Cari

Benz Manroe

Be happy in everythings!!

Kategori

TEOLOGI

PEMAHAMAN TRINITARIS TENTANG RUMUSAN 1=3 DAN 3=1: Suatu Pandangan Trinitaris dari Origenes

BAB I

 PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang Pemilihan Tema

Rumusan baku Gereja tentang Trinitas – sebagaimana sekarang ini – tidak terjadi begitu saja: butuh proses yang panjang dalam perjalanan sejarah Gereja. Gereja berkembang dan bertumbuh dalam sejarahnya. Kita tahu bahwa pada awalnya lingkungan agama Kristiani yang asali, yaitu agama Yahudi, amat ketat monoteismenya. Monoteisme dipeluk bersama-sama oleh orang Kristen dan orang Yahudi meskipun sebenarnya dengan pemahaman yang berbeda-beda.

Selain percaya akan Allah dalam arti YHWH, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, orang Kristen juga percaya akan Yesus Kristus. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa lewat peristiwa Inkarnasi-lah (Allah yang menjadi manusia dalam Diri Yesus Kristus) titik tolak munculnya persoalan trinitaris dalam Gereja. Memang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tidak ada “rumusan baku” tentang Allah Tritunggal. Akan tetapi, akar-akar ajaran Trinitas dapat ditemukan dalam Kitab Suci. Khususnya dalam Perjanjian Baru terdapat benih ataupun akar suatu konsep tentang Allah yang cocok untuk dikembangkan dan dijelaskan lebih lanjut menurut garis-garis doktrinal menjadi apa yang di kemudian hari disebut “ajaran Trinitas”. Pemahaman akan Kristus yang sedang berkembang dalam lingkungan umat purba ditentukan juga oleh Roh Kudus sebagai nilai pengalaman lain di samping Bapa.[1]

Tidaklah mengherankan bila dalam perjalanan awal sejarah, Gereja mengalami jatuh bangun dalam merumuskan siapa Allah Tritunggal. Kadang-kadang mereka menempuh jalan yang kemudian hari disadari sebagai keliru, lantas mereka merasa perlu menelusuri kembali langkahnya, dan mulai lagi menempuh jalan yang benar. Dan, Gereja awal menyadari bahwa mengulang-ulangi ayat Kitab Suci yang menyebut Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus tidaklah mencukupi. Dari pada mengulangi triade-triade alkitabiah tadi, Gereja perlu mengembangkan imannya lebih lanjut. Dan, hal itulah yang memang terjadi dalam abad-abad selanjutnya.[2]

Ketika menjalani masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di Paroki St. Pius X – Aekkanopan, penulis berhadapan dengan banyak soal-soal teologis menyangkut pribadi Tritunggal. Sebenarnya pertanyaan mereka sudah sangat umum: Bagaimana bisa dimengerti Allah itu satu tetapi tiga. Maka makalah sederhana ini berupaya untuk membahasakan rumusan trinitaris 1=3 dan 3=1 dalam bingkai dan latar belakang pengalaman TOP tadi, kendati penulis berhadapan dengan ambivalensi: di satu pihak rumusan itu penting, tapi di lain pihak sulit menemukan bahasa sederhana untuk memaparkannya.

Memang, memahami rumusan Trinitaris tadi tidaklah gampang, namun menantang juga. Menantang, karena sebagaimana disebut tadi, Iman Gereja yang baku seperti sekarang, tidak terjadi begitu saja. Dibutuhkan proses yang panjang dalam sejarah. Dalam perjalanan sejarah Gereja itulah, salah satu pemikiran tokoh sejarah Gereja yang penting yakni Origenes diuraikan di sini. Origenes adalah salah satu teolog kuno pertama dalam sejarah Gereja yang mencoba merumuskan hakikat Allah Tritunggal tersebut. Seberapa pentingkah ia dan ajarannya dalam perkembangan Gereja selanjutnya? Apa sumbangan pemikiran Origenes itu bagi ilmu teologi, khususnya teologi Trinitas? Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik hati penulis untuk mendalami secara khusus pemikiran Trinitaris Origenes.

 

  1. Perumusan dan Pembatasan Tema

Pertanyaan akan Allah adalah pertanyaan abadi umat manusia. Manusia terus mencari dan ‘mendefinisikan’ Tuhan. Namun, bukan karena dirumuskan, maka itulah Tuhan. Tuhan sebegitu besar dan Mahaluas, misteri. Tuhan tetaplah Tuhan pada Diri-Nya. Dia tidak pernah bisa dimengerti oleh manusia sepenuhnya dan tak pernah tuntas oleh pikiran manusia tersebut. Namun, sebagai manusia, kita tetap perlu mencari-Nya dan merefleksikan siapa Dia dalam perjalanan hidup kita.

Narasi sederhana ini sangat membantu dalam memahami pergumulan umat Kristen di awal-awal kehidupan berimannya. Lewat peristiwa Inkarnasi dan janji pengutusan Roh Kudus oleh Yesus dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, iman umat Perdana mulai bertanya-tanya tentang “Allah Trinitas”. Iman mereka yang bertumbuh kuat dalam monoteisme kental Yahudi berhadapan dengan persoalan siapa Bapa, Yesus, dan Roh-Kudus. Bahkan Paulus sampai kepada perumusan ucapan berkah: “Kasih Karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kami sekalian” (2Kor 13:13). Dalam arti yang ketat, rumusan ini belum dapat dikatakan “trinitaris” karena ketiga nama itu hanya dideretkan saja tanpa merefleksikan keesaan Allah.

Sebagaimana dikatakan tadi, Gereja perlu merumuskan imannya. Baru menjelang abad II dan sepanjang abad III menjadi lebih jelas bagaimana sebenarnya paham Kristiani tentang Allah. Pemikir paling berjasa dalam hal ini adalah Ireneus dari Lyon, Tertullianus, dan Origenes. Namun, mengingat banyaknya rumusan-rumusan yang muncul di awal abad kekristenan, penulis membatasi pemikiran trinitaris hanya pada tokoh Origenes. Tokoh-tokoh (yakni Ireneus dan Tertullianus) dan aliran lain akan disebut sejauh terkait dengan konteks Origenes dan pemikirannya. Maka, tulisan ini dibatasi dan diberi judul: Pemahaman Trinitaris tentang Rumusan 1=3 dan 3=1: Suatu Pandangan Trinitaris Origenes.[3]

 

  1. Tujuan Penulisan

             Makalah ini ditulis dalam rangka mengetahui pemikiran trinitaris dalam sejarah awal Gereja dengan segala dimensinya. Untuk itu, sedapat mungkin pemahaman komprehensif di sekitar awal abad itu sengaja dipaparkan di sini, tetapi terlebih pemikiran Origenes sebagai inti tulisan ini.

Di samping itu, tujuan penulisan makalah ini ialah hendak menanamkan kesadaran penulis dan juga para pembaca perihal pewahyuan Allah dalam dinamika perjalanan Gereja. Allah peduli dan aktif menyapa umat-Nya, sebagaimana nyata dalam Perjanjian Lama. Manusia terbatas oleh ruang dan waktu, tetapi Allah bersifat supranatural dan tak terbatas. Oleh karena itu, sebagai manusia kita membutuhkan suatu rumusan yang baku. Maka, perumusan Trinitaris khususnya Origenes serentak menyadarkan insan Gereja bahwa rumusan baku triniter sekarang ini adalah hasil perjalanan panjang Gereja dan pergumulannya. Kesadaran ini menumbuhkan “sensus ecclesiae” di pihak penulis dan semoga juga bagi para pembaca.

 

  1. Metode Penulisan dan Pembahasan

 Dalam menyusun makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Pemikiran Origenes didalami lewat buku-buku teologi secara umum dan buku dari serta tentang Origenes sendiri. Penulisan makalah ini mengikuti Pedoman Penulisan Skripsi yang berlaku pada Fakultas Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas, Medan-Sumatera Utara, edisi 2009.

 

  1. Sistematika Penyajian

             Makalah ini dibagi dalam lima bab tulisan, yang didahului dengan kata pengantar dan daftar isi. Panjang setiap bab diusahakan tersaji sangat padat dan singkat. Adapun pembagian dan pokok perbincangan bab-bab itu diuraikan sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang pemilihan tema, perumusan dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penulisan dan penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II adalah Riwayat hidup Origenes dan juga konteks pemikiran Origenes. Di dalamnya dibahas perkembangan iman trinitaris Origenes pada abad I-III dan pokok-pokok teologi dua pendahulu Origenes (Ireneus dan Tertulianus).

Bab III adalah inti makalah ini. Di dalamnya dipaparkan sumbangan pemikiran trinitaris Origenes sekaligus refleksi sistematis dari penulis tentang percaya kepada satu Allah dengan tiga pribadi dengan bercermin pada pemikiran Origenes.

Bab IV adalah penutup. Di sini dituliskan perihal kesimpulan pembicaraan dari awal sampai akhir makalah ini. Sesudahnya penulis memberi sedikit refleksi kritis atas pemikiran Origenes.

BAB II

 KONTEKS PEMIKIRAN ORIGENES

 

  1. Riwayat Hidup Origenes

 Origenes lahir sekitar tahun 185 dari orang tua kristiani, barangkali di Aleksandria. Ayahnya, Leonidas, dibunuh karena iman sebagai martir. Karena warisannya disita oleh negara, Origenes mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya dengan mengajar. Sekolah termasyhur untuk katekumen di Aleksandria berantakan ketika Klemens, kepalanya harus melarikan diri karena penganiayaan (oleh Kaisar Septimus Severus). Uskup Demetrius mengangkat pemuda Origenes pada umur 18 tahun menjadi pengganti Klemens. [4]

Namun karena tidak disenangi oleh uskupnya dan dipecat, maka Origenes membuka perguruan serupa di Kaisarea, Palestina, dengan dukungan uskup setempat (tahun 230). Menjelang akhir hidupnya, oleh pemerintah (Decius), Origenes dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa dengan ngeri. Dan, itu menyebabkan kematiannya.

Pikirannya dituangkan ke dalam sejumlah besar tulisan (konon sekitar 2000!) dan untuk kerjanya Origenes menggunakan suatu staf besar (7 stenograf, 7 penulis, sejumlah puteri yang merias tulisannya). Ada karya raksasa di bidang Kitab Suci yang biasa disebut “Hexapla” dan di samping itu sejumlah besar komentar atas Kitab Suci, yang bermacam-macam jenisnya. Teologi sistematiknya terurai dalam karya besar “Mengenai pokok-pokok utama” (Iman kepercayaan kristen – Peri Arkhon/De Principiis) dan sebuah karya apologetis “Melawan Celsus” (seorang filsuf Yunani yang menyerang kekristenan dalam karyanya “Alethinos Logos” – pikiran yang benar).[5]

 

  1. Perkembangan “Iman Trinitas” Gereja Purba pada Abad I-III

 2.1 Abad I: Munculnya Pemikiran tentang Trinitas

             Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tidak ada ajaran tentang Allah Tritunggal. Hal ini tidak mengherankan sebab pada umumnya kitab suci Perjanjian Baru kurang bermaksud menyampaikan ajaran tertentu. Tujuan utamanya adalah memaklumkan Kerajaan Allah. Namun, akar-akar ajaran Trinitas dapat ditemukan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tersebut. Akar-akar ajaran Trinitas itu bisa dipahami demikian.

Allah Perjanjian Baru adalah Allah Yang Esa. Lingkungan agama kristiani yang asali, yaitu agama Yahudi, amat ketat monoteismenya. Berlawanan dengan politeisme yang dianut oleh bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal YHWH. Monoteisme dipeluk bersama-sama oleh orang Kristen dan orang Yahudi meskipun pemahaman yang berbeda-beda.[6]

Selain percaya akan Allah dalam arti YHWH, Allah Abraham dan Allah Ishak, orang Kristen juga percaya akan Yesus Kristus. Berkat terjadinya peristiwa Yesus dalam sejarah umat manusia, kita diperkenalkan dengan misteri Trinitas. Bisa dikatakan bahwa setelah Yesus dari Nazareth hilang dari panggung sejarah mulailah berkembang sesuatu yang boleh diistilahkan sebagai “kristologi”. Mereka yang dahulu menjadi pengikut Yesus mulai memikirkan, mengkonseptualkan dan membahasakan Yesus dan pengalaman mereka dengan Yesus. Kesadaran akan situasi itu hanya bisa menimbulkan rasa kagum atas prestasi teologis yang menjadi jasa unggul dua-tiga generasi kristen pertama seperti yang tercantum dalam karangan-karangan Perjanjian Baru.[7]

Kita tahu bahwa iman para murid berakar dalam peristiwa kebangkitan. Yesus yang telah bangkit itu dikenal sebagai Anak Allah (Rm 1:4). Hanya dalam rangka kepercayaan akan Allah, Sang Bapa, maka pengakuan iman akan Yesus itu memperoleh bobotnya.

Kristus yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa itu diyakini sebagai Juru Selamat yang bersatu dengan Bapa secara tak terpisahkan dan tak terbandingkan, dan dengan cara itu juga menjadi gambar Allah (2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dalam diri Yesuslah, Logos ilahi yang pada awal mula bersama-sama dengan Allah telah menjelma menjadi manusia. Dengan demikian ditegaskan di sini bahwa Yesus Kristus itu pra-ada: Ia sudah ada sebelum Ia di bumi ini (Yoh 1:1-18). Juga beberapa teks lain menyebutkan atau mengandaikan pra-eksistensi Kristus itu (Flp 2:5-11; Rm 8:32; 2 Kor 8:9). Pelbagai pengarang Perjanjian Baru berpikir tentang Yesus sebagai Allah, tanpa melepaskan keyakinan bahwa Yesus pun seorang manusia sejati.

Pemahaman akan Kristus yang sedang berkembang dalam umat purba itu ditentukan juga oleh Roh Kudus sebagai nilai pengalaman yang lain di samping Bapa. Roh hanya dapat didekati melalui Kristus, dan Kristus melalui Roh. Maka, Roh Kudus tidak dapat disamakan dengan Bapa maupun dengan Putera. Menyadari bahwa dalam ketiga nama ilahi termaktublah seluruh tindakan penyelamatan, Paulus merumuskan ucapan berkah: ”Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor 13:13).

Dalam tulisan lain Perjanjian Baru masih terdapat beberapa teks lain yang menyebutkan triade Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dalam arti yang ketat, rumus ini belum dapat dikatakan ”trinitaris” karena ketiga nama itu hanya dideretkan saja tanpa merefleksikan keesaan Allah. Juga Ef 4:4-6 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut walaupun menekankan kata ”satu”: orang kristen percaya akan satu Allah, bukan tiga allah. Begitu pula perintah untuk membaptis dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat 28:19) tidak memaksudkan tiga nama melainkan satu, sebagaimana tampak dari bentuk tunggal dari kata Yunani onoma (nama). Pengakuan akan Allah yang satu itu rupanya tidak menghindari Santo Paulus untuk juga mengakui Tuhan yang satu (1Kor 8:6;bdk. Gal 3:20; 1Tim 2:5) dan Roh yang satu (1Kor 12:11-13).[8]

 

2.2 Abad II: Inkulturasi Pemikiran Yahudi ke Dunia Hellenis

Pada abad kedua, titik berat Gereja berpindah dari lingkungan Palestina (Yahudi) ke alam pikiran Yunani. Dengan demikian, Gereja dihadapkan pad masalah inkulturasi: perlu mengungkapkan iman kepercayaannya ke dalam suatu ”bahasa” yang dapat dimengerti oleh mereka yang berbudaya Hellenis.

Pemikiran Yunani berbeda dari pemikiran Ibrani. Bagi orang Israel kebenaran Allah diwahyukan dalam sejarah, sedangkan bagi orang Yunani kebenaran itu didasarkan pada tatanan ontologis, yaitu hal ”mengada”. Inkulturasi tadi mengakibatkan bahwa cara bicara alkitabiah yang konkrit itu diganti dengan konsep-konsep metafisis yang berpusatkan masalah ”mengada”. Para apologet Gereja perdana bertindak sebagai perintis inkulturasi ketika mereka mempersatukan konsep Yunani logos dengan gagasan Logos  dalam Prakata Injil Yohanes (1:1-18) dan memandangnya sebagai kepribadian tersendiri.

