippus dari Gortyna, Rhodon, Candidus, Apion, Sextus, Heraklitos, Heggesippus, dan terutama Ireneus dan Tertullianus. Oleh karena kedua tokoh terakhir ini paling gigih menghadapi gnosis, maka kedua tokoh ini akan dipaparkan secara khusus sebelum Origenes. Suatu keuntungan dari gnostisisme itu adalah bahwa umat Kristen dipaksa memperdalam imannya.[13] Dapat dikatakan bahwa baru pada abad II dan sepanjang abad III menjadi lebih jelas bagaimana sebenarnya paham Kristiani tentang Allah.[14]
2.3.1 Pokok-pokok Pemikiran Ireneus[15]
Ireneus sangat menekankan keesaan Allah begitu kuat sehingga ia tidak segan-segan memakai ungkapan yang berbunyi modalistik, seakan-akan Putera dan Roh hanya penampakan saja dari Allah Yang Esa itu. Misalnya, dikatakannya bahwa ”menurut ada dan kuasa-Nya, Allah itu pada hakikatnya esa”, namun ia juga berkata, ”akan tetapi menurut peristiwa dan pelaksanaan penebusan terdapat Bapa dan Putera.” Dengan cara begini Ireneus berharap mencegah ungkapan pluralistik berhubungan dengan Allah. Di lain pihak, perbedaan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus pun ingin dipertahankannya. Ia juga mengajarkan bahwa sejak kekal Allah mempunyai sabda dan kebijaksanaan yang bersama-sama dengan-Nya. Putera lahir dari Bapa sebelum adanya waktu. Ireneus menolak spekulasi apa pun yang berusaha masuk lebih lanjut ke dalam misteri kelahiran Sang Putera ini.[16]
Menurut Ireneus sang logos layak disebut Anak Allah karena dengannya segala sesuatu dijadikan dan dipertahankan. Ireneus sebenarnya banyak dipengaruhi tradisi Yohanes lantas bergerak dalam alam pikiran Plato-Stoa yang berusaha menekankan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Firman Allah, Anak-Nya yang kekal pada saat tertentu menjadi manusia benar dan utuh. Gagasan Ireneus yang sudah lazim tentang logos ini digabungkan dengan pikiran Paulus sekitar solidaritas, kesetiakawanan timbal balik antara Yesus Kristus dan manusia seadanya. Yesus Kristus menjadi senasib dengan manusia berdosa, supaya manusia berdosa menjadi senasib dengan Yesus Kristus yang dibangkitkan dengan Allah.[17]
2.3.2 Pokok-pokok Pemikiran Tertullianus[18]
Ajaran Tertullianus menyerupai ajaran Ireneus sebab ia pun mulai dengan pribadi Allah yang di dalam Dia ada Sabda dan Roh. Sabda dan Roh itu lahir dari Allah untuk penciptaan dunia. Karya Tertullianus begitu penting bagi perkembangan ajaran trinitas karena dialah yang menempa rumus-rumus tepat yang mengungkapkan baik keesaan Allah maupun ketigaan pribadi. Ia mau berpegang teguh pada hakikat Allah yang esa dalam tiga pribadi yang berhubungan satu sama lain.
Dalam hakikat Allah yang satu terdapat tiga pribadi, tetapi adanya tiga pribadi itu tidak berarti bahwa ada lebih dari satu Allah. Ketiga pribadi itu berbeda bukan dalam kondisi melainkan dalam bentuk, bukan dalam kuasa melainkan dalam rupa.
Istilah ”Trinitas” untuk menunjukkan ketiga pribadi ilahi dipakai pertama kali oleh Tertullianus. Begitu juga istilah ”persona”[19] yang menjadi begitu tersohor dalam perkembangan selanjutnya. Logos dalam pandangan Tertullianus berlainan dengan Bapa ”dalam arti person, bukan substansi, demi pembedaan bukan demi pembagian”. Istilah persona diterapkannya pula pada Roh Kudus yang disebutnya ”Pribadi ketiga”.[20]
Tertullianus tidak setuju dengan Praxeas yang mengatakan bahwa Bapa dan Putera dan Roh Kudus satu dan sama saja. Dalam hal ini, Tertullianus merupakan pembela yang mempertahankan dengan kuat sekaligus monoteisme dan ajaran trinitas. Dengan Firman segala sesuatu dijadikan. Pada saat penciptaan Firman itu keluar dan dilahirkan dan menjadi Anak yang sesungguhnya. Firman itu mesti disebut sesuatu yang berdiri sendiri. Ia itu, Anak sulung, diperanakkan sebelum segala sesuatu. Ia keluar dari Bapa. Bapa dan Anak (serta Roh Kudus) sebenarnya suatu kesatuan (unum) tetapi tidak satu (unus). Bapa adalah seluruh zat (substantia), tetapi Anak suatu jabaran (derivatio) dari keseluruhan dan bagian (portio), seperti sinar matahari. Bapa dan Anak (dan Roh Kudus) adalah dua (tiga), tidak dalam keberadaan (status), tetapi dalam tingkat (gradu), tidak dalam zat (substantia), tetapi dalam bentuk (forma), tidak dalam kuasa, tetapi dalam rupa (specie). Memang melihat ini, ucapan-ucapan Tertullianus bernada subordionis[21]: Anak adalah semacam Allah kedua, Allah yang kemudian, namun benar-benar ilahi. Firman Allah baru benar-benar berdiri sendiri pada penciptaan.[22]
BAB III
SUMBANGAN PEMIKIRAN TRINITARIS ORIGENES
- Pengantar
Dalam pemahaman teologis Origenes, Allah itu dipahami sebagai satu triade dengan tiga hypostasis: Bapa, Putera, dan Roh-Kudus. Di bawah ini akan dicoba ditunjukkan bahwa dalam lingkup ilahi, akar dari semua ”ada”, ”kebaikan” dan ”keilahian” berasal dari Allah Bapa dan dari Bapa diturunkan kepada Putera dalam bentuk partisipatif melalui kekuatan Roh-Kudus. Hubungan antara Bapa dan Putera disebut ”memperanak” atau ”mengasalkan”. Namun, di sini juga, Origenes berbicara mengenai kekekalan hidup Ilahi yang mengalir dari Bapa kepada Putera, karena partisipasi Putera dalam inti diri Allah sendiri. Hal ini melatarbelakangi pemikiran Origenes tentang penciptaan abadi (pre-eksistensi jiwa) yang juga akan diuraikan dalam bab ini.
- Pemikiran Trinitaris Origenes
2.1 Posisi Bapa: Sumber Keilahian
Menurut Origenes, Allah itu berada dalam “hierarki asal-usul” (Hierarchy of origin): Bapa adalah sumber keilahian, dari pada-Nya dilahirkan Putera dan Roh Kudus. Dalam karya teologisnya yang terbesar, “De Principiis” (Prinsip-prinsip yang Pertama), Origenes memulai pernyataan dengan mengatakan bahwa Allah adalah roh. Ia adalah cahaya.[23] Mata kita, bagaimanapun, tidak akan dapat melihat kodrat cahaya Allah. Namun, sedikit saja dari cahaya itu dapat menerangi tubuh kita yang fana.[24]
Dalam diri orang-orang Kudus, Allah berkarya secara nyata. Dan, hal ini menunjukkan bahwa Allah itu tidak memiliki tubuh, tetapi Ia hadir dan menjiwai orang-orang kudus tersebut. Allah adalah roh. Hal ini tampak juga dalam ’diskusi’ Yesus dengan wanita Samaria, “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yoh 4:20-24).[25] Allah dikatakan roh untuk membedakan Allah dari makhluk-makhuk yang bertubuh. Dan Yesus menamai Allah kebenaran untuk membedakan-Nya dari bayang-bayang dan gambaran hampa.[26]
Allah sendiri tidak dilahirkan (agennetos). Ia bebas dari segala materi. Oleh karena itu, Origenes sangat tegas menghindari gambaran dan pemahaman-pemahaman antropomorfisme yang dialamatkan kepada Allah. Allah tidak bisa dipikirkan sebagai Dia yang memiliki tubuh atau makhluk yang bertubuh, tetapi suatu kodrat intelektual saja (simplex intellectualis natura). Di dalam Dia tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang tetapi segala-galanya sempurna. Dia adalah permulaan segala sesuatu.[27]