Pada abad kedua ini, kaum monarkian[9] berusaha membela ke-tunggal-an Allah (monoteisme). Gereja kurang tertarik dengan jalan yang ditempuh oleh kaum monarkian tersebut meskipun tujuan Monarkianisme patut dipuji, yakni mempertahankan monoteisme. Monarkianisme dinamistik cenderung ke arah pemahaman bahwa Yesus Kristus bukan sungguh-sungguh Allah (semi-Allah). Sementara monarkianisme modalistik berusaha menghilangkan perbedaan-perbedaan antara Bapa dan Putera.[10]

Selain aliran monarkianisme, pelbagai sistem gnostik[11] juga turut mempengaruhi pembentukan ajaran Gereja tentang Allah Tritunggal. Menurut pandangan hidup gnosis, dunia secara dasariah buruk. Ia merupakan hasil kekeliruan besar. Dunia seadanya suatu penipuan belaka, yang berpancar dari sesuatu yang buruk. Dunia yang sesungguhnya, dunia sejati ialah dunia ilahi, suatu prinsip ilahi yang tidak terjangkau dan tidak tercapai. Antara dunia, prinsip ilahi terpasang berbagai tingkat atau lapis lain yang memang berpangkal pada yang ilahi, tetapi semakin rendah tingkatnya semakin buruk. Tingkat terbawah, tingkat material yang dialami manusia ialah tingkat yang paling buruk. Manusia sejati, manusia sebenarnya berciri ilahi, semacam bunga api yang tercetus dari yang ilahi. Tetapi manusia sejati itu terjatuh dan terkurung dalam dunia material ini dengan segala keburukan dan hawa nafsunya. Penyelamatan manusia justru pembebasannya dari kurungan itu dan kembalinya manusia sejati kepada asal-usulnya, yang ilahi. Hanya manusia sejati sudah lama lupa akan asal-usulnya sehingga malah tidak tahu lagi siapa dirinya dan apa itu penyelamatannya dan betapa buruk situasinya. Supaya selamat manusia membutuhkan ”pengetahuan” (gnosis).

Yang Ilahi tidak lupa akan apa yang berasal dari dirinya, yaitu manusia. Maka yang ilahi dari tingkat teratas mengutus seorang penyelamat, Manusia asli sejati, yang membawa gnosis yang perlu, menyampaikan ”wahyu” yang membuka mata manusia yang buta dan lupa itu.[12]

 

2.3 Abad II-III: Unsur-unsur Awal Ajaran Trinitas

Gnosis yang tersebar luas pada umat Kristen selama abad II sungguh membahayakan identitas kepercayaan Kristen dan identitas Yesus Kristus yang menjadi tokoh mitologis belaka. Maka gnosis itu tidak dapat tidak memancing reaksi dari pihak Kristen. Beberapa tokoh layak disebut di sini: Agrippa Castor, Philippus dari Gortyna, Rhodon, Candidus, Apion, Sextus, Heraklitos, Heggesippus, dan terutama Ireneus dan Tertullianus. Oleh karena kedua tokoh terakhir ini paling gigih menghadapi gnosis, maka kedua tokoh ini akan dipaparkan secara khusus sebelum Origenes. Suatu keuntungan dari gnostisisme itu adalah bahwa umat Kristen dipaksa memperdalam imannya.[13] Dapat dikatakan bahwa baru pada abad II dan sepanjang abad III menjadi lebih jelas bagaimana sebenarnya paham Kristiani tentang Allah.[14]

 

2.3.1 Pokok-pokok Pemikiran Ireneus[15]

Ireneus sangat menekankan keesaan Allah begitu kuat sehingga ia tidak segan-segan memakai ungkapan yang berbunyi modalistik, seakan-akan Putera dan Roh hanya penampakan saja dari Allah Yang Esa itu. Misalnya, dikatakannya bahwa ”menurut ada dan kuasa-Nya, Allah itu pada hakikatnya esa”, namun ia juga berkata, ”akan tetapi menurut peristiwa dan pelaksanaan penebusan terdapat Bapa dan Putera.” Dengan cara begini Ireneus berharap mencegah ungkapan pluralistik berhubungan dengan Allah. Di lain pihak, perbedaan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus pun ingin dipertahankannya. Ia juga mengajarkan bahwa sejak kekal Allah mempunyai sabda dan kebijaksanaan yang bersama-sama dengan-Nya. Putera lahir dari Bapa sebelum adanya waktu. Ireneus menolak spekulasi apa pun yang berusaha masuk lebih lanjut ke dalam misteri kelahiran Sang Putera ini.[16]

Menurut Ireneus sang logos layak disebut Anak Allah karena dengannya segala sesuatu dijadikan dan dipertahankan. Ireneus sebenarnya banyak dipengaruhi tradisi Yohanes lantas bergerak dalam alam pikiran Plato-Stoa yang berusaha menekankan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Firman Allah, Anak-Nya yang kekal pada saat tertentu menjadi manusia benar dan utuh. Gagasan Ireneus yang sudah lazim tentang logos ini digabungkan dengan pikiran Paulus sekitar solidaritas, kesetiakawanan timbal balik antara Yesus Kristus dan manusia seadanya. Yesus Kristus menjadi senasib dengan manusia berdosa, supaya manusia berdosa menjadi senasib dengan Yesus Kristus yang dibangkitkan dengan Allah.[17]

 

2.3.2 Pokok-pokok Pemikiran Tertullianus[18]

Ajaran Tertullianus menyerupai ajaran Ireneus sebab ia pun mulai dengan pribadi Allah yang di dalam Dia ada Sabda dan Roh. Sabda dan Roh itu lahir dari Allah untuk penciptaan dunia. Karya Tertullianus begitu penting bagi perkembangan ajaran trinitas karena dialah yang menempa rumus-rumus tepat yang mengungkapkan baik keesaan Allah maupun ketigaan pribadi. Ia mau berpegang teguh pada hakikat Allah yang esa dalam tiga pribadi yang berhubungan satu sama lain.

Dalam hakikat Allah yang satu terdapat tiga pribadi, tetapi adanya tiga pribadi itu tidak berarti bahwa ada lebih dari satu Allah. Ketiga pribadi itu berbeda bukan dalam kondisi melainkan dalam bentuk, bukan dalam kuasa melainkan dalam rupa.

Istilah ”Trinitas” untuk menunjukkan ketiga pribadi ilahi dipakai pertama kali oleh Tertullianus. Begitu juga istilah ”persona”[19] yang menjadi begitu tersohor dalam perkembangan selanjutnya. Logos dalam pandangan Tertullianus berlainan dengan Bapa ”dalam arti person, bukan substansi, demi pembedaan bukan demi pembagian”. Istilah persona diterapkannya pula pada Roh Kudus yang disebutnya ”Pribadi ketiga”.[20]

Tertullianus tidak setuju dengan Praxeas yang mengatakan bahwa Bapa dan Putera dan Roh Kudus satu dan sama saja. Dalam hal ini, Tertullianus merupakan pembela yang mempertahankan dengan kuat sekaligus monoteisme dan ajaran trinitas.  Dengan Firman segala sesuatu dijadikan. Pada saat penciptaan Firman itu keluar dan dilahirkan dan menjadi Anak yang sesungguhnya. Firman itu mesti disebut sesuatu yang berdiri sendiri. Ia itu, Anak sulung, diperanakkan sebelum segala sesuatu. Ia keluar dari Bapa. Bapa dan Anak (serta Roh Kudus) sebenarnya suatu kesatuan (unum) tetapi tidak satu (unus). Bapa adalah seluruh zat (substantia), tetapi Anak suatu jabaran (derivatio) dari keseluruhan dan bagian (portio), seperti sinar matahari. Bapa dan Anak (dan Roh Kudus) adalah dua (tiga), tidak dalam keberadaan (status), tetapi dalam tingkat (gradu), tidak dalam zat (substantia), tetapi dalam bentuk (forma), tidak dalam kuasa, tetapi dalam rupa (specie). Memang melihat ini, ucapan-ucapan Tertullianus bernada subordionis[21]: Anak adalah semacam Allah kedua, Allah yang kemudian, namun benar-benar ilahi. Firman Allah baru benar-benar berdiri sendiri pada penciptaan.[22]

 

BAB III

 SUMBANGAN PEMIKIRAN TRINITARIS ORIGENES

 

  1. Pengantar

              Dalam pemahaman teologis Origenes, Allah itu dipahami sebagai satu triade dengan tiga hypostasis: Bapa, Putera, dan Roh-Kudus. Di bawah ini akan dicoba ditunjukkan bahwa dalam lingkup ilahi, akar dari semua ”ada”, ”kebaikan” dan ”keilahian” berasal dari Allah Bapa dan dari Bapa diturunkan kepada Putera dalam bentuk partisipatif melalui kekuatan Roh-Kudus. Hubungan antara Bapa dan Putera disebut ”memperanak” atau ”mengasalkan”. Namun, di sini juga, Origenes berbicara mengenai kekekalan hidup Ilahi yang mengalir dari Bapa kepada Putera, karena partisipasi Putera dalam inti diri Allah sendiri. Hal ini melatarbelakangi pemikiran Origenes tentang penciptaan abadi (pre-eksistensi jiwa) yang juga akan diuraikan dalam bab ini.

 

  1. Pemikiran Trinitaris Origenes

 2.1 Posisi Bapa: Sumber Keilahian

             Menurut Origenes, Allah itu berada dalam “hierarki asal-usul” (Hierarchy of origin): Bapa adalah sumber keilahian, dari pada-Nya dilahirkan Putera dan Roh Kudus. Dalam karya teologisnya yang terbesar, “De Principiis” (Prinsip-prinsip yang Pertama), Origenes memulai pernyataan dengan mengatakan bahwa Allah adalah roh. Ia adalah cahaya.[23] Mata kita, bagaimanapun, tidak akan dapat melihat kodrat cahaya Allah. Namun, sedikit saja dari cahaya itu dapat menerangi tubuh kita yang fana.[24]

Dalam diri orang-orang Kudus, Allah berkarya secara nyata. Dan, hal ini menunjukkan bahwa Allah itu tidak memiliki tubuh, tetapi Ia hadir dan menjiwai orang-orang kudus tersebut. Allah adalah roh. Hal ini tampak juga dalam ’diskusi’ Yesus dengan wanita Samaria, “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yoh 4:20-24).[25] Allah dikatakan roh untuk membedakan Allah dari makhluk-makhuk yang bertubuh. Dan Yesus menamai Allah kebenaran untuk membedakan-Nya dari bayang-bayang dan gambaran hampa.[26]

Allah sendiri tidak dilahirkan (agennetos). Ia bebas dari segala materi. Oleh karena itu, Origenes sangat tegas menghindari gambaran dan pemahaman-pemahaman antropomorfisme yang dialamatkan kepada Allah. Allah tidak bisa dipikirkan sebagai Dia yang memiliki tubuh atau makhluk yang bertubuh, tetapi suatu kodrat intelektual saja (simplex intellectualis natura). Di dalam Dia tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang tetapi segala-galanya sempurna. Dia adalah permulaan segala sesuatu.[27]

 

2.2. Posisi Putera: Deuteros Theos dan Pengantara

             Putera dilahirkan dari keabadian dan menjadi pengantara antara Allah dan dunia. Menurut Origenes, kelahiran Putera dapat dibandingkan dengan Hikmat sebagaimana terdapat dalam Ams 8:22-25, “TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada. Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, sebelum ada sumber-sumber yang sarat dengan air. Sebelum gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit aku telah lahir.” Hal ini juga terdapat dalam tulisan pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, “tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor 1:24).[28]

Pemikiran Origenes tentang Putera sebagai Hikmat Ilahi ini sebenarnya sudah lazim dalam tradisi Kristen-Yunani. Firman itu sezat dengan Allah yang satu dan esa. Tidak terlalu jelas bagaimana Origenes memikirkan relasi antara Firman/Hikmat ilahi dan Allah. Origenes untuk pertama kalinya dalam rangka kristologi memakai istilah “homo-ousios”, yang sebenarnya merupakan istilah yang sudah lama ada dalam kaum gnostisisme.[29] Maka Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah. Rupanya Firman itu dipikirkan sebagai semacam ‘emanasi’[30] (kekal) dari Allah. Hal ini melatarbelakangi mengapa Origenes menyebut Firman itu sebagai “Allah kedua (deutheros Theos)”. Pemahaman ini identik dengan pemahaman Yustinus.

Firman itu adalah Pengantara, melalui Dia Allah menciptakan segala sesuatu. Tetapi penciptaan itu terjadi dalam dua tahap. Firman Allah, ialah Hikmat dan gambaran-Nya mengandung di dalam diri-Nya segala cita-cita makhluk. Lalu dalam langkah pertama diciptakan dunia rohani, yang terdiri atas cita-cita, gambaran-gambaran, bagan segala makhluk. Itulah tingkat tengah kosmos. Akhirnya menurut gambaran-gambaran itu tingkat bawah dijadikan.

Firman/Anak Allah yang pra-eksisten itu benar-benar menjadi manusia, secara utuh-lengkap, serupa dengan manusia lain. Origenes menekankan bahwa pada Yesus Kristus ada ”dua kodrat”, yang ilahi dan manusiawi. Kedua kodrat itu dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan demikian Firman/Anak Allah ”menghampakan diri” dan Ia serentak Allah (Ilahi) dan manusia. Origenes menerima apa yang disebut ”communicatio ideomatum”, artinya: dua rangkaian ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga subjek itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai subjek yang sama.

Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia, menyelamatkan seluruh manusia. Origenes mengulang dan memperuncing prinsip karya penyelamatan yang menegaskan: apa yang tidak dipersatukan dengan Firman, tidak diselamatkan pula. Dalam rangka komentarnya atas Roma 3:8 Origenes dengan panjang lebar menguraikan tradisi yang mengartikan kematian Yesus di salib sebagai korban pemulihan dan penyilih dosa, korban pendamaian. Dosa-dosa manusia menuntut penyilihan dan pemulihan. Dan Kristus dengan rela dan sebagai pengganti orang berdosa dan Imam besar menawarkan diri menjadi korban pendamaian.[31]

 

2.3. Posisi Roh-Kudus: Pengudus (Sanctifier)

             Allah, dengan cinta yang besar, menciptakan Roh-Kudus dengan perantaraan Logos (Sabda). Maka hubungan Roh-Kudus dan Putera terutama sangat erat bagaikan kesatuan tubuh dan jiwa (seperti bara api dan api).[32]

            Roh-Kudus berfungsi sebagai Pengudus. Ia memberi kekuatan dan menguduskan orang-orang pilihannya untuk memberi kesaksian seperti pengalaman Daniel yang mampu meramalkan mimpi Raja Nebukadnezar, ” Pada akhirnya Daniel datang menghadap aku, yakni Daniel yang dinamai Beltsazar menurut nama dewaku, dan yang penuh dengan roh para dewa yang kudus” (Dan 4:8). Ia memberi inspirasi bagi para penulis Kitab Suci.