2.2. Posisi Putera: Deuteros Theos dan Pengantara
Putera dilahirkan dari keabadian dan menjadi pengantara antara Allah dan dunia. Menurut Origenes, kelahiran Putera dapat dibandingkan dengan Hikmat sebagaimana terdapat dalam Ams 8:22-25, “TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada. Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, sebelum ada sumber-sumber yang sarat dengan air. Sebelum gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit aku telah lahir.” Hal ini juga terdapat dalam tulisan pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, “tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor 1:24).[28]
Pemikiran Origenes tentang Putera sebagai Hikmat Ilahi ini sebenarnya sudah lazim dalam tradisi Kristen-Yunani. Firman itu sezat dengan Allah yang satu dan esa. Tidak terlalu jelas bagaimana Origenes memikirkan relasi antara Firman/Hikmat ilahi dan Allah. Origenes untuk pertama kalinya dalam rangka kristologi memakai istilah “homo-ousios”, yang sebenarnya merupakan istilah yang sudah lama ada dalam kaum gnostisisme.[29] Maka Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah. Rupanya Firman itu dipikirkan sebagai semacam ‘emanasi’[30] (kekal) dari Allah. Hal ini melatarbelakangi mengapa Origenes menyebut Firman itu sebagai “Allah kedua (deutheros Theos)”. Pemahaman ini identik dengan pemahaman Yustinus.
Firman itu adalah Pengantara, melalui Dia Allah menciptakan segala sesuatu. Tetapi penciptaan itu terjadi dalam dua tahap. Firman Allah, ialah Hikmat dan gambaran-Nya mengandung di dalam diri-Nya segala cita-cita makhluk. Lalu dalam langkah pertama diciptakan dunia rohani, yang terdiri atas cita-cita, gambaran-gambaran, bagan segala makhluk. Itulah tingkat tengah kosmos. Akhirnya menurut gambaran-gambaran itu tingkat bawah dijadikan.
Firman/Anak Allah yang pra-eksisten itu benar-benar menjadi manusia, secara utuh-lengkap, serupa dengan manusia lain. Origenes menekankan bahwa pada Yesus Kristus ada ”dua kodrat”, yang ilahi dan manusiawi. Kedua kodrat itu dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan demikian Firman/Anak Allah ”menghampakan diri” dan Ia serentak Allah (Ilahi) dan manusia. Origenes menerima apa yang disebut ”communicatio ideomatum”, artinya: dua rangkaian ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga subjek itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai subjek yang sama.
Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia, menyelamatkan seluruh manusia. Origenes mengulang dan memperuncing prinsip karya penyelamatan yang menegaskan: apa yang tidak dipersatukan dengan Firman, tidak diselamatkan pula. Dalam rangka komentarnya atas Roma 3:8 Origenes dengan panjang lebar menguraikan tradisi yang mengartikan kematian Yesus di salib sebagai korban pemulihan dan penyilih dosa, korban pendamaian. Dosa-dosa manusia menuntut penyilihan dan pemulihan. Dan Kristus dengan rela dan sebagai pengganti orang berdosa dan Imam besar menawarkan diri menjadi korban pendamaian.[31]
2.3. Posisi Roh-Kudus: Pengudus (Sanctifier)
Allah, dengan cinta yang besar, menciptakan Roh-Kudus dengan perantaraan Logos (Sabda). Maka hubungan Roh-Kudus dan Putera terutama sangat erat bagaikan kesatuan tubuh dan jiwa (seperti bara api dan api).[32]
Roh-Kudus berfungsi sebagai Pengudus. Ia memberi kekuatan dan menguduskan orang-orang pilihannya untuk memberi kesaksian seperti pengalaman Daniel yang mampu meramalkan mimpi Raja Nebukadnezar, ” Pada akhirnya Daniel datang menghadap aku, yakni Daniel yang dinamai Beltsazar menurut nama dewaku, dan yang penuh dengan roh para dewa yang kudus” (Dan 4:8). Ia memberi inspirasi bagi para penulis Kitab Suci.
Roh dicurahkan hanya pada mereka yang ikut ambil bagian dalam perjalanan pendidikan ilahi demi penyempurnaan dan pengilahian, dan pada akhirnya dibentuk menjadi Anak Allah. Orang yang dicurahi Roh itu tampak dari perbuatan etis dan asketisnya. Hanya manusia yang dicurahi oleh Roh-lah dimampukan oleh Roh untuk menerima Kristus dan mengkontemplasikan Allah, demikian hanya Dia berhasil memahami dimensi spiritual yang mendalam dari Kitab Suci.[33]
Dalam Perjanjian Baru, diceritakan bahwa Roh-Kudus turun ke atas Yesus setelah pembaptisan. Hal yang sama terjadi ketika pembaptisan di dalam Kisah Para Rasul, ” Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus. Ketika Simon melihat, bahwa pemberian Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu menumpangkan tangannya, ia menawarkan uang kepada mereka” (Kis 8:16-18). Yesus sendiri pun pada akhirnya menghembusi para murid-Nya dengan Roh-Kudus, ”Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus …” (Yoh 20:22). Paulus mengatakan bahwa pengakuan kita atas siapa Yesus itu adalah karunia Roh-Kudus yang berkarya dalam diri kita, ” Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: “Terkutuklah Yesus!” dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus (1Kor 12:3).[34]
Karena bantuan Roh-Kudus, kita bisa mengenal siapa Bapa. Karya Bapa dan Putera dalam segala makhluk terjadi karena kekuatan Roh-Kudus. Trinitas dipersatukan oleh Roh-Cinta, yakni Roh-Kudus sehingga setiap orang dituntun untuk hidup yang lebih baik. Roh Allah itu berkarya baik dalam diri orang-orang berdosa maupun dalam diri orang-orang kudus.[35]
- Penciptaan yang Abadi[36]
Menurut Origenes, kebaikan dan kuasa Allah itu sempurna dan karena itu harus selalu mempunyai objek-objek yang kepadanya kebaikan dan kuasa itu terarahkan. Maka, diajarkan Origenes bahwa sebelum Allah menciptakan dunia kita ini, Ia menjadikan suatu dunia makhluk-makhluk rohani yang ko-eternal dengan Allah sendiri. Dunia sejarah, kata Origenes, baru dijadikan Allah ketika makhluk tersebut jatuh dari pada-Nya. Dan, karena makhluk itu sejak semula disubordinasi kepada Allah Bapa, maka menurut Origenes diperlukanlah seorang mediator antara keesaan mutlak Allah di satu pihak dan banyaknya makhluk-makhluk di lain pihak. Mediator itulah Sang Putera.
Dengan demikian, ajaran Origenes tentang kelahiran abadi Sang Putera (suatu kelahiran yang berlangsung terus-menerus) dilatarbelakangi oleh gagasannya tentang penciptaan abadi. Pendasaran semacam itu berbeda sekali dengan gagasan kelahiran abadi sebagaimana terdapat dalam Teologi Trinitas di kemudian hari, di mana kelahiran kekal Sang Putera didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam keabadian tidak terdapat masa lampau dan masa depan tetapi hanya suatu kekinian yang kekal.
- Menegaskan Iman Trinitas: Percaya kepada Satu Allah, Tiga Pribadi
Pertanyaan fundamental mata kuliah ”Trinitas” ini adalah bagaimana dibahasakan ke-satu-an Trinitas dan ke-tiga-an Trinitas? Dengan kata lain, bagaimana dipahami ke-tiga-diri-an Allah dalam keesaan-Nya? Gereja Timur mencoba merefleksikannya dengan istilah ”perichoresis Tritunggal” yakni saling melengkapi dan meresapi antara Bapa, Putera dan Roh-Kudus secara sempurna. Ada kesatuan cinta (circumcessio). Sementara Gereja Barat mengemukakan ”misteri Trinitas” yakni Allah yang ’tiga’ itu adalah satu. Dan, Trinitas kontemporer yang dipelopori oleh, misalnya, K. Rahner, von Balthasar menekankan bahwa Trinitas ekonomia=Trinitas imanen dan Trinitas imanen=Trinitas ekonomia.