Roh dicurahkan hanya pada mereka yang ikut ambil bagian dalam perjalanan pendidikan ilahi demi penyempurnaan dan pengilahian, dan pada akhirnya dibentuk menjadi Anak Allah. Orang yang dicurahi Roh itu tampak dari perbuatan etis dan asketisnya. Hanya manusia yang dicurahi oleh Roh-lah dimampukan oleh Roh untuk menerima Kristus dan mengkontemplasikan Allah, demikian hanya Dia berhasil memahami dimensi spiritual yang mendalam dari Kitab Suci.[33]

Dalam Perjanjian Baru, diceritakan bahwa Roh-Kudus turun ke atas Yesus setelah pembaptisan. Hal yang sama terjadi ketika pembaptisan di dalam Kisah Para Rasul, ” Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus. Ketika Simon melihat, bahwa pemberian Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu menumpangkan tangannya, ia menawarkan uang kepada mereka” (Kis 8:16-18). Yesus sendiri pun pada akhirnya menghembusi para murid-Nya dengan Roh-Kudus, ”Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus …” (Yoh 20:22). Paulus mengatakan bahwa pengakuan kita atas siapa Yesus itu adalah karunia Roh-Kudus yang berkarya dalam diri kita, ” Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: “Terkutuklah Yesus!” dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus (1Kor 12:3).[34]

Karena bantuan Roh-Kudus, kita bisa mengenal siapa Bapa. Karya Bapa dan Putera dalam segala makhluk terjadi karena kekuatan Roh-Kudus. Trinitas dipersatukan oleh Roh-Cinta, yakni Roh-Kudus sehingga setiap orang dituntun untuk hidup yang lebih baik. Roh Allah itu berkarya baik dalam diri orang-orang berdosa maupun dalam diri orang-orang kudus.[35]

 

  1. Penciptaan yang Abadi[36]

Menurut Origenes, kebaikan dan kuasa Allah itu sempurna dan karena itu harus selalu mempunyai objek-objek yang kepadanya kebaikan dan kuasa itu terarahkan. Maka, diajarkan Origenes bahwa sebelum Allah menciptakan dunia kita ini, Ia menjadikan suatu dunia makhluk-makhluk rohani yang ko-eternal dengan Allah sendiri. Dunia sejarah, kata Origenes, baru dijadikan Allah ketika makhluk tersebut jatuh dari pada-Nya. Dan, karena makhluk itu sejak semula disubordinasi kepada Allah Bapa, maka menurut Origenes diperlukanlah seorang mediator antara keesaan mutlak Allah di satu pihak dan banyaknya makhluk-makhluk di lain pihak. Mediator itulah Sang Putera.

Dengan demikian, ajaran Origenes tentang kelahiran abadi Sang Putera (suatu kelahiran yang berlangsung terus-menerus) dilatarbelakangi oleh gagasannya tentang penciptaan abadi. Pendasaran semacam itu berbeda sekali dengan gagasan kelahiran abadi sebagaimana terdapat dalam Teologi Trinitas di kemudian hari, di mana kelahiran kekal Sang Putera didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam keabadian tidak terdapat masa lampau dan masa depan tetapi hanya suatu kekinian yang kekal.

 

  1. Menegaskan Iman Trinitas: Percaya kepada Satu Allah, Tiga Pribadi

            Pertanyaan fundamental mata kuliah ”Trinitas” ini adalah bagaimana dibahasakan ke-satu-an Trinitas dan ke-tiga-an Trinitas? Dengan kata lain, bagaimana dipahami ke-tiga-diri-an Allah dalam keesaan-Nya? Gereja Timur mencoba merefleksikannya dengan istilah ”perichoresis Tritunggal” yakni saling melengkapi dan meresapi antara Bapa, Putera dan Roh-Kudus secara sempurna. Ada kesatuan cinta (circumcessio). Sementara Gereja Barat mengemukakan ”misteri Trinitas” yakni Allah yang ’tiga’ itu adalah satu. Dan, Trinitas kontemporer yang dipelopori oleh, misalnya, K. Rahner, von Balthasar menekankan bahwa Trinitas ekonomia=Trinitas imanen dan Trinitas imanen=Trinitas ekonomia.

Persoalan Trinitaris 1=3 dan 3=1 hendak menggaris bawahi bahwa pada prinsipnya Allah itu satu mono + theis): satu substansi Ilahi yang mempunyai tida pribadi (Bapa, Putera dan Roh-Kudus). Tiga pribadi itu memang berbeda tetapi tida berbeda secara terputus. Maka, persoalan utama bukan unitas-multisitas (cenderung modalistik), melainkan unisitas-unitas (persekutuan dan kesatuan/relasi atau kesatuan yang ke-tiga-an).

Justru kesatuan Allah inilah yang sebenarnya mau diperjuangkan oleh Origenes kalau kita lihat uraian di atas.[37] Allah itu satu dengan tiga hypostasis/triade: Bapa, Putera, dan Roh-Kudus. Namun, masing-masing pribadi memiliki kekhasan: Bapa sebagai sumber keilahian, Putera sebagai Pengantara, dan Roh-Kudus sebagai Pengudus.

Dalam ”Iman Katolik” diungkapkan bahwa iman kita esa tetapi tidak serta merta mengatakan bahwa pribadi Trinitas itu sama saja:

Iman Kristen mengakui ”Allah itu esa”, tetapi ”esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim 2:4).   ”Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”      (Yoh 14:6). Yesus tidak hanya memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia,             melainkan juga ”di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada       Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya” (Ef 3:12). Iman     akan Allah yang mahaesa dihayati dalam Kristus dan oleh Roh-Kudus. Sebagaimana Allah mendatangi kita dalam Kristus, begitu kita pun menghadap      Allah dalam Kristus dan mengakui Dia sebagai ”Bapa Tuhan kita Yesus   Kristus” (2 Kor 1:3). Maka, bersama dengan Yesus Kristus kita mengakui bahwa ”Tuhan itu esa” (Mrk 12:29). Sekaligus kita mengakui Yesus Kristus             sebagai Dia ”yang dikuduskan Bapa dan diutus ke dalam dunia” (Yoh 10:36).       Orang yang percaya kepada Yesus sebetulnya tidak percaya kepada Yesus saja,             melainkan juga kepada Dia yang mengutus Yesus (bdk. Yoh 12:44). Oleh       karena anugerah Roh-Kudus, dalam kesatuan dengan Kristus, orang beriman Kristen percaya kepada Allah Yang Maha Esa.[38]

 

BAB IV

 PENUTUP

 

  1. Rangkuman Umum

Rumusan baku Gereja tentang Trinitas berjalan dalam proses sejarah Gereja yang panjang. Gereja bersifat dinamis: berkembang dan bertumbuh dalam sejarahnya. Dapat dikatakan bahwa baru pada abad II dan sepanjang abad III menjadi lebih jelas bagaimana sebenarnya paham Kristiani tentang Allah.

Origenes adalah salah satu teolog kuno pertama dalam sejarah Gereja yang mencoba merumuskan hakikat Allah Tritunggal tersebut. Menurut Origenes, Allah itu berada dalam “hierarki asal-usul” (Hierarchy of origin): Bapa adalah sumber keilahian, dari pada-Nya dilahirkan Putera (Pengantara) dan Roh Kudus (Pengudus).

Origenes juga mengakui adanya pre-eksistensi jiwa (penciptaan abadi). Sebelum Allah menciptakan dunia kita ini, Ia menjadikan suatu dunia makhluk-makhluk rohani yang ko-eternal dengan Allah sendiri. Dunia sejarah, kata Origenes, baru dijadikan Allah ketika makhluk tersebut jatuh dari pada-Nya. Dan, karena makhluk itu sejak semula disubordinasi kepada Allah Bapa, maka menurut Origenes diperlukanlah seorang mediator antara keesaan mutlak Allah di satu pihak dan banyaknya makhluk-makhluk di lain pihak. Mediator itulah Sang Putera.

 

  1. Refleksi Kritis

Origenes adalah salah satu teolog kuno pertama dalam sejarah Gereja yang mencoba merumuskan hakikat Allah Tritunggal. Memang, di kemudian hari, ajaran Origenes dipandang berbahaya oleh Gereja karena cenderung ke arah subordinasionisme. Pada dasarnya, Origenes mengakui kesatuan Allah Tritunggal. Namun, dalam membahasakannya, ia terlalu menekankan kemandirian setiap pribadi. Origenes sampai pada pemahaman bahwa Allah itu adalah satu Triade dan tiga hypostasis[39]: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Memang, istilah hypostasis ini menimbulkan perdebatan trinitaris pada masa ini karena diartikan sebagai “realitas individual dan konkrit” atau “eksistensi pribadi yang tersendiri”.[40] Tidak heran bahwa Origenes memahami Trinitas sebagai masing-masing hypostasi ilahi yang berbeda dalam martabat dan kekuatan.[41]

Origenes juga dituduh menjadi pre-cursor lahirnya Arianisme (Arius mempertajam subordinasionisme Origenes dengan menempatkan Putera lebih rendah dari Bapa). Namun, banyak teolog modern beranggapan bahwa bila Origenes sampai melukiskan Trinitas sedemikian menjadi subordinasionisme adalah karena Origenes tidak mempunyai bahasa yang cukup (adekwat) untuk melukiskan siapa itu Allah pada masa itu. Dia ‘terpaksa’ memakai bahasa platonis yang berkembang pada waktu itu.[42]

Bahwa pada akhirnya Origenes jatuh pada subordinasionisme bukanlah merupakan kegagalan di pihaknya. Bagi penulis sendiri, setidak-tidaknya pandangan Origenes merintis paham teologi Gereja yang benar di kemudian hari. Origenes memang tokoh yang kontroversial namun menantang. Dr. C. Groenen mengatakan bahwa kebesaran dan keunggulan Origenes hanya dapat dibandingkan dengan Agustinus: dari semua tokoh teologi dalam sejarah hanyalah Agustinus yang sebanding dengan Origenes.[43]

 

BIBLIOGRAFI

  

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 1: Allah Penyelamat. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

 

Goetz, Philip W. (ed.). The New Encyclopaedia Britannica, vol. VIII. Chicago: The University of Chicago, 1986.

 

Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

 

Kabul, Yohanes Sarwo dan Very Ara. Trinitas II: Meneropong Teologi Trinitaris dalam Terang Sistematik. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2001. (Diktat).

 

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi .Yogyakarta: Kanisius, 1996.

 

O’Collins, Gerald – Edward G. Farrugia. Kamus Teologi (Judul asli: A Concise Dictionary of Theology). Diterjemahkan oleh Ignatius Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

 

O’Collins, Gerald. The Tripersonal God: Understanding dan Interpreting the Trinity. London: Geofrey Chapman, 1999.

 

”Origen De Principiis”, dalam The Ante-Nicene Fathers, vol. III. London-New York, 1920.

 

Quasten, Johannes. Patrology, vol. II. Notre Dame: Ave Maria Press, [tanpa tahun].

 

Sipayung, Kornelus. Pneumatologi: Pengalaman akan Roh Kudus dalam Hidup Beriman. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2006, hlm. 21. (Diktat).

 

The Trinity according to Origen. http://www.iep.utm.edu/origen-of-alexandria/. 05 Desember 2011.

 

Whalen, John P. (ed.). New Catholic Encyclopedia, vol. X. Washington: The Catholic University of America, 1981.

 

 

 

 

[1] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1: Allah Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 127-128.

[2] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 133.

 

[3] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 118.

[4] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 136.

[5] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 117.

[6] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 126-127.

[7] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 34.

[8] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 127-130.

[9] Monarkianisme (mono + arche = satu prinsip) adalah aliran yang begitu menekankan kesatuan Allah sehingga menolak Putra Ilahi sebagai yang berpribadi sendiri. Pengikut aliran ini yakin bahwa Yesus adalah ilahi hanya dalam arti bahwa dynamis (Yun. kekuatan) Allah turun ke atas-Nya dan mengangkat-Nya. Sementara monarkianisme modalistis (modus) memandang Tritunggal hanya tiga cara Allah mewujudkan diri dan bertindak. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Monarkianisme”, dalam Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh Ignatius Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 204].

[10] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 131-132.

[11] Gnostisisme adalah gerakan keagamaan yang berciri dualistik. Menurut aliran ini keselamatan terjadi dengan terbebasnya unsur-unsur rohani dari unsur materi yang jahat. Akibatnya adalah bahwa tradisi dan Kitab Suci ditolak, sementara untuk selamat hanya diperlukan pengetahuan istimewa dari tradisi dan pewahyuan rahasia. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Gnostisisme”, dalam Kamus …, hlm. 92.]

[12] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 87-88.

[13] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 99.

[14] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 133.

[15] Ireneus hidup + 140-202, menjadi lawan paling sistematis terhadap gnostisisme. Ia seorang terpelajar. Selama pendidikan dan petualangannya ke mana-mana, antara lain ke Roma, ia mengumpulkan banyak informasi mengenai situasi jemaah-jemaah Kristen di kawasan Laut Tengah. Kanon yang disusun Ireneus: Keempat Injil, 13 Surat Paulus, Kisah Para Rasul, Wahyu, 1 Petrus, 1-2 Yohanes. Kanon Ireneus ini jelas berlawanan dengan kanon susunan Markion. Ireneus membaca banyak karya (a.l. karangan Klemens Romanus, Pastor Hermas, Polycarpus, Papias, Yustinus dan juga karangan-karangan yang beredar di kalangan para penganut gnosis). Ireneus menjadi imam dan uskup di Lyon (177/178), kawasan barat negara Roma yang kurang menyerap kebudayaan Yunani, namun Ireneus, yang menulis dalam bahasa Yunani seperti itu berkembang di kawasan timur. [Lihat Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 99-100.]

[16] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 134.

[17] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 101.

[18] Tertullianus, yang hidup sekitar tahun 166-222, seorang pejuang gigih, malah fanatik, ahli hukum (Romawi) dan seni berpidato. Meskipun mahir dalam bahasa Yunani, namun Tertullianus, seorang penulis yang subur, mengarang semua karyanya dalam bahasa Latin dengan keahlian bahasa yang luar biasa. Cukup banyak istilah teologi yang tradisional berasal dari Tertullianus. Tertullianus adalah seorang tradisionalis yang konservatif. Sifat itu memang pada akhirnya membuat Tertullianus bergabung dengan pengikut-pengikut Montanus (karismatik). Tertullianus melawan gnostisisme dan doketisme. [Lihat Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm.105.]

[19] Sesungguhnya perdebatan mengenai akar kata persona tidak bisa dihubungkan dengan kata personare yang diturunkan dari kata risuonare: “menyembunyikan atau menggemakan kembali”; “kemampuan untuk memerankan sosok pribadi lain dengan mengenakan ‘masker’ atau “menopengi diri dengan wajah orang lain”. Kata persona pertama kali dipergunakan oleh Gavio Basso dalam dunia teater pada abad I. Pada abad pertengahan, kata persona dihubungkan dengan kata phersu untuk menyingkapkan keilahian identitas atau jati diri seorang Persepona (Persipnai). Dalam perkembangannya, Persepona dipergunakan untuk menyingkapkan pribadi seseorang yang terlukis di masker yang dikenakan aktor yang melakonkan perannya. Dalam tradisi Kristiani, kata persona dipergunakan untuk menyingkapkan individualitas seorang manusia. [Lihat Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Trinitas II: Meneropong Teologi Trinitaris dalam Terang Sistematik (Sinaksak: STFT St. Yohanes, hlm. 46. (Diktat)]

[20] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 135.

[21] Paham yang memberikan kedudukan yang lebih rendah  kepada Putera dalam hubungan dengan Bapa, demikian juga dengan Roh Kudus dalam hubungannya dengan Bapa dan Putera. Arianisme mengekstrimkan subordinasionisme Putra dari Bapa, dan Pneumatomachianisme mengekstrimkan subordinasionisme Roh Kudus dari Bapa dan Putera. Lewat Konsili Nikea (325) subordinasionisme Putra ditolak dan Konsili Konstantinopel (381) memulihkan hubungan Bapa – Putera – Roh Kudus. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Subordinasionisme”, dalam Kamus …, hlm. 105.]

[22] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 107.

[23] Johanes Quasten, Patrology, vol. II (Notre Dame: Ave Maria Press, [tanpa tahun]), hlm. 91.; bdk. ”Origen De Principiis”, dalam The Ante-Nicene Fathers, vol. III (London-New York, 1920), hlm. 242, Buku I, Bab I, Nomor 1. (Untuk selanjutnya, kutipan dari The Ante-Nicene Fathers cukup dituliskan: ANF, De Princ. diikuti Buku, Bab, dan Nomor)

[24] ANF, De Princ. I,I,6

[25] ANF, De Princ. I,I,3

[26] ANF, De Princ. I,I, 4

[27] Johannes Quasten, Patrology …, hlm. 75.; bdk. ANF, De Princ. I, I, 6

[28] Gerald O’Collins, S.J., The Tripersonal God: Understanding & Interpreting the Trinity (London: Geoffrey Chapman, 1999), hlm. 109.; bdk. ANF, De Princ. I,II,1

[29] Gnostisisme merupakan aliran yang menekankan pentingnya pengetahun istimewa untuk memahami rahasia Allah. Aliran ini sedikit mempengaruhi pemikiran Origenes. Selain itu, Origenes juga dipengaruhi oleh ide Platonisme yang berkembang pesat pada sekolah Aleksandria. Hal itu, misalnya, tampak dalam pemikiran Origenes tentang baptis. Bagi Origenes, baptis dalam fakta sendiri tidak menuntun ada Rahmat Roh. Roh dicurahkan hanya pada mereka yang ikut ambil bagian dalam perjalanan pendidikan ilahi demi penyempurnaan dan pengilahian, dan pada akhirnya dibentuk menjadi Anak Allah. Lihat, betapa pentingnya aspek pengetahuan bagi Origenes. [Lihat Kornelus Sipayung, Pneumatologi: Pengalaman akan Roh Kudus dalam Hidup Beriman (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2006), hlm. 21. (Diktat).]

[30] Emanasi artinya Realitas yang keluar dari sumber (Allah) seperti cahaya keluar dari matahari. Bahasa ini berasal dari neoplatonisme Plotinus (205-270) dan digunakan oleh St. Thomas dari Aquinas (1225-1274). Gagasan dilawan oleh banyak orang kristiani karena dengan ini tampaknya dunia ini seakan-akan begitu penting dan bahkan sama dengan Allah, bukannya dunia yang dengan bebas diciptakan oleh Allah. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Emanasi”, dalam Kamus …, hlm. 68.]

                [31] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 119-120.

                [32] Philip W. Goetz (ed.), The New Encyclopaedia Britannica, vol. VIII (Chicago: The University of Chicago, 1986), hlm. 998; bdk. Gerald O’Collins, S.J., The Tripersonal …, hlm. 110.

                [33] Kornelus Sipayung, Pneumatologi …, hlm. 21.

                [34] ANF, De Princ. I, III, 2

                [35] ANF, De Princ. I, III, 5

[36]  Dr. Nico Syukur Dister, Teologi …, hlm. 138.

                [37] Memang bahasa yang dipakai Origenes terbatas (jatuh pada subordinasionisme). Hal ini kita lihat dalam Refleksi Kritis.

                [38] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 144.

[39] Kata hypostasis berasal dari kata Yunani, hypestimi (hypo-histemi). Kandungan makna kata hypostasis dapat dipahami apabila dihubungkan dengan kata ousia: hypostasis merujuk pada “ketidaktergantungan, sesuatu yang berdiri sendiri”, namun selalu berada dalam relasi dengan yang lain; sedangkan ousia mengindikasikan kesatuan. [Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Meneropong Teologi Trinitaris dalam Terang Sistematik (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2001), hlm. 47. (Diktat).

[40] Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Hipostasis”, dalam Kamus …, hlm. 103.

[41] Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Meneropong …, hlm. 50.

[42] “Life and Work of Origen”, dalam http://dlibrary. acu. edu. au/research /theology/ gus_nathan.htm, 05 Desember 2011.; bdk. . Gerald O’Collins, S.J., The Tripersonal …, hlm. 110.

[43] Dr. C. Groenen, Sejarah …, hlm. 116.

INFERIORITAS PEREMPUAN (BORU) DALAM KELUARGA PATRIARKAL BATAK TOBA: Ulasan Anthropologis – Teologi Moral Katolik

BAB I

PENDAHULUAN

 

 1. Latar Belakang Pemilihan Tema

Setiap perbedaan memicu dua hal, atau memperkaya satu sama lain atau konflik. Salah satu dari kedua konsekuensi perbedaan itu bisa muncul tergantung kepada bagaimana perbedaan itu disikapi. Konsekuensi positif (saling memperkaya) akan timbul bila perbedaan dipahami sebagai dua hal yang tidak saling bertentangan, tetapi saling menyumbang. Konsekuensi negatif (konflik) akan timbul bila perbedaan dipahami sebagai dua hal yang berlawanan (perbedaan yang di’perbeda’kan).

Ada banyak sekali perbedaan dalam hidup kita. Perbedaan etnis, suku, warna, agama, selera, cuaca, karakter, jenis kelamin, dan seribu satu perbedaan bisa diurutkan di sini. Filosofi yang terkandung di balik setiap perbedaan adalah bahwa setiap perbedaan saling menajamkan hakikat dan identitas masing-masing. Kita mengetahui adanya siang hari karena ada malam hari, menyadari bagaimana bentuk warna hitam karena ada warna lain. Demikian halnya, kita memberi porsi bagaimana identitas laki-laki karena adanya perempuan. Perbedaan itu saling memperkaya dan menyumbang satu terhadap yang lain.

Perbedaan yang disebut terakhir (laki-laki dan perempuan) adalah topik perbincangan tulisan ini. Akhir-akhir ini muncul begitu banyak buku dan artikel-artikel yang mencoba menelisik lebih mendalam identitas lelaki (“dimensi kelelakian”) dan perempuan (“dimensi keperempuanan”). Rupanya perbedaan lelaki dan perempuan adalah hal yang senantiasa ‘misterius’ sehingga menumbuhkan minat untuk senantiasa mengulasnya. Sebagai sebuah isu, persoalan gender sebenarnya baru muncul dan mencuat beberapa tahun terakhir ini. Namun, jika dicermati lebih jauh persoalan itu adalah persoalan manusia ‘sepanjang segala abad’.

Dalam pandangan tradisi filosofis Yunani pun, perbedaan perempuan dan laki-laki menjadi sebuah soal dan isu perbincangan para filsuf. Pembedaan klasik itu berisikan bahwa laki-laki dikaitkan dengan eksterior, kerja yang digaji, kuasa, kompetisi, budaya, perang dan politik, akal budi dan seterusnya; sedangkan perempuan dikaitkan dengan interior, rumah, mengurus anak dan keluarga, kecantikan, intuisi, alam(i).[1]

Sebut saja Plato dan Aristoteles, dua filsuf besar Yunani kuno, mewakili dunia filosof Yunani. Plato mengatakan bahwa kodrat perempuan adalah fungsi reproduktif. Kendati boleh sama dalam pendidikan, bagaimanapun perempuan tetap lebih lemah dan rendah dari laki-laki. Pendapat yang agak mirip dikemukakan oleh Aristoteles bahwa perempuan adalah manusia yang kurang penuh dan lengkap. Perempuan adalah “laki-laki yang tidak lengkap”. Fungsi reproduktif-prokreatif perempuan menjadi penentu kodrat seorang perempuan. Lebih lanjut, Aristoteles mengatakan bahwa laki-laki dikaitkan dengan roh yang memiliki unsur yang memimpin, sedangkan wanita dihubungkan dengan roh yang mempunyai unsur tunduk dan taat.[2]

Dalam budaya Batak Toba juga, kedudukan dan peran perempuan itu dianggap inferior bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal itu disebabkan oleh sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh budaya Batak Toba itu sendiri, sehingga wanita kerap dijadikan “obyek”. Pun dalam zaman modern ini, bentuk-bentuk kekerasan dan ketidakadilan terhadap wanita masih bisa ditemukan dalam keluarga Batak Toba. Mengapa hal itu sampai terjadi? Sejauh mana persis bisa dipahami struktur dan sistem kekerabatan patrilineal Batak Toba itu dapat memicu terjadinya ketidakadilan terhadap wanita? Apakah tidak titik-titik cerah dalam sistem kekerabatan itu menuju penghargaan terhadap martabat wanita? Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik hati penulis untuk menggarap tema perihal inferioritas wanita dalam budaya Batak Toba.

  1. Perumusan dan Pembatasan Tema

Hidup manusia adalah sebuah proyek mencari makna. Manusia itu merupakan rahasia besar dan suci. Ia adalah sebuah misteri. Dengan kata lain, manusia itu biasa disebut makhluk yang paradoksal. Paradoks berarti bahwa sesuatu tampaknya bertentangan, tetapi tidak berkontradiksi; otonom dan tergantung, sosial dan individual, fana dan baka, dan seterusnya.     Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Pengalaman akan budaya adalah pengalaman eksistensial[3] umat manusia. Karena manusia adalah makhluk yang paradoksal, maka kebudayaan manusia itu pun kena hakikat paradoksalitas itu. Dari dasarnya, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dibuat oleh manusia, karena akal budinya untuk membangun, mengembangkan kehidupannya sebagai manusia yang berakal budi. Tindakan manusia yang sifatnya menghancurkan, merendahkan martabat manusia sesungguhnya bukanlah kebudayaan.[4]

Adat-istiadat dan budaya Batak Toba adalah salah satu kebudayaan sub-etnis yang memiliki sistem dan aturan tertentu. Budaya Batak Toba adalah hasil permenungan dan bentukan para pendahulu Batak Toba itu sendiri. Namun, serentak dengan itu juga, kebudayaan itu membentuk insan Batak Toba kembali, tentu dalam rangka mencapai nilai-nilai yang digariskan di dalamnya. Nilai-nilai itu dikristalkan dalam struktur adat yang disebut “Dalihan na tolu”[5].

Struktur adat dalihan na tolu ini masih luas. Dalihan na tolu (hulahula, dongan tubu, boru) sendiri memang  adalah satu kesatuan yang saling tergantung. Oleh karena itulah secara sekilas keterkaitan ketiga hal itu akan dibahas sebelum memulai inti perbincangan tentang inferioritas boru dalam tulisan ini. Lagi, kendati inferioritas perempuan Batak Toba itu kena pada setiap suku Batak Toba pada umumnya, namun penulis mempersempit penelitian dan pembahasan pada keluarga Batak Toba yang beragama Katolik saja. Dengan demikian dapat dipahami batasan tulisan makalah ini yang berjudul: Inferioritas Perempuan dalam Struktur Patriarkal Batak Toba.

  1. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

             Makalah ini ditulis sebagai bahan untuk menyempurnakan mata kuliah teologi moral: Seks dan Perkawinan. Mata kuliah ini adalah bahan pelajaran yang disajikan pada semester X tahun kelima di STFT St. Yohanes – Pematangsiantar.

Di samping itu, penulis juga ingin menggali lebih dalam fenomena umum dalam masyarakat saat ini, terlebih dalam adat budaya Batak Toba, perihal ketidakadilan terhadap perempuan. Bahasa lain untuk itu, yang dipakai dalam makalah ini adalah ‘inferioritas perempuan’ dibandingkan dengan laki-laki (suami). Selain untuk penulis, tulisan ini kiranya berguna untuk banyak orang terlebih insan yang mencintai keluhuran martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan, terutama sebagaiman dipahami dalam teologi moral Katolik.

  1. Metode Penelitian dan Penulisan

             Makalah ini ditulis berdasarkan metode penelitian lapangan (wawancara-angket) dan kepustakaan (library research). Responden untuk metode penelitian lapangan (angket) berjumlah lima puluh (50) orang yang tersebar di daerah Sibaganding – Paroki St. Josep, Jl. Bali Pematangsiantar (kampung halaman penulis sendiri), Kisaran, Aekkanopan (tempat penulis menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral 2010-2011 yang lalu), paroki St. Fransiskus – Jl. Medan dan orang-orang Batak Toba di Stasi Pulian Baru – Kuasi Paroki Raya (tempat penulis saat ini mengadakan kerasulan). Penulis langsung mengadakan wawancara untuk para responden di Sibaganding, Jl. Medan dan Pulian Baru. Sementara untuk para responden di Kisaran dan Aekkanopan (30 %), penulis menghubungi mereka lewat media hp (hand phone).

            Tentulah sudah ada “apriori” dalam benak penulis sebelum menulis makalah ini. Hal itu sudah penulis alami dan saksikan ketika masih kecil. Namun, apriori itu perlu diperkuat dengan data-fakta dari lapangan. Dan, tinjauan ilmiah perlu atasnya lewat penelitian kepustakaan dengan menggunakan buku-buku budaya Batak Toba. Serentak dengan itu, keluhuran martabat pria dan wanita, yang begitu kentara dalam paham moral Katolik, didalami dan diteliti dengan seksama.

  1. Sistematika Penyajian

 Bab I adalah Pendahuluan. Bab ini terdiri dari: latar belakang pemilihan tema, perumusan dan pembatasan tema, tujuan dan kegunaan penulisan, metode penelitian dan penulisan, dan sistematika penyajian.

Dalam bab II akan diperlihatkan data-fakta penelitian lapangan (angket) perihal problem inferioritas perempuan dalam budaya Batak Toba. Hal ini sangat perlu, agar teori tentang kentalnya budaya patrilineal dalam suku ini bisa terbukti di lapangan.

Sementara itu, dalam Bab III dibahas bagaimana peran dan kedudukan boru (perempuan) dalam budaya Batak Toba sendiri dalam konsep dan teori yang dibakukan pada buku-buku ilmiah. Bidang-bidang hidup adat-istiadat itu dikemukakan di sini: prinsip hidup, warisan, struktur huta (kampung), perkawinan dan keluarga.

Budaya itu perlu didalami lewat cara pandang Katolik. Hal itu diuraikan dalam Bab IV. Di sini, idealisme relasi-persekutuan suami dan isteri ditekankan. Artinya, keluhuran martabat manusia adalah yang utama, sebagai pria dan wanita.

Bab V adalah kesimpulan dan tindakan pastoral yang konkrit. Setelah uraian persoalan dalam makalah ini disimpulkan, perlu kiranya suatu aksi nyata (pastoral). Sebenarnya ungkapan-ungkapan dalam budaya Batak Toba sendiri bernada paradoksal.[6] Hal ini menjadi titik tolak untuk tindakan pastoral, demi peluhuran martabat manusia. Dalam rangka ini, katekese adalah sesuatu yang sangat mendesak bagi umat Katolik secara khusus.

  

BAB II

DATA-FAKTA PROBLEM INFERIORITAS PEREMPUAN

 DALAM BUDAYA PATRIARKAL SUKU BATAK TOBA:

TABULASI DAN ANALISA HASIL PERTANYAAN ANGKET

 

  1. Tabulasi Hasil Penelitian Angket[7]

 

No. Daftar Pertanyaan yang diajukan kepada responden Alternatif jawaban Jumlah responden Persentase (%)
01 Siapakah yang paling berperan dalam keluarga anda?

 

a. Suami 33 66
b. Isteri 17 34
c. Keluarga dekat (mertua, Lae, dll)
d. ………………

 

02 Apakah anda mengetahui struktur kekerabatan dalam keluarga anda (Batak Toba)? a. tahu 14 28
b. tahu sedikit 7 14
c. tidak tahu 20 40
d. ragu-ragu 9 18
Jika tahu, sebutkanlah………….

 

Patrilineal
03 Siapa yang paling peduli dengan kehidupan keluarga anda, termasuk mencari nafkah: a. Suami 12 24
b. Isteri 20 40
c. Sama-sama

 

18 36
04 Pendapat siapa yang paling harus didengarkan/diikuti dalam hidup keluarga anda?: a. Suami 24 48
b. Isteri 7 14
c. Anak-anak
d. Keluarga dekat (misalnya mertua)
e. Pembicaraan bersama antara bapak, ibu dan anak-anak

 

9 18
05 Tanggung jawab dalam mendidik anak, kebanyakan adalah tanggung jawab siapa?: a. Suami 12 24
b. Isteri 20 40
c. Dua-dua (Suami dan isteri)

 

18 36
06 Bila ada acara-acara adat dan keluarga, siapa yang berperan “mandok hata”: a. Suami 48 96
b. Isteri
c. tidak tahu 2 4
07 Dimana kebanyakan aktivitas bapak dihabiskan?: a. Tempat kerja (ladang, kantor, dll.) 20 40
b. kedai 16 32
c. Gereja
d. rumah 14 28
e. ………………

 

08 Dimana kebanyakan aktivitas ibu dihabiskan?:

 

a. Rumah 24 48
b. rumah tetangga dan keluarga 5 10
c. tempat kerja (ladang, kantor, dll.) 16 32
d. Gereja 5 10
e. ……………………

 

     
09 Bagaimana perihal pembagian warisan?: a. yang dihitung hanya pihak laki-laki 20 40
 

b. pihak boru juga dihitung

12 24
c. tergantung keadaan dan kebijakan orang tua pemberi warisan 18 36
d. …………………….