Persoalan Trinitaris 1=3 dan 3=1 hendak menggaris bawahi bahwa pada prinsipnya Allah itu satu mono + theis): satu substansi Ilahi yang mempunyai tida pribadi (Bapa, Putera dan Roh-Kudus). Tiga pribadi itu memang berbeda tetapi tida berbeda secara terputus. Maka, persoalan utama bukan unitas-multisitas (cenderung modalistik), melainkan unisitas-unitas (persekutuan dan kesatuan/relasi atau kesatuan yang ke-tiga-an).
Justru kesatuan Allah inilah yang sebenarnya mau diperjuangkan oleh Origenes kalau kita lihat uraian di atas.[37] Allah itu satu dengan tiga hypostasis/triade: Bapa, Putera, dan Roh-Kudus. Namun, masing-masing pribadi memiliki kekhasan: Bapa sebagai sumber keilahian, Putera sebagai Pengantara, dan Roh-Kudus sebagai Pengudus.
Dalam ”Iman Katolik” diungkapkan bahwa iman kita esa tetapi tidak serta merta mengatakan bahwa pribadi Trinitas itu sama saja:
Iman Kristen mengakui ”Allah itu esa”, tetapi ”esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim 2:4). ”Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Yesus tidak hanya memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, melainkan juga ”di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya” (Ef 3:12). Iman akan Allah yang mahaesa dihayati dalam Kristus dan oleh Roh-Kudus. Sebagaimana Allah mendatangi kita dalam Kristus, begitu kita pun menghadap Allah dalam Kristus dan mengakui Dia sebagai ”Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (2 Kor 1:3). Maka, bersama dengan Yesus Kristus kita mengakui bahwa ”Tuhan itu esa” (Mrk 12:29). Sekaligus kita mengakui Yesus Kristus sebagai Dia ”yang dikuduskan Bapa dan diutus ke dalam dunia” (Yoh 10:36). Orang yang percaya kepada Yesus sebetulnya tidak percaya kepada Yesus saja, melainkan juga kepada Dia yang mengutus Yesus (bdk. Yoh 12:44). Oleh karena anugerah Roh-Kudus, dalam kesatuan dengan Kristus, orang beriman Kristen percaya kepada Allah Yang Maha Esa.[38]
BAB IV
PENUTUP
- Rangkuman Umum
Rumusan baku Gereja tentang Trinitas berjalan dalam proses sejarah Gereja yang panjang. Gereja bersifat dinamis: berkembang dan bertumbuh dalam sejarahnya. Dapat dikatakan bahwa baru pada abad II dan sepanjang abad III menjadi lebih jelas bagaimana sebenarnya paham Kristiani tentang Allah.
Origenes adalah salah satu teolog kuno pertama dalam sejarah Gereja yang mencoba merumuskan hakikat Allah Tritunggal tersebut. Menurut Origenes, Allah itu berada dalam “hierarki asal-usul” (Hierarchy of origin): Bapa adalah sumber keilahian, dari pada-Nya dilahirkan Putera (Pengantara) dan Roh Kudus (Pengudus).
Origenes juga mengakui adanya pre-eksistensi jiwa (penciptaan abadi). Sebelum Allah menciptakan dunia kita ini, Ia menjadikan suatu dunia makhluk-makhluk rohani yang ko-eternal dengan Allah sendiri. Dunia sejarah, kata Origenes, baru dijadikan Allah ketika makhluk tersebut jatuh dari pada-Nya. Dan, karena makhluk itu sejak semula disubordinasi kepada Allah Bapa, maka menurut Origenes diperlukanlah seorang mediator antara keesaan mutlak Allah di satu pihak dan banyaknya makhluk-makhluk di lain pihak. Mediator itulah Sang Putera.
- Refleksi Kritis
Origenes adalah salah satu teolog kuno pertama dalam sejarah Gereja yang mencoba merumuskan hakikat Allah Tritunggal. Memang, di kemudian hari, ajaran Origenes dipandang berbahaya oleh Gereja karena cenderung ke arah subordinasionisme. Pada dasarnya, Origenes mengakui kesatuan Allah Tritunggal. Namun, dalam membahasakannya, ia terlalu menekankan kemandirian setiap pribadi. Origenes sampai pada pemahaman bahwa Allah itu adalah satu Triade dan tiga hypostasis[39]: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Memang, istilah hypostasis ini menimbulkan perdebatan trinitaris pada masa ini karena diartikan sebagai “realitas individual dan konkrit” atau “eksistensi pribadi yang tersendiri”.[40] Tidak heran bahwa Origenes memahami Trinitas sebagai masing-masing hypostasi ilahi yang berbeda dalam martabat dan kekuatan.[41]
Origenes juga dituduh menjadi pre-cursor lahirnya Arianisme (Arius mempertajam subordinasionisme Origenes dengan menempatkan Putera lebih rendah dari Bapa). Namun, banyak teolog modern beranggapan bahwa bila Origenes sampai melukiskan Trinitas sedemikian menjadi subordinasionisme adalah karena Origenes tidak mempunyai bahasa yang cukup (adekwat) untuk melukiskan siapa itu Allah pada masa itu. Dia ‘terpaksa’ memakai bahasa platonis yang berkembang pada waktu itu.[42]
Bahwa pada akhirnya Origenes jatuh pada subordinasionisme bukanlah merupakan kegagalan di pihaknya. Bagi penulis sendiri, setidak-tidaknya pandangan Origenes merintis paham teologi Gereja yang benar di kemudian hari. Origenes memang tokoh yang kontroversial namun menantang. Dr. C. Groenen mengatakan bahwa kebesaran dan keunggulan Origenes hanya dapat dibandingkan dengan Agustinus: dari semua tokoh teologi dalam sejarah hanyalah Agustinus yang sebanding dengan Origenes.[43]
BIBLIOGRAFI
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 1: Allah Penyelamat. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Goetz, Philip W. (ed.). The New Encyclopaedia Britannica, vol. VIII. Chicago: The University of Chicago, 1986.
Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Kabul, Yohanes Sarwo dan Very Ara. Trinitas II: Meneropong Teologi Trinitaris dalam Terang Sistematik. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2001. (Diktat).
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi .Yogyakarta: Kanisius, 1996.
O’Collins, Gerald – Edward G. Farrugia. Kamus Teologi (Judul asli: A Concise Dictionary of Theology). Diterjemahkan oleh Ignatius Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
O’Collins, Gerald. The Tripersonal God: Understanding dan Interpreting the Trinity. London: Geofrey Chapman, 1999.
”Origen De Principiis”, dalam The Ante-Nicene Fathers, vol. III. London-New York, 1920.
Quasten, Johannes. Patrology, vol. II. Notre Dame: Ave Maria Press, [tanpa tahun].
Sipayung, Kornelus. Pneumatologi: Pengalaman akan Roh Kudus dalam Hidup Beriman. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2006, hlm. 21. (Diktat).
The Trinity according to Origen. http://www.iep.utm.edu/origen-of-alexandria/. 05 Desember 2011.
Whalen, John P. (ed.). New Catholic Encyclopedia, vol. X. Washington: The Catholic University of America, 1981.
[1] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1: Allah Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 127-128.
[2] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 133.
[3] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 118.
[4] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 136.
[5] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 117.
[6] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 126-127.
[7] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 34.
[8] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 127-130.
[9] Monarkianisme (mono + arche = satu prinsip) adalah aliran yang begitu menekankan kesatuan Allah sehingga menolak Putra Ilahi sebagai yang berpribadi sendiri. Pengikut aliran ini yakin bahwa Yesus adalah ilahi hanya dalam arti bahwa dynamis (Yun. kekuatan) Allah turun ke atas-Nya dan mengangkat-Nya. Sementara monarkianisme modalistis (modus) memandang Tritunggal hanya tiga cara Allah mewujudkan diri dan bertindak. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Monarkianisme”, dalam Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh Ignatius Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 204].