 

10 Di manakah dulu acara perkawinan bapak/ibu dilangsungkan?:

 

a. di tempat suami (paranak) 25 50
b. di tempat isteri (parboru) 11 22
c. di tempat lain (sopo bolon, wisma, dll) 14 28
d. ……………………….

 

Mengapa di tempat tersebut:

 

  1. Atas dasar kesepakatan
2 4
  1. Begitu menurut adat
48 96
  1. ………………

 

11 Apakah suami mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah (menyapu, mencuci piring, dll):

 

a. selalu 7 14
b. kadang-kadang 16 32
c. jarang sekali 14 28
d. tidak pernah

 

13 26
Mengapa? Malu, tidak biasa, malas, dll.
12 Apakah isteri sering mengerjakan pekerjaan-pekerjaan laki-laki? a. selalu 20 40
b. kadang-kadang 10 20
c. jarang sekali 5 10
d. tidak pernah

 

5 10
Jenis pekerjaan itu adalah:

 

Mencangkul, mengangkat kayu, mendorong traktor tangan, membabat, narik angkong, dll.
Mengapa? Suami malas kerja, suami tidak di rumah, terpaksa dll.
13 Pernahkah anda mengadakan doa bersama keluarga?:

 

a. selalu 9 18
b. kadang-kadang 16 32
c. jarang sekali 9 18
d. tidak pernah

 

16 32
Mengapa? Doa pribadi/masing-masing, tidak biasa, tidak tahu berdoa, dll.
14 Adakah saat-saat kumpul bersama keluarga?:

 

a. selalu 9 18
b. kadang-kadang 18 36
c. jarang sekali 16 32
d. tidak pernah

 

7 14
     
     
Mengapa? Sibuk, tidak biasa, menghabiskan waktu, dll.
15 Jika diadakan periodisasi pengurus Gereja, mana lebih anda senang memilih KDPS/pemimpin laki-laki atau perempuan:

 

a. laki-laki 16 32
b. perempuan 18 36
c. sama saja

 

16 32
Alasan
  1. Semua tergantung kualitas pribadi
14 28
  1. Laki-laki akan lebih mudah diterima publik (begitu lumrah menurut adat)
16 32
  1. Umumnya perempuan kurang mampu memimpin
   
  1. Perempuan lebih sabar
20 40
  1. …………..

 

   
16 Dalam kehidupan keluarga anda, apakah laki-laki dan perempuan sama saja?:

 

a. Sama saja 18 36
b. laki-laki superior 20 40
c. perempuan superior

 

12 24
Alasan Semua itu anugerah Tuhan, supaya ada penerus marga, dll.
17 Pernahkah suami melakukan KDRT terhadap anda sebagai isteri?:

 

a. pernah, bahkan sering 20 40
b. tidak pernah 14 28
c. kadang-kadang 16 32
  1. …………………

 

   
Bagaimana reaksi anda? Menangis, melawan, tidak cakapan, mengadu pada mertua dan orang tua, dll.

 

 

  1. Analisa atas Hasil Tabulasi Angket

 

Hasil angket menunjukkan bahwa suami adalah orang yang paling berperan dalam kehidupan keluarga (66 %), selebihnya adalah isteri dan keluarga dekat. sekaitan dengan ini, pada pertanyaan angket nomor 4, responden menjawab bahwa pendapat suami juga yang selalu harus didengarkan/diikuti dalam hidup keluarga (48 %).

Namun, penulis sedikit terkejut juga bahwa 40 % responden tidak mengetahui konsep kekerabatan dalam adat budaya Batak Toba. Barangkali “nama konsep” tidak mereka ketahui namun “konsep yang hidup” dalam budaya mereka geluti dan alami (hal itu terbukti dari jawaban-jawaban yang diberi atas pertanyaan-pertanyaan angket).

Dalam urusan rumah tangga tampaklah bahwa ibu memegang kendali yang penting dalam keluarga, seperti: tanggung jawab mendidik anak-anak (40 %), mengurus rumah (48 %). Sementara itu, suami menghabiskan banyak waktu di tempat kerja seperti ladang, kantor, dll (40 %) dan kedai tuak (32 %), hanya 28 % yang menghabiskan kebanyakan waktunya di rumah bersama keluarga, bahkan suami tega melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap isteri (50%). Isteri yang berada di pihak inferior, 40 % sudah harus ikut serta menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Dalam hal ini para isteri harus terjun mengerjakan pekerjaan-pekerjaan laki-laki (40 %), seperti mencangkul, mengangkat kayu, membajak, mendorong traktor tangan, dll. Saat-saat kebersamaan dalam keluarga masih belum memuaskan (36 %), termasuk di dalamnya doa bersama keluarga 18 % selalu serta 32 % kadang-kadang dan tidak pernah.

Dalam acara-acara adat, sistem patrilineal itu dipegang kuat. Hampir semua responden (96 %) menjawab bahwa peran suami-lah untuk “mandok hata” (menyampaikan kata-kata, terima kasih, selamat, dll) dalam acara-acara adat. Acara perkawinan juga dominan diadakan di tempat paranak (tempat suami) karena demikian telah ditentukan dalam adat. Bagaimana perihal pembagian warisan? Umumnya yang dihitung adalah pihak laki-laki (40 %), namun 36 % responden menjawab bahwa pihak boru juga dihitung tergantung keadaan dan kebijakan orang tua pemberi warisan. Persentase dalam pembagian warisan ini bisa dikatakan merupakan suatu kemajuan tertentu terlebih dalam konteks status patrilenal adat Batak Toba yang kental.

Terkait dengan jenis kelamin keturunan, 40 % mengatakan bahwa anak lelaki merupakan keturunan yang paling dinanti dari pada perempuan. Namun, seturut perkembangan pengetahuan, di era modern ini, 36 % responden sudah menjawab bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama saja. Wow!! Persentase ini juga lumayan besar. Sementara itu 24 % menjawab bahwa anak perempuan lebih dinantikan dibandingkan laki-laki.

Dalam lingkup Gereja, 36 % responden lebih cenderung akan memilih perempuan menjadi KDPS (ketua dewan pastoral stasi). Alasannya adalah perempuan lebih loyal pada pekerjaan, berdedikasi dan sabar dalam memimpin. Sementara itu 32 %, pesentase yang sama dengan mereka yang mengatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama saja, memilih laki-laki karena lebih diterima publik (lumrah menurut adat) dan cekatan.

  1. Kesimpulan dari Angket

 Dari hasil analisa data di atas, nyatalah bahwa status dan kedudukan perempuan tergolong inferior bila dibandingkan dengan lelaki dalam budaya Batak Toba. Namun, serentak dengan itu, beberapa kemajuan pemikiran yang menganggap bahwa perempuan juga layak dipercaya patut diacungi jempol. Fakta memang memperlihatkan bahwa dalam beberapa segi kehidupan laki-laki masih merupakan pemegang kendali hidup berkeluarga. Memang, kecuali itu, dalam lingkup Gereja (misalnya periodisasi pengurus Gereja) perempuan masih lebih dipercayai menjadi pemimpin/jabatan pelayanan. Inferioritas perempuan lebih cenderung tampak dalam bidang struktur kebudayaan dan adat-istiadat. Patut dicatat juga, bahwa adat-istiadat menyatu dalam kehidupan konkrit sehari-hari dan pengaruhnya begitu besar.

  

 

BAB III

 PERAN DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN (BORU[8])

DALAM STRUKTUR ADAT DALIHAN NA TOLU

 

 

  1. Struktur Adat Dalihan Na Tolu dalam Budaya Batak Toba

 

            Debata Na Tolu (yakni: Debata Bataraguru, Soripada, Balabulan) yang mewujudkan diri dalam Dalihan Na Tolu memiliki kedudukan yang sejajar dan tidak dibeda-bedakan. Debata Bataraguru tidak lebih tinggi dari pada debata soripada dan debata balabulan, dan sebaliknya. ketiganya sama-sama wujud pancaran Debata Mulajadi Nabolon. Yang berbeda adalah fungsi dari ketiganya. Debata Bataraguru menjalankan fungsi hahomion; Debata soripada hamalimon dan Debata Balabulan, hagogoon. perbedaan fungsi tidak menjadikan ketiganya berbeda melainkan tetap merupakan totalitas yang sempurna dan tidak terpisahkan.[9]

Karena Debata Na Tolu mendasari Dalihan Na Tolu, maka prinsip itu diterapkan juga pada Dalihan Na Tolu. Kedudukan hulahula, dongan sabutuha, dan boru sama-sejajar. kepada hulahula dipakai sebutan raja, kepada dongan sabutuha dan boru juga demikian. karena itu kepada hulahula disebut raja ni hulahula, kepada dongan sabutuha disebut raja ni dongan sabutuha, dan kepada boru disebut raja ni boru.

            Keharmonisan sistem dan struktur Dalihan Na Tolu ini bisa dibandingkan dengan tungku pemasak. Bila tungku tidak sejajar maka periuk dan alat pemasak lainnya yang ada di atasnya tidak akan aman. Hal yang sama dengan Dalihan Na Tolu, salah satu elemen saja dilupakan, maka akan terjadi disharmoni di antara sistem kekerabatan yang lain.[10]

Kata lain dari paparan di atas adalah bahwa sistem Dalihan Na Tolu Batak Toba tidak mengenal stratifikasi sosial,[11] lebih tepat kiranya dikatakan mengenal diferensiasi sosial. Artinya, sistem itu bersifat terbuka: setiap orang memiliki kemungkinan untuk menempati setiap posisi pada waktu dan saat tertentu. Ada saatnya seseorang bertindak sebagai hulahula, dongan tubu, dan boru. Peran dan kedudukan apa diperankan seseorang dalam acara adat tergantung kepada ‘status’ yang disandangnya pada saat itu. Peran itu bisa diketahui tergantung kepada siapa suhut (penyelenggara pesta/tuan rumah).

Dalihan Na Tolu ini menjadi penyeimbang dalam relasi, menjadi inti struktur kemasyarakatan. Seluruh kehidupan masyarakat Batak Toba diletakkan di atas prinsip Dalihan Na Tolu ini. Hal yang hendak dicapai dalam ber- Dalihan Na Tolu ini adalah hasangapon, hamoraon dan hagabeon. Inilah yang menjadi tujuan hidup orang Batak Toba dan harga diri orang Batak ada dan ditentukan oleh ketiga konsep ini.[12] Hamoraon, hagabeon dan hasangapon dapat dikatakan prinsip atau tujuan hidup yang tak terpisahkan dalam diri orang Batak Toba. Ketiganya adalah satu bagai sempurnanya Dalihan Na Tolu. Hamoraon mengandaikan hagabeon, karena kekayaan akhirnya tidak sebatas harta. Hasangapon mengandaikan hamoraon dan hagabeon. Tidak bisa dibayangkan orang yang sangap tetapi tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai anak. Orang yang sangap berarti mempunyai keturunan yang banyak (gabe) dan juga harta (mora). Ketiga konsep ini saling mensyaratkan.

 

1.1. Hasangapon

Orang Batak Toba berhasrat menjadi orang yang berwibawa (marsahala), disegani dan diakui, serta dihormati (parhata siat, parhata oloan).  Inilah yang dapat disebut dengan hasangapon.[13] Di dalam Hasangapon terkandung makna kemuliaan, kewibawaan, karisma, kehormatan, dan semacam daya untuk meraih kejayaan.

Orang yang sangap itu terpuji, dapat menjadi teladan dan nyaris tanpa cela, sempurna, tidak ada cemoohan dari orang lain. Dengan pendek kita dapat mengartikan hasangapon sebagai kehormatan.[14] Pencapaian hasangapon terkandung dalam ungkapan: Molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu. Artinya, kalau engkau ingin terhormat, hati-hati atau bijaksanalah berhadapan dengan dongan tubu.

  

1.2. Hagabeon

Hagabeon berarti memiliki banyak keturunan sekaligus berumur panjang. Ini terungkap dalam umpasa:

Andor halumpang ma togutogu ni lombu dohot horbo laho tu Lapogambiri

Sai saur ma hamu leleng mangolu paihutihut pahompu sahat tu na marnono marnini.[15]

Ukuran umum hagabeon dalam Batak Toba adalah bila mempunyai keturunan baoa (laki) dan boru (perempuan) yang juga kemudian mempunyai keturunan lagi. Jadi bila seseorang dalam hidupnya sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki, cucu dari anak perempuan, serta semua anaknya baik laki-laki dan perempuan sudah berumah tangga dan mempunyai keturunan, maka ia disebut gabe.

Hagabeon-nya menjadi sempurna ketika masih hidup ia masih bisa melihat cicit (apalagi kalau dari cucu perempuan dan cucu laki-laki). Itulah puncak sempurna hagabeon. Ini biasanya diupacarakan lewat pesta sulangsulang hariapan. Dalam sulangsulang hariapan, semua keturunan datang ke hadapan orang tuanya membawa makanan, dan dengan itu sang orangtua dinobatkan berhenti dari segala peradatan, karena telah purna dalam adat. Orang yang sudah mencapai tahap ini sering juga disebut saur matua bulung lapus marsegesege abuan (karena begitu lanjut usianya ia kembali seperti cicitnya yang bermain-main dengan menampi-nampi tanah).

Hagabeon dalam arti mempunyai keturunan yang banyak sangat penting dalam meneruskan garis marga (Tarombo), mengusahai lahan pertanian yang luas, saling membantu dalam kesulitan, dan mempunyai personil yang banyak dalam menghadapi musuh. Dengan inilah mereka pun kemudian menjadi disegani (sangap). Hagabeon adalah awal dari hasangapon.

Dalam pencapaian hagabeon, orang Batak Toba mengatakan: ”molo naeng ho gabe, somba marhulahula” (untuk menjadi gabe maka harus hormat kepada hulahula). Dalam pandangan orang Batak Toba, hula-hula adalah perantara yang sangat berkuasa  untuk mendoakan hagabeon bagi boru-nya kepada Debata Mulajadi. Karena inilah, maka hulahula disebut sebagai Debata Natarida (Dewata yang Kelihatan). Hulahula adalah pelimpah rahmat yang harus dihormati. Segala bentuk kehidupan yang dialami oleh pihak boru diyakini bersumber dari hulahula.[16]

 

  • Hamoraon

Hamoraon merupakan hal yang didamba dan cukup menentukan martabat dan harga diri dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini terkandung dalam umpasa:

Asa tangkas ma uju Purba, tangkasan uju Angkola

Asa tangkas hita maduma, tangkasan hita mamora.[17]

Orang Batak Toba sangat mendamba kekayaan secara materiil. Dalam paham orang Batak, cara untuk mendapat kekayaan terutama berpangkal dari konsep elek marboru. Molo naeng ho mamora, elek marboru (kalau engkau ingin kaya, bujuklah [dengan bijaksana] pihak boru. Boru adalah (keluarga dari) pihak menantu, atau yang memperistrikan putri kita. Dalam tataran Dalihan Natolu, pihak boru berada di bawah kita. Merekalah yang menjadi ”pelayan” kita.[18]

 

  1. Perempuan dalam Bingkai Sistem Dalihan Na Tolu

Seperti dikatakan di atas, Tatanan sosial kekeluargaan, atau sistem kekerabatan orang Batak Toba dibakukan dalam apa yang disebut sistem “Dalihan na Tolu”. Sistem ini menempatkan setiap orang Batak Toba dalam bingkai: hulahula, dongan sabutuha, boru. Setiap orang akan pernah pada suatu saat sebagai hulahula, dongan sabutuha, atau boru. Ini sangat sosial, karena pada suatu saat tidak pernah orang tetap pada posisinya. Semua orang akan pernah pada posisi terhormat dan posisi pelayan.

Akan tetapi serentak dengan itu, dalam konstelasi prinsip Dalihan na Tolu itu muncullah juga penempatan status perempuan dalam budaya Batak Toba. Status hulahulalah status yang lebih tinggi, yang patut disembah dan dihormati. Hulahula adalah Bona ni Ari (awal kehidupan, hari). Sementara pihak boru adalah pihak yang melayani hulahula. Itulah yang terungkap dalam pepatah: “Siporsan na dokdok, sialap na dao. Na so mabiar di ari golap, siboan indahan na so bari, siboan tuak na so mansom.” (Yang menanggung beban berat, yang menjemput yang jauh. Yang tidak takut pada waktu gelap, yang membawa nasi yang tidak pernah basi, yang membawa tuak yang tak pernah menjadi masam). Inilah kedudukan boru dalam kaitan dengan hulahulanya. Di satu pihak dinyatakan kedudukannya yang menanggung beban, “siporsan na dokdok, sialap na dao”, tetapi di pihak lain diperlihatkan keunggulannya, “na so mabiar di ari golap, siboan indahan na so bari, siboan tuak na so mansom”.

 

  1. Perempuan dalam Suatu Kampung (Huta)[19]

Setiap kampung atau desa (huta) di daerah Batak Toba dimiliki oleh marga tertentu. Pemiliknya adalah marga yang membuka pertama kampung tersebut. Inilah yang disebut ‘si pungka huta’, yang membuka kampung. Marga yang membuka kampung itulah yang disebut ‘marga raja’. Biasanya marga itulah yang kelak lebih banyak di kampung tersebut dan dari merekalah nanti diangkat raja kampung itu (raja huta). Semua marga yang bukan ‘marga raja’ itu akan disebut ‘marga boru’ yang tidak mempunyai hak untuk menjadi raja di kampung tersebut.

Dari sini kita mendapat dua kelas sosial penduduk sebuah huta. Dan kedudukan yang lebih rendah diungkapkan dengan ‘marga boru’. ‘Marga boru’ adalah warga kelas dua di suatu kampung. Dari situ kita mendapat paham bahwa kata ‘boru’ mendapat nilai untuk memperlihatkan kelas atau status yang lebih rendah.

 

  1. Perempuan dalam Pengadilan (Saksi)[20]

Bila ada suatu masalah, di mana dibutuhkan saksi untuk memecahkan kebuntuan persoalan, maka laki-lakilah yang berhak menjadi saksi. Perempuan tidak diterima sebagai saksi dalam suatu perkara. Hal ini berarti bahwa perempuan tidak mempunyai wibawa untuk memberikan suatu keterangan resmi juridis di “pengadilan”. Mereka hanya diminta sebagai saksi di mana mereka sendiri terlibat secara tidak sengaja dalam persoalan yang sedang diputuskan.

 

  1. Perempuan dalam Perkawinan dan Pembagian Warisan

Dalam tata perkawinan, status perempuan (boru) juga tampak inferior. Beberapa ungkapan orang Batak Toba kiranya dapat menunjukkannya. “Molo dung magodang anak, pangolihonon. Molo dung magodang boru, pamulihonon.” (Kalau anak putera sudah besar, menikah. Kalau anak puteri sudah besar ‘dinikahkan’). Secara semantik kata yang digunakan untuk perempuan mengandung nada degradatif (merendahkan). Pamulihonon berasal dari kata muli. Muli berarti pergi; maka pamulihonon berarti ‘membuat atau menyuruh pergi’. Ada nada negative seolah-olah mengusir. Bahkan ada orang yang melihat bahwa kata pamulihonon adalah bentuk halus dari pabolihonon. Boli = beli, yang dalam bahasa Batak Toba adalah padanan dari tuhor. Maka perempuan dalam tata perkawinan adalah pihak “yang dibuat untuk dibeli”. Maka tidak mengherankan bila orang Batak Toba menyebut pesta perkawinan puterinya, “mangallang ‘tuhor’ ni boru” (memakan uang hasil pembelian anak puteri), yang kerap diperhalus dengan ungkapan ‘mangallang juhut ni boru’ (memakan daging [yang disediakan] puteri).[21]

Konon, pada waktu pesta perkawinan baik si laki-laki maupun si perempuan mengenakan ulos yang disilangkan di depan dan di belakang. Tetapi makna disilangkan itu berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Makna kain ulos yang disilangkan untuk perempuan berarti perempuan “menyalibkan” dirinya kepada suaminya: ‘borua pasilanghon dirina tu tunggane dolina’. Itu berarti si perempuan menyerahkan ketaatan dan kesetiaan kepada suaminya.

Ungkapan lain yang menunjukkan inferioritas perempuan ialah ‘Sipatogu parik ni halak do anggo borua’ (Perempuan hanya memperkukuh benteng orang lain). Menurut budaya Batak Toba manusia berkeluarga adalah untuk memperbanyak marganya. Namun, karena suku Batak Toba menganut sistem patrilineal, maka perempuan tidak berhak untuk itu. “’Patorop sijujung marga’ do umbahen mangoli halak. Baoa i do na marhak di sasude: di tano, di ugasan, hepeng, jabu, pinahan nang ulaon siganup ari. Asa baoa tubu ni ama i do ‘panean di sude arta’. Jala pinda do hak paneanon i tu hahanggi, molo pupur ama i, so manubuhon ‘anakbaoa’”. (Seseorang menikah untuk memperbanyak marga. Laki-laki berhak atas segalanya: tanah, harta, uang, rumah, peliharaan dan pekerjaan. Karena itu laki-laki yang dilahirkan oleh seorang bapalah yang menjadi pewaris dari semua harta. Dan hak pewarisan itu akan beralih kepada saudara-saudaranya, bila seorang bapa mati pupur, tidak melahirkan seorang anak laki-laki).[22]

Berkaitan dengan pewarisan harta orang tua, perempuan tidak berhak. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan laki-laki, maka hak waris jatuh ke tangan saudara-saudara yang meninggal itu. Itulah yang terungkap dalam lagu ratap seorang perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki: “Habang siturtu, marpuroto-puroto. Mata tumuluttulut, mida halak na mariboto. Adong do ibotonghu, tubu ni amanguda. Ndang marsalobian sian na marsabutuha. Hansit na so mariboto, ise manorsahon i? I ma sahit sinaoto, mangeruni daging i.” (Burung siturtu terbang, meliukliuk. Mata menjadi iri melihat orang yang mempunyai saudara. Memang ada saudaraku, anak bapa udaku. Tetapi ini tidak lebih dari bersaudara. Betapa sakit tidak mempunyai saudara, siapa gerangan bisa mengisahkannya. Itulah penyakit yang paling menderitakan, yang menghancurkan tubuh). Ratapan perempuan yang tidak mempunyai saudara semakin dipertegas dengan ungkapan berikut: ‘Pangeoleolmi solu, solu na di tonga tao. Molo matipul holemi solu, maup tudia nama ho. Pangeoleolmi boru, boru na so mariboto. Molo mate amanta i boru, maup tudia nama ho.’ (Lenggak-lenggokmu wahai perahu, perahu di tengah danau. Kalau dayungmu patah, kemanakah gerangan dikau. Lenggak-lenggokmu wahai puteri, puteri yang tidak mempunyai saudara. Kalau bapamu mati, bagaimanakah nasibmu). Ratapan ini menunjukkan betapa fundamentalnya keberadaan saudara laki-laki bagi seorang anak perempuan bagi orang Batak Toba.[23]

Catatan lain yang menunjukkan status wanita dalam tata perkawinan adalah ungkapan dan sapaan yang dialamatkan kepadanya. Ada ungkapan yang bernada hormat untuk isteri, yakni “parsonduk bolon” (pelayan agung). Namun, bila diteliti dengan cermat baru akan terasa bahwa dalam ungkapan itu terkandung suatu sense inferioritas untuk wanita. Dalam ungkapan ‘parsonduk bolon’ terkandung rasa kehormatan sekaligus ide hamba, pelayan. Isteri adalah orang yang menyendok nasi dan melayankan makanan (parsonduk) kepada suaminya. Dia adalah “pelayan” suaminya.

Ungkapan lainnya adalah ‘partalga’, partalagaanku. Talaga adalah bagian tempat duduk di rumah di mana para pelayan (parhobas) duduk agar gampang melayani. Tempat orang terhormat ada di halangulu, karena itulah suami kerap disebut ‘parhalangulu’.

Boru sebagai salah satu elemen Dalihan Na Tolu mempunyai peran yang penting dan sentral. Boru menjadi tulang punggung acara adat, sebagai parhobas (pelayan). Dia juga berfungsi sebagai pendamai bila ada konflik. Dalam setiap acara adat kepada boru juga diberi tanggung jawab untuk menanggung kerugian (ikut serta menanggung kerugian). Boru akan rela melakukan apa saja untuk hulahula demi kelancaran pesta yang diadakan oleh hulahula. Bahkan ia tidak akan segan-segan berhutang kepada siapa saja demi kebaikan hulahula.

Maka tidak berlebihan, bila tadi dikatakan bahwa peran boru sangat sentral dalam setiap acara adat. Mereka harus dibujuk (elek marboru), disayangi, dihargai dengan cara memberi ulos atau jambar. Setiap orang akan berusaha agar boru-nya tidak sakit hati atau kecewa, karena dengan demikian boru akan berusaha semaksimal mungkin untuk melayani (manghobasi) hulahulanya.[24]

 

  1. Posisi Perempuan dalam Perceraian Perkawinan[25]

Bila dalam suatu perkawinan terjadi kekurangcocokan, pertengkaran atau segala hal lain yang mengarahkan ikatan perkawinan putus, maka kata akhir dari pemutusan ikatan itu selalu berada di tangan pihak laki-laki. Perempuan tidak mempunyai hak untuk itu. Karena tuhor dan sinamot telah dibayar pihak si laki-laki kepada perempuan, maka si perempuan adalah “harta”, “milik” si laki-laki.

Kalau si laki-laki menceraikan isterinya atas inisiatifnya, maka dia tidak berhak mendapat bayaran kembali tuhor dan sinamot  yang sudah dia berikan kepada keluarga si perempuan. Tetapi bila si perempuanlah yang pergi meninggalkan si laki-laki dan dengan demikian terjadi perceraian, maka keluarganya harus memulangkan kembali tuhor dan sinamot yang sebelumnya dia terima, dan seluruh biaya pesta pernikahan yang dahulu. Nasib perempuan yang seperti itu, konon, akan berakhir di tempat pasungan, ‘dibeanghon’ (dipasung).

 

 BAB IV

IDEALISME RELASI-PERSEKUTUAN SUAMI DAN ISTERI DALAM TERANG PERKAWINAN KATOLIK: KELUHURAN MARTABAT PRIA DAN WANITA

 

  1. Pria dan Wanita sebagai Citra Allah yang Saling Melengkapi

1.1. Martabat Manusia sebagai Citra Allah

Karena diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi; ia bukan hanya sesuatu (“obyek”) melainkan seorang (“subyek”). Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.[26]

Dalam Kitab Kejadian terdapat dua macam cerita tentang penciptaan: Kej 1:1-2:4a dan Kej 2:4b-25. Suatu informasi penting dalam kisah yang pertama menunjuk langsung secara tegas dasar bagi pemahaman kita akan tubuh manusia. Kita membaca di sana bahwa Allah bersabda: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita …” (Kej 1:26a), “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; lelaki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27).[27]

Pria dan wanita diciptakan, artinya dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. “Kepriaan” dan “Kewanitaan” adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki oleh Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya. Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama “menurut citra Allah”. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.[28] Melihat kisah penciptaan itu, kita dapat “masuk” ke dalam pikiran Allah bahwa sedari awal Allah memiliki maksud tertentu yang sangat jelas dalam menciptakan manusia. Ia menciptakan manusia dengan tubuhnya, sebagai tubuh lelaki dan tubuh perempuan.[29] Artinya, menekankan pada lelaki saja, atau menekankan pada perempuan saja membuat pemahaman kita akan manusia sebagai gambar dan rupa Allah akan menjadi pincang dan tidak utuh.[30]

Sepeti ditekankan tadi, martabat pribadi manusia berakar dalam kodratnya sebagai citra Allah. Semakin manusia bersatu, bahkan melebur dalam Allah, semakin ia “berpribadi”,  “khas” dan “unik”. Pemahaman kepribadian manusia berkaitan erat dengan pengertian Allah sebagai pribadi.[31]

Setiap manusia diciptakan dan dipanggil selain untuk melanjutkan karya penciptaan di dunia juga untuk berhubungan secara pribadi dengan Allah. Martabat pribadi sangat penting untuk mengerti dan memahami martabat manusia secara umum. Dengan menyebut manusia sebagai pribadi di dalammya terkandung beberapa dimensi yang penting. Dimensi pertama ialah bahwa sifat manusia sebagai pribadi mencakup segi kodrati dengan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya yang tidak tergantung dari kedudukannya dan harus diterima, misalnya tubuh, jenis kelamin, ras, budaya, dan kesehatan. Menerima kodrat berarti menyadari tugas dan mengembangkan dirinya secara khas dan bebas. Dimensi kedua, yakni martabat pribadi manusia ini tidak dapat diganggu-gugat; sebab martabat pribadi tidak tergantung dari fungsi, prestasi, atau peran dalam masyarakat. Martabat perbadi melebihi segala bentuk nilai, lembaga, proses ekonomi. Manusia tidak boleh digunakan hanya sebagai sarana, alat demi pencapaian tujuan tertentu. Hidup manusia tidak dapat direduksikan menjadi hal-hal  objek saja.[32]

 

1.2. Pria dan Wanita Saling Melengkapi Satu terhadap yang lain

Allah menciptakan pria dan wanita secara bersama dan menghendaki yang satu untuk yang lain. Sabda Allah menegaskan itu bagi kita melalui berbagai tempat dalam Kitab Suci (bdk. Kej 2:18; Kej 2:19-20; Kej 2:23). Pria menemukan wanita sebagai aku yang lain, sebagai sesama manusia.[33]

Menarik mencermati bahan dalam proses penciptaan manusia oleh Tuhan. Dalam Kej 2:7 dikatakan bahwa bahan yang digunakan adalah “debu tanah”. Dalam bahasa Ibrani, kata yang digunakan adalah ādamāh. Lalu dari bahan dasar ādamāh itu Tuhan Allah membentuk manusia. Ada permainan kata: Tuhan menggunakan ādamāh (debu tanah) untuk membentuk ādām (manusia). Selanjutnya, sekumpulan “debu tanah” yang telah dibentuk menjadi sebuah “tubuh manusia” dengan segala bagiannya itu dijadikan hidup. Tuhan menghembuskan nafas hidup ke dalam “tubuh manusia”. Namun, kemudian Tuhan sadar akan satu hal penting: manusia itu (ādām) membutuhkan penolong yang sepadan.

Kemudian dikisahkan bahwa Tuhan juga menggunakan bahan dasar tanah (ādamāh) untuk menciptakan makhluk-makhluk lain.: binatang hutan, burung, dan ternak. Namun, Tuhan tidak menghembuskan nafas hidup kepada mereka. Dan dari antara makhluk itu, tak satu pun yang dikenali oleh manusia itu sebagai penolong yang sepadan dengan dirinya.[34] Makhluk-makhluk itu ada dengan tubuh saja tanpa ada sedikit bagian pun dari mereka yang bisa mencerminkan sebuah pribadi. Sementara manusia ada dengan tubuh yang mencerminkan pribadi.[35]

Ide lain yang bisa kita petik dari kisah tadi adalah bahwa napas hidup yang diberikan oleh Tuhan itu, sekali diberikan kepada sebuah tubuh, tetap akan memiliki kekuatan yang sama untuk diteruskan kepada sebuah tubuh yang lain. Akibatnya jelas, satu bagian kecil pun, satu tulang rusuk, sudah memiliki di dalamnya kekuatan daya hidup ilahi itu. Dan, pada akhirnya manusia itu (ādām) melihat dirinya sendiri dalam bentuk tubuh yang lain, “tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23a).[36]

Pria dan wanita diciptakan “satu untuk yang lain”, bukan seakan-akan Allah membuat mereka sebagai manusia setengah-setengah dan tidak lengkap, melainkan Ia menciptakan mereka untuk satu persekutuan pribadi, sehingga kedua orang itu dapat menjadi “penolong” satu untuk yang lain. Hal itu mungkin karena di satu pihak mereka itu sama sebagai pribadi (“tulang dari tulangku”), sedangkan di lain pihak mereka saling melengkapi dalam kepriaan dan kewanitaannya.[37]

Oleh karena itu, manusia itu (ādām) tidak pernah menyebut dirinya sendiri sebagai ādām. Setelah ia mengenali dirinya sendiri dalam bentuk kehadiran tubuh yang lain yang bisa mencerminkan pribadi, ia menyebut dirinya sendiri sebagai lelaki (îsh). Tubuh yang lain yang menjadi penolong yang sepadan dengannya itu disebutnya sebagai perempuan karena diambil dari lelaki; disebut sebagai ishshāh karena diambil dari îsh. Dan, îsh akan bersatu dengan ishshāh. Hal ini bisa dipahami: “lelaki akan bersatu dengan perempuannya”. Persatuan lelaki dan perempuan adalah persatuan kembali îsh dengan ishshāh, karena ishshāh pada awalnya diambil dari îsh. Mereka bersatu kembali dalam “satu daging”.[38]

 

1.3. Pria dan wanita Bekerja Sama dengan “Misi” Sang Pencipta

Panggilan dasariah manusia ialah untuk tetap bergerak dari alam dan kemudian mengungkapkan rahasia-rahasianya dengan suatu tugas pokok yaitu menggali sumber sumber yang ada di alam dan memanfaatkannya secara bertanggungjawab. Dengan demikian manusia menyambung dan melanjutkan tindakan ilahi untuk menuntaskan penciptaan secara menyeluruh. Untuk itu kiranya segenap umat manusia sependapat bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini harus diserahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncak segala ciptaan.[39]

Berkaitan dengan ini, Sang Pencipta memberikan tugas khusus kepada manusia diantara segala mahluk hidup. Manusia diciptakan menurut citra dan gambar-Nya ( Kej 1: 26). Manusia yang ditempatkan sebagai citra Allah dalam alam semesta menunjuk pada kedudukan serta tugas khusus dalam alam ciptaan. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara kebetulan karena  tentang manusia dikatakan dengan jelas bahwa ia diciptakan menurut citra dan gambar-Nya, yang berarti manusia serupa dengan Sang Pencipta.[40]

Manusia diciptakan dan dipanggil untuk mengembangkan potensi yang tertanam di dalam dunia ciptaan ini sesuai dengan hukum yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Suatu fakta bahwa pada jaman modern ini di satu sisi  banyak segi kehidupan manusia maju pesat, tetapi di sisi lain mengalami ketercemaran yang menyangkut kemerosotan nilai dan martabat hidup manusia. Kenyataan ini berakibat buruk bagi hidup manusia. Berbagai macam serangan terhadap hidup manusia dalam dunia dewasa ini akan datang secara perlahan  dan pasti jika manusia tidak mengerti dan menghayati dengan sungguh hakekat dan martabat manusia sebagai citra  dan gambar Allah.[41]

 

  1. Perkawinan Pria dan Wanita Membentuk Ikatan Relasi Suami – Isteri

2.1. Perkawinan sebagai Sebuah Institusi dan Diadakan oleh Allah

Perkawinan adalah institusi sosial yang dibangun oleh seorang pria dan seorang wanita menurut keputusan mereka untuk hidup sebagai suami-istri dalam rumah tangga dengan janji yang sah, upacara keagamaan dan sipil.[42] Berdasarkan undang-undang perkawinan Republik Indonesia no. 1 tahun 1974 ditegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.[43]

Perkawinan sebagai persekutuan yang sangat erat antara seorang pria dengan seorang wanita diberkati oleh Allah dan diberi tugas bersama oleh-Nya.Tugas itu ialah supaya mereka saling mengasihi sama seperti Kristus dan Gereja-Nya juga saling mengasihi. Perkawinan merupakan suatu perjanjian antara suami-istri dengan melibatkan Allah sebagai saksi. Perkawinan sebagai suatu perjanjian merupakan lembaga hukum yang nampak pada unsur manusiawi yakni persetujuan bebas dari kedua mempelai. Kedua mempelai yang mengadakan perjanjian perkawinan terikat pada hukum-hukum dan ciri ciri perkawinan. Keputusan bersama berdasarkan kehendak bebas untuk membentuk ikatan yang memuat ketetapan Tuhan, bersifat suci dan tidak terhapuskan. Lembaga yang berwenang mempunyai hak dan kewajiban untuk menghalangi dan menghukum bentuk-bentuk perkawinan yang bertentangan dengan akal dan kodrat.[44] Begitulah perkawinan dibangun oleh Allah dan manusia. Allah menciptakan lembaga hukum, tujuan dan ciri-ciri perkawinan dan manusia mengawali terbentuknya dengan persetujuan kehendak bebasnya.

 

2.2 Perkawinan sebagai Manifestasi Cinta Allah

Allah hadir dan mencintai umat-Nya nyata secara khusus dalam sakramen perkawinan. Allah memperkenalkan cinta kasih-Nya bukan melalui barang-barang dan benda-benda mati, melainkan melalui hidup manusia sendiri. Allah menggunakan hidup manusia sebagai perwujudan cinta kasih-Nya lewat sakramen perkawinan. Allah menetapkan pria untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi wanita dan mengangkat hidup wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi pria. Dalam perkawinan Allah menggunakan pria dan wanita menjadi “alat”-Nya untuk menyalurkan cinta kasih Nya. Pasangan sebagai alat cinta-Nya baik pria maupun wanita harus taat kepada Allah. Hidup pria harus menampakkan  (memanifestasikan) cinta kasih dan kebaikan Allah  kepada pasangannya dan sebaliknya  hidup wanita juga harus menampakkan kebaikan Allah kepada pria.[45]

Perkawinan sebagai sakramen hanya bisa dihayati dalam iman, dan dengan penghayatan ini suami-istri akan merasakan dan mengalami pasangannya bukan, hanya sebagai teman hidup melainkan juga tanda kehadiran Allah secara konkrit. Di dalam iman istri melihat suami sebagai karunia Allah yang akan mengangkat hidupnya kepada kebahagiaan; demikian suami yang beriman akan mencintai dan mengasihi istrinya sebagai teman hidup yang  sepadan sebagai karunia Allah paling istimewa bagi dirinya.[46]

 

2.3 Ide Persekutuan Suami-Istri dalam suatu Perkawinan

Perkawinan dipahami sebagai suatu persekutuan dari orang-orang yang sederajat. Persekutuan orang-orang yang sederajat itu dihayati dengan cara baru dalam semangat yang akrab dan cinta kasih Kristus.[47] Persekutuan itu merupakan persekutuan seluruh hidup yang dibangun atas dasar cinta kasih dan diteguhkan dengan perjanjian. Perjanjian perkawinan menyatukan dua pribadi yang berbeda. Dua pribadi yang berbeda bersama-sama berusaha untuk semakin bersatu dalam suasana hati yang sama, saling menguduskan dalam suasana suka maupun duka atas dasar cinta kasih Kristus.[48]

Suami-istri memiliki hak dan kewajiban yang sama berkaitan dengan persekutuan hidup perkawinan. Hal ini berarti bahwa seluruh hidup menyangkut dimensi waktu yaitu seumur hidup dan dimensi personal yaitu unsur kehidupan pribadi suami-istri. Dari perkawinan yang sah itu lahirlah ikatan suami-istri yang dari kodratnya bersifat tetap, eksklusif, monogami dan tidak terceraikan.[49]

Keluarga yang didasarkan pada cinta-kasih serta dihidupkan olehnya merupakan persekutuan pribadi-pribadi suami dan istri, orangtua, anak-anak, dan sanak-saudara. Tugas utamanya yakni dengan setia menghayati kenyataan persekutuan dan usaha terus menerus untuk mengembangkan keharmonisan yang otentik antara pribadi-pribadi yang ada. Cinta-kasih suami-istri sebagai asas yang terdalam bagi keluarga untuk dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi di dalam perkawinan. Suami-istri dalam hidup perkawinannya dihidupkan dan ditopang oleh Cinta kasih yang menghantar mereka kepada persekutuan yang mendalam dan menjiwai  kerukunan perkawinan mereka.[50]

  1. Sifat dan Tujuan perkawinan Katolik

3.1 Sifat Perkawinan Katolik

Ajaran resmi Gereja menegaskan bahwa perkawinan bersifat monogam dan tidak terceraikan atas dasar tuntutan hukum ilahi positif (Wahyu dan Kitab Suci). Perkawinan yang sah dan halal serta telah disempurnakan dengan persetubuhan (ratum et comsummatum) tidak mungkin diceraikan baik melalui suatu hukum perceraian maupun campur tangan siapa pun.[51] Dalam perkawinan sakramental, pria dan wanita menerima satu pendasaran dan dukungan bahwa sakramen mengadakan suatu kapasitas dan kewajiban bagi mereka untuk menerima dan mempertahankan sifat monogami dan tidak terceraikan  dari perkawinan. Monogami dan tidak terceraikan bukanlah syarat ekstrinsik yang dapat dibuat menjadi penyempurnaan atau pemuas keinginan, melainkan sebagai sifat esensial dari perkawinan sakramental.[52]

 

3.1.1 Monogami

Monogami dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang memperbolehkan seorang laki-laki hanya mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[53] Monogami menurut Gereja Katolik berarti perkawinan yang hanya terjadi antara seorang pria dan wanita.[54] Dalam perkawinan suami-istri dipanggil untuk bertumbuh dalam persekutuan melalui kesetiaan terhadap janji perkawinan untuk saling menyerahkan diri seutuhnya. Berdasarkan perjanjian perkawinan tersebut, pria dan wanita “ bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6; bdk. Kej 2: 24).[55]

 

3.1.2 Tak Terceraikan (Indissolubilitas)

Gereja Katolik secara tegas menolak pendapat yang secara implisit maupun eksplisit menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang sah dan sudah disempurnakan dengan hubungan sanggama dapat diceraikan. Alasanya ialah karena Allah sendiri yang merestui dan mengesahkan ikatan perkawinan tersebut. Perkawinan yang dikukuhkan dengan sakramen membentuk ikatan kesatuan baru, yang tidak dapat diceraikan. [56]

Ikatan perkawinan kristiani bersifat tidak terceraikan artinya tetap, untuk selamanya, seumur hidup. Gereja memperkukuh sifat tidak terceraikanya perkawinan dengan menandaskan bahwa perjanjian perkawinan yang diikrarkan oleh kedua mempelai untuk membentuk perkawinan merupakan dasar dari perkawinan. Perkawinan kristiani  yakni sekali dilangsungkan secara sah tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.[57]

 

3.2 Tujuan Perkawinan Katolik

Gereja meyakini dan mengajarkan bahwa perkawinan baik sebagai sakramen maupun sebagai persekutuan memiliki tujuan yang ditentukan oleh kodrat perkawinan itu sendiri. Tujuan perkawinan yang dimaksud adalah hal-hal atau nilai yang hendak dicapai oleh orang yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut. Nilai-nilai itulah yang menjadi motivasi untuk memilih hidup berkeluarga.[58]

Kitab Hukum Kanonik 1983 dalam salah satu kanonnya berbicara tentang tujuan perkawinan. Kanon merumuskan bahwa “dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-istri serta kepada kelahiran anak. […].[59] Dari Kitab Hukum Kanonik 1983 tersebut tampak dengan jelas bahwa tujuan perkawinan itu ada dua yakni kesejahteraan suami-istri  (Bonum Coniugum) dan kelahiran serta pendidikan anak (bonum Prolis). Tujuan perkawinan tersebut ditentukan oleh kodrat dari perkawinan itu sendiri dan kehendak bebas dari kedua mempelai yang mengadakan janji perkawinan. Namun perlu ditambahkan bahwa kedua tujuan perkawinan tersebut bersifat integral (menyatu) dan komplementer (saling melengkapi).[60]

 

3.2.1 Kesejahteraan Suami-Istri

Prokreasi dalam hidup perkawinan dianggap sebagai tugas luhur, namun prokreasi bukanlah tujuan tunggal dari perkawinan. Dalam Konsili Vatikan II ditunjukkan bahwa hubungan suami-istri mempunyai nilai yang tidak hanya berkaitan dengan prokreasi. Hubungan sanggama secara mesra dan murni menyatukan suami-istri secara luhur dan terhormat. Tindakan ini menjadi tanda penyerahan diri timbal balik antara suami-istri dan cara saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur.[61]

Tujuan perkawinan selain prokreasi juga untuk saling mengisi dan mendukung dalam cinta antara suami-istri yang didasarkan pada ikatan mesra dan kerja sama antara keduanya. Tujuan ini ditegaskan oleh kisah penciptaan  dalam kitab kejadian ”tidak baik kalau seorang manusia seorang diri saja. Aku akan menjadikan baginya seorang penolong yang sepadan dengan dia” (Kej 2: 18). Manusia menanggapinya “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2: 23 24). Ungkapan di atas secara konkrit dan hidup menekankan moral untuk saling mengisi  antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil perkawinan.[62] Saling membantu dan mengisi yang dilakukan suami-istri bukan hanya dalam suasana kegembiraan dan kebahagiaan, melainkan juga dalam suasana penderitan dan sakit. Keadaan ini menganalogikan perkawinan dengan cinta antara Kristus dengan Gereja-Nya, apabila sedikit dari cinta yang diajarkan oleh Kristus terpancar di dalam keluarga dan diwujudnyatakan: Cinta lebih dari cinta diri adalah cinta yang memberikan tempat pada salib. Itulah perkawinan di dalam Tuhan.[63]

 

3.2.2 Kelahiran dan Pendidikan Anak

Kitab Suci memuat tujuan hakiki perkawinan adalah meneruskan hidup bangsa manusia. Hal ini diperlihatkan dengan jelas melalui pernyataan: ”beranak-cuculah dan bertambah banyak” (Kej 1: 28). Perikop ini hendak menyatakan bahwa perkawinan bukan semata-mata sebagai ungkapan saling cinta antara suami-istri, tetapi juga suatu anugerah dengan kemampuan untuk memberikan hadiah besar yakni hidup kepada manusia baru yang merupakan cerminan hidup cinta kasih mereka.[64]

Paus Yohanes Paulus II menambahkan lebih lanjut bahwa suami-istri, selain mendapat tugas untuk menghadirkan ciptaan baru di dunia, juga berperan sebagai pendidik utama anak. Tugas ini berakar pada panggilan utama suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan membangkitkan cinta kasih seorang pribadi dalam dirinya mengemban panggilan untuk bertumbuh dan mengembangkan diri, orangtua bertugas mendampinginya secara efektif untuk menghayati hidup manusiawi seutuhnya. Karena itu orangtua memiliki kewajiban untuk menciptakan lingkup keluarga yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama, serta menjunjung keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak.[65]

 

BAB V

PENUTUP:

 KESIMPULAN DAN UPAYA/TINDAKAN PASTORAL

 

  1. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan baiklah diberi suatu pernyataan bahwa pada prinsipnya status dan kedudukan perempuan tergolong inferior bila dibandingkan dengan lelaki dalam budaya Batak Toba. Namun, karena kemajuan pemikiran modern dan pengaruh kekristenan (Teologi Katolik secara khusus) perempuan dalam budaya Batak Toba dapat hidup semartabat dengan kaum laki-laki dalam beberapa bidang kehidupan. Fakta memang memperlihatkan bahwa dalam beberapa segi kehidupan laki-laki masih merupakan pemegang kendali hidup berkeluarga. Artinya, manusia Batak Toba secara kolektif mewarisi paham atau mentalitas itu dari keseluruhan pemikiran dan tata tingkah laku yang diturunkan oleh budaya itu sendiri. Namun, dalam lingkup Gereja (misalnya periodisasi pengurus Gereja), sebagaimana telah kita lihat dari hasil angket, perempuan masih lebih dipercayai menjadi pemimpin/jabatan pelayanan. Inferioritas perempuan lebih cenderung tampak dalam bidang struktur kebudayaan dan adat-istiadat. Hal ini menunjukkan bahwa teologi agama yang mengusung cita-cita peluhuran martabat manusia sangat signifikan ambil peranan dalam menerangi “pola pikir” budaya Batak Toba itu.

 

  1. Tindakan Pastoral
  2. Menelisik Makna Sejati “Boru” dalam Budaya Batak Toba – Status Paradoksal

            Kendati dalam hak berbicara di forum umum kaum perempuan tidak menonjol, tidak benar bahwa kaum perempuan tidak didengarkan dalam masyarakat Batak Toba. Fungsi shaman, sibaso (“sejenis dukun”)  – yang hampir semuanya adalah wanita – adalah orang terhormat. Nasihat dan perkataannya tidak boleh diabaikan begitu saja.

Memang, perempuan dalam budaya Batak Toba disapa na tinuhor, na nialap (yang dibeli, yang diambil), dan partalaga, namun ada juga padanan sapaan dan panggilan untuk mereka, “tuan boru”, “inanta soripada” (tuan puteri, ibu seripaduka). Sapaan ini sungguh memperlihatkan hormat dan posisi yang diperhitungkan dalam masyarakat Batak Toba.[66]

Secara teoritis pula berhadapan dengan kenyataan kemungkinan perkawinan poligami, tampaknya perempuan tidak berdaya. Namun, tidak demikianlah yang terjadi. “Marimbang” adalah ungkapan boru orang Batak yang dimadu suaminya. Kata itu mengandung makna negative “maralo” (berlawanan, bermusuhan). Inilah determinasi boru Batak Toba untuk perkawinan monogami.[67]

 

  1. 2. Mendesaknya Pastoral Keluarga – demi Kebahagiaan Sejati Keluarga Kristiani

Sebagaimana benda ’terbakar’ adalah bukti bahwa api menunjukkan fungsinya, demikian pula ’kebahagiaan’ adalah realitas ketika manusia menunjukkan wujud kehidupannya. Ketika manusia tidak bahagia, ia sebenarnya mengalami penyimpangan.

Kebahagiaan tampil dalam beberapa wajah. Orang yang berbahagia adalah orang yang punya kepercayaan diri; bukan kepercayaan diri yang egois, melainkan kepercayaan diri yang disertai dengan kepekaan dan mudah tergerak pada penderitaan orang lain. Ia tidak hanya ditandai ketika orang mampu tertawa ceria bebas, tetapi juga ditandai dengan kemampuan untuk menanggung penderitaan, jika ini menjadi konsekuensi dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan.

Orang yang berbahagia adalah orang yang memiliki api ’mimpi’; ia memiliki keinginan mulia yang membuat dia terus gelisah dan bergairah dalam hidup untuk mewujudkan mimpi tersebut. Orang yang berbahagia bukan hanya hidup untuk ’masa depan’, melainkan juga adalah orang yang memperhatikan hidup ’sekarang dan di sini’. Ia tetap peka terhadap lingkungan dan peristiwa yang ada di depan mata.

Berbicara tentang pastoral keluarga, pada prinsipnya berbicara tentang bagaimana membuat keluarga bahagia. Ia mengandung unsur ’upaya’. Dengan demikian, terdengar kontradiksi. Apakah bahagia bisa diupayakan? Apakah ia bisa dicapai lewat latihan, kursus atau manajemen? Bukankah kebahagiaan akan semakin menjauh ketika kita lelah mengejar-ngejar hal ini?

Pastoral adalah penggembalaan. Penggembalaan itu berbeda dengan ’peternakan’. Penggembalaan itu berlawanan dengan – atau setidaknya – koreksi atas peternakan. Yang terakhir sebenarnya mirip penjara. Yaitu bentuk sistematisasi atau pendisiplinan ketika kambing atau ayam kita jadikan sarana untuk berbisnis mencari keuntungan. Binatang dimasukkan ke kandang yang sempit supaya kalori tidak terbuang sia-sia, sebaliknya dirombak menjadi daging atau telur. Tugas binatang dalam kandang hanya makan dan istirahat, serta berproduksi. Penggembalaan tentu memiliki maksud dan tujuan yang tidak jauh berbeda. Tetapi dalam penggembalaan, kambing dibiarkan bebas mencari makanan sendiri tanpa pengawasan yang ketat.

Kebahagiaan kerap dianggap sebagai perasaan yang susah ditebak bentuk dan wujudnya. Kebahagiaan keluarga menjadi lebih sulit lagi, mengingat di dalamnya merupakan proses menyatukan beberapa pribadi dengan beberapa karakter yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, sistem pastoral menjadi sistem yang lebih pas untuk menggali kebahagiaan keluarga. Kita harus memberikan kebebasan orang-orang di dalamnya secara cukup untuk menemukan sendiri ’rumput dan makanan’ yang paling cocok. Pengarahan diberikan secukupnya sebagai kondisi agar mereka menemukan apa yang paling membahagiakan untuk diri mereka sendiri.

Bagaimana membuat keluarga menjadi ’gayeng’, banyak canda dan akrab tentu penting. Keluarga tentu akan menjadi segar ketika spontanitas diberi ruang. Tetapi dalam hidup nyata, kejadian gembira dan kecewa, kabar suka dan duka, kerap datang menyerupai petir atau halilintar yang datang menggelegar pada waktu yang tidak kita sangka. Keluarga harus siap akan hal ini. Terutama adalah ketika penderitaan dan kesulitan mendatangi sebuah keluarga. Daya tahan menghadapi kesulitan ini adalah keutamaan penting. Keluarga yang berbahagia adalah keluarga yang mampu mengolah pengalaman ini. Daya tahan semacam ini tidak mungkin dimiliki kalau segala sesuatu dicekoki. Ia harus melewati sebuah proses pencarian terus-menerus.

Tantangan riil yang dihadapi Gereja ternyata lebih kompleks dari sekadar metafora ’penggembalaan’ dan ’peternakan’ di atas. Kambing berkembang menjadi semakin banyak, pengelolaan secara tradisional menjadi semakin sulit. Mereka juga memiliki karakter yang bervariasi. Di tengah-tengah kambing juga muncul serigala dan binatang buas lain yang siap melahap kambing ini. Dalam situasi tersebut, pendisiplinan, aturan main, dan hukum – sangat wajar – dibakukan. Tetap harus kita sadari, keluarga Katolik tidak akan menjadi Gereja Kecil yang kokoh di tengah kesulitan dan gelombang keras, jika hanya dididik lewat hukum, peraturan dan disiplin.[68]

  1. Perlunya Perhatian Khusus dari Pastor Paroki terhadap Umat di Parokinya[69]

3.1. Tugas Pokok Pastoral Perkawinan dari Pastor Paroki

Pastoral perkawinan memiliki masalah yang rumit dan kompleks seiring dengan masalah keluarga dewasa ini, karena rumit dan kompleksnya maka perlu mendapat perhatian serius dari Pastor Paroki. Kendati rumit, keluarga adalah bagian penting yang merupakan dasar terbentuknya Gereja dan Masyarakat. Jika keluarga (Gereja kecil – rumah tangga) kristiani sehat dan baik maka Gereja dan Masyarakat besar akan menjadi baik pula.

Demikian juga ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam pesannya pada hari perdamaian dunia, tgl. 1 Januari 2008: “Kehidupan keluarga yang sehat melahirkan pengalaman-pengalaman fundamental bagi perdamaian: keadilan dan cinta kasih di antara sesama saudara, fungsi otoritas yang tergambar dari orang tua, pelayanan yang penuh cinta kepada anggota yang lebih lemah, yaitu orang-orang yang kecil, sakit dan tua, kesediaan untuk menerima yang lain. Untuk itu keluarga adalah tempat pendidikan yang pertama dan tidak tergantikan”. Keluarga alami, di mana ada kesatuan hidup dan cinta, yang didasarkan atas perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, membangun tempat pertama dalam “pemanusiaan” manusia dan masyarakat, tempat lahirnya kehidupan dan cinta kasih. Oleh karena itu, keluarga dikualifikasikan sebagai masyarakat alami yang pertama. Sebuah institusi Ilahi yang merupakan dasar dari hidup manusia, sebagai prototipe dari setiap norma sosial”.

Dalam Pastoral Perkawinan Pastor Paroki, dalam konteks Gereja lokal, adalah Pemimpin (leader) dari umat beriman kristiani yang reksa pastoralnya (tugas kegembalaan/kepemimpinan) diserahkan oleh Uskup Diosesan kepada seorang imam yang layak dan pantas untuk memimpin, mengajar, menguduskan dengan kuasa kewenangan yang diberikan kepadanya atas umat beriman yang berdomisili di wilayah teritorial tertentu di dalam keuskupan.[70]

Dalam Pastoral perkawinan Pastor Paroki wajib mengusahakan agar keluarga kristiani berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani meliputi: (1) menyiapkan calon penganten dengan kotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak dan orang muda dan dewasa, (2) memberi kursus persiapan perkawinan bagi calon yang hendak menikah, (3) meneguhkan perkawinan dengan perayaan liturgi yang membawa hasil yang memancarkan kasih suami-isteri dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya, (4) memberi pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani (bina lanjut keluarga kristiani) melalui katekese, khotbah dan rekoleksi-retret keluarga, agar keluarga yang telah diteguhkan setia dan mampu memelihara perjanjian perkawinan itu sampai pada penghayatan hidup keluarga yang semakin suci dan utuh, (5) Dan, yang tidak kalah penting adalah pendampingan pastoral hendaknya terus dilanjutkan setelah perkawinan.[71] Inilah tugas pokok pastoral perkawinan dari Pastor Paroki dan  tugas ini merupakan hal esensial yang harus dijalankan oleh Pastor Paroki.[72]

 

3.2. Prinsip utama Pastoral Perkawinan dalam Menghadapi Masalah Perkawinan

Pastor Paroki hendaknya hati-hati dan bijaksana dalam menangani masalah-masalah keluarga/perkawinan. Dalam segala perkara (pertengkaran, ketidakadilan, dll), prinsip pertama dan utama yang harus dipegang Pastor Paroki adalah peradilan formal harus dihindari (trials should be avoided). Proses peradilan formal di Tribunal hanya merupakan upaya terakhir (the last resort), setelah segala upaya pastoral ditempuh. Maka segala sengketa, kasus-kasus perkawinan di dalam Paroki, hendaknya Pastor Paroki mengadakan upaya pastoral dengan berusaha untuk berdamai (rujuk, rekonsiliasi) antara kedua pihak yang bersengketa. Jika masih ada kemungkinan untuk berdamai Pastor Paroki tidak perlu mengabulkan permohonan itu ke Tribunal. Usaha pastoral rekonsiliasi antara pihak yang bertikai, dari keluarga kristiani di wilayah Pastor berkarya merupakan bagian penting dan utama dari Pastoral Perkawinan. Upaya itu dituntut oleh hukum sendiri dalam kanon 1446, 1676 dan 1695.[73]

  1. Keterampilan Gembala Umat untuk Membangun Relasi Dialogis Interpersonal Suami-isteri: dari ‘Practical Thinking’ (Logika Praktis) ke ‘Moral Thinking’ (Paham Moral)[74]

Modernitas yang dihasilkan oleh masyarakat memiliki dua kekuatan yang ambigu. Modernitas menghasilkan nilai-nilai yang baik (the good), dan juga sesuatu yang selalu menjadi masalah. Ilmu pendampingan pastoral telah menjadi suatu disiplin tersendiri, terlepas dari ilmu lain yang sepadan seperti psikologi, agama dan medikal, dan berusaha untuk membantu manusia dalam rupa-rupa pengalaman spiritual, mental dan psikologisnya. Pendampingan pastoral adalah suatu praktek yang kompleks. Layaknya setiap bentuk tindakan, pendampingan pastoral dilakukan melalui tahapan ‘reasoning’ dan ‘decision’ (identifikasi dan pengambilan keputusan). Sebagai suatu praktek yang kompleks, pendampingan pastoral tidak bisa dijalankan melalui kebiasaan-kebiasaan yang telah tertanam dalam budaya dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat modern, demikian pun masyarakat plural, terdapat perbedaan institusional, sehingga tradisi pendampingan yang selama ini diterapkan juga menghadapi berbagai masalah, bergantung pada aspek-aspek sosial di dalam masyarakat itu sendiri.

Di sini setiap pastor dan gembala umat dituntut memiliki keterampilan ‘practical thinking’ (logika praktis). Dalam logika praktis itu, perlu pula ‘moral thinking’; dalam kenyataannya, ‘moral thinking’ itu memiliki karakteristik khusus. Sebab dipercaya ada hubungan antara agama dan moralitas, dengan kata lain, perilaku agama adalah perilaku etika agama.

Walaupun demikian, pendampingan pastoral tidak mesti melepaskan kaitannya dengan psikologi. Berbagai teori psikologi yang selalu bisa dijadikan acuan. Pendampingan pastoral perlu dilihat sebagai suatu proses mendapatkan gambaran identitas dan perilaku individu di mana setiap individu adalah pusat dari tindakan pendampingan pastoral.

Pentinglah bahwa pasangan suami-istri itu hari demi hari mengalami pertumbuhan personalitasnya untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam hidup berpasangan atau keluarganya. Ini bukanlah sebuah persoalan teologis etis semata, tetapi juga seksual, dan hubungan interpersonal. Karena itu, sepasang suami istri membangun relasi dengan dirinya, gereja dan juga masyarakat. Pasangan suami-isteri hendaknya didorong untuk membangun apa yang disebut ‘the good’ (kebaikan umum) dalam relasi interpersonal.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Budayapranata, AL.. Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius,1981.

Cooke, Bernard. Perkawinan Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Dagun, Save M. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.

Eminyan, Maurice. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

“Etika Pendampingan Pastoral”, dalam http://kutikata.blogspot.com/2008/12/etika-agama-dan-pendampingan-pastoral.html, tanggal 29 Mei 2012.

Fau, Eligius Anselmus F. Persiapan Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 1996.

Gultom Marpodang, D.J. Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak. Medan: Armada, 1992.

Hadiwardoyo, AL.  Purwa. Perkawinan Menurut Islam dan Katolik: Implikasinya dalam Kawin Campur. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Hamidly, Basyral – Hotman M. Siahaan. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Perilaku Batak Toba di Angkola-Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987.

Hutagalung, W. Adat taringot tu Ruhut-ruhut ni Pardongan Saripeon di Halak Batak. Jakarta: [tanpa penerbit], 1963.

Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan berdasarkan Edisi Jerman oleh P. Herman Embuiru. Ende: Nusa Indah, 1995.

Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codek Iuris Canonici 1983). Diterjemahkan oleh sekretariat KWI. Jakarta: Obor, 1991.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Kasih Setia dalam Suka Duka Pedoman Persiapan Perkawinan di Lingkungan Katolik. Jakarta: Triasco, 1997.

Loeb, Edwin M. Sumatera: Its History and People. Kuala Lumpur: Bangunan Loke Yew, 1972.

Marbun, M.A. – I.M.T. Hutapea. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka:1987.

Paus Yohanes paulus II. Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Keluarga), (Seri Dokumentasi Gerejawi no. 30). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1981.

“Pastoral Keluarga”, dalam http://www.hidupkatolik.com/2011/06/13/pastoral-keluarga, tanggal 29 Mei 2012.

Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani,  jilid III: kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero, 2003.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Sihombing, T.M. Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat. [tanpa kota]: Tulus Jaya, 1989.

Simamora, Serpulus Tano. “Boru ni Raja Hatoban: Tinjauan Filsafat Anthropologis atas Kaum Perempuan di dalam Budaya Batak Toba”, dalam Logos: Jurnal Filsafat – Teologi, vol. 1 no. 1 (Juni 2002), hlm. 1-19.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Yogyakarta: Jendela, 2002.

Situmorang, Jaulahan. Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon dohot Mula ni Paradaton-Mula ni Marga-Mula ni Umpasa. Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 1965

Surat Gembala KWI. Sayangilah Kehidupan: Pedoman Pastoral