[10] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 131-132.
[11] Gnostisisme adalah gerakan keagamaan yang berciri dualistik. Menurut aliran ini keselamatan terjadi dengan terbebasnya unsur-unsur rohani dari unsur materi yang jahat. Akibatnya adalah bahwa tradisi dan Kitab Suci ditolak, sementara untuk selamat hanya diperlukan pengetahuan istimewa dari tradisi dan pewahyuan rahasia. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Gnostisisme”, dalam Kamus …, hlm. 92.]
[12] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 87-88.
[13] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 99.
[14] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 133.
[15] Ireneus hidup + 140-202, menjadi lawan paling sistematis terhadap gnostisisme. Ia seorang terpelajar. Selama pendidikan dan petualangannya ke mana-mana, antara lain ke Roma, ia mengumpulkan banyak informasi mengenai situasi jemaah-jemaah Kristen di kawasan Laut Tengah. Kanon yang disusun Ireneus: Keempat Injil, 13 Surat Paulus, Kisah Para Rasul, Wahyu, 1 Petrus, 1-2 Yohanes. Kanon Ireneus ini jelas berlawanan dengan kanon susunan Markion. Ireneus membaca banyak karya (a.l. karangan Klemens Romanus, Pastor Hermas, Polycarpus, Papias, Yustinus dan juga karangan-karangan yang beredar di kalangan para penganut gnosis). Ireneus menjadi imam dan uskup di Lyon (177/178), kawasan barat negara Roma yang kurang menyerap kebudayaan Yunani, namun Ireneus, yang menulis dalam bahasa Yunani seperti itu berkembang di kawasan timur. [Lihat Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 99-100.]
[16] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 134.
[17] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 101.
[18] Tertullianus, yang hidup sekitar tahun 166-222, seorang pejuang gigih, malah fanatik, ahli hukum (Romawi) dan seni berpidato. Meskipun mahir dalam bahasa Yunani, namun Tertullianus, seorang penulis yang subur, mengarang semua karyanya dalam bahasa Latin dengan keahlian bahasa yang luar biasa. Cukup banyak istilah teologi yang tradisional berasal dari Tertullianus. Tertullianus adalah seorang tradisionalis yang konservatif. Sifat itu memang pada akhirnya membuat Tertullianus bergabung dengan pengikut-pengikut Montanus (karismatik). Tertullianus melawan gnostisisme dan doketisme. [Lihat Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm.105.]
[19] Sesungguhnya perdebatan mengenai akar kata persona tidak bisa dihubungkan dengan kata personare yang diturunkan dari kata risuonare: “menyembunyikan atau menggemakan kembali”; “kemampuan untuk memerankan sosok pribadi lain dengan mengenakan ‘masker’ atau “menopengi diri dengan wajah orang lain”. Kata persona pertama kali dipergunakan oleh Gavio Basso dalam dunia teater pada abad I. Pada abad pertengahan, kata persona dihubungkan dengan kata phersu untuk menyingkapkan keilahian identitas atau jati diri seorang Persepona (Persipnai). Dalam perkembangannya, Persepona dipergunakan untuk menyingkapkan pribadi seseorang yang terlukis di masker yang dikenakan aktor yang melakonkan perannya. Dalam tradisi Kristiani, kata persona dipergunakan untuk menyingkapkan individualitas seorang manusia. [Lihat Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Trinitas II: Meneropong Teologi Trinitaris dalam Terang Sistematik (Sinaksak: STFT St. Yohanes, hlm. 46. (Diktat)]
[20] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 135.
[21] Paham yang memberikan kedudukan yang lebih rendah kepada Putera dalam hubungan dengan Bapa, demikian juga dengan Roh Kudus dalam hubungannya dengan Bapa dan Putera. Arianisme mengekstrimkan subordinasionisme Putra dari Bapa, dan Pneumatomachianisme mengekstrimkan subordinasionisme Roh Kudus dari Bapa dan Putera. Lewat Konsili Nikea (325) subordinasionisme Putra ditolak dan Konsili Konstantinopel (381) memulihkan hubungan Bapa – Putera – Roh Kudus. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Subordinasionisme”, dalam Kamus …, hlm. 105.]
[22] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 107.
[23] Johanes Quasten, Patrology, vol. II (Notre Dame: Ave Maria Press, [tanpa tahun]), hlm. 91.; bdk. ”Origen De Principiis”, dalam The Ante-Nicene Fathers, vol. III (London-New York, 1920), hlm. 242, Buku I, Bab I, Nomor 1. (Untuk selanjutnya, kutipan dari The Ante-Nicene Fathers cukup dituliskan: ANF, De Princ. diikuti Buku, Bab, dan Nomor)
[24] ANF, De Princ. I,I,6
[25] ANF, De Princ. I,I,3
[26] ANF, De Princ. I,I, 4
[27] Johannes Quasten, Patrology …, hlm. 75.; bdk. ANF, De Princ. I, I, 6
[28] Gerald O’Collins, S.J., The Tripersonal God: Understanding & Interpreting the Trinity (London: Geoffrey Chapman, 1999), hlm. 109.; bdk. ANF, De Princ. I,II,1
[29] Gnostisisme merupakan aliran yang menekankan pentingnya pengetahun istimewa untuk memahami rahasia Allah. Aliran ini sedikit mempengaruhi pemikiran Origenes. Selain itu, Origenes juga dipengaruhi oleh ide Platonisme yang berkembang pesat pada sekolah Aleksandria. Hal itu, misalnya, tampak dalam pemikiran Origenes tentang baptis. Bagi Origenes, baptis dalam fakta sendiri tidak menuntun ada Rahmat Roh. Roh dicurahkan hanya pada mereka yang ikut ambil bagian dalam perjalanan pendidikan ilahi demi penyempurnaan dan pengilahian, dan pada akhirnya dibentuk menjadi Anak Allah. Lihat, betapa pentingnya aspek pengetahuan bagi Origenes. [Lihat Kornelus Sipayung, Pneumatologi: Pengalaman akan Roh Kudus dalam Hidup Beriman (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2006), hlm. 21. (Diktat).]
[30] Emanasi artinya Realitas yang keluar dari sumber (Allah) seperti cahaya keluar dari matahari. Bahasa ini berasal dari neoplatonisme Plotinus (205-270) dan digunakan oleh St. Thomas dari Aquinas (1225-1274). Gagasan dilawan oleh banyak orang kristiani karena dengan ini tampaknya dunia ini seakan-akan begitu penting dan bahkan sama dengan Allah, bukannya dunia yang dengan bebas diciptakan oleh Allah. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Emanasi”, dalam Kamus …, hlm. 68.]
[31] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 119-120.
[32] Philip W. Goetz (ed.), The New Encyclopaedia Britannica, vol. VIII (Chicago: The University of Chicago, 1986), hlm. 998; bdk. Gerald O’Collins, S.J., The Tripersonal …, hlm. 110.
[33] Kornelus Sipayung, Pneumatologi …, hlm. 21.
[36] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 138.
[37] Memang bahasa yang dipakai Origenes terbatas (jatuh pada subordinasionisme). Hal ini kita lihat dalam Refleksi Kritis.
[38] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 144.
[39] Kata hypostasis berasal dari kata Yunani, hypestimi (hypo-histemi). Kandungan makna kata hypostasis dapat dipahami apabila dihubungkan dengan kata ousia: hypostasis merujuk pada “ketidaktergantungan, sesuatu yang berdiri sendiri”, namun selalu berada dalam relasi dengan yang lain; sedangkan ousia mengindikasikan kesatuan. [Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Meneropong Teologi Trinitaris dalam Terang Sistematik (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2001), hlm. 47. (Diktat).
[40] Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Hipostasis”, dalam Kamus …, hlm. 103.
[41] Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Meneropong …, hlm. 50.
[42] “Life and Work of Origen”, dalam http://dlibrary. acu. edu. au/research /theology/ gus_nathan.htm, 05 Desember 2011.; bdk. . Gerald O’Collins, S.J., The Tripersonal …, hlm. 110.
[43] Dr. C. Groenen, Sejarah …, hlm. 116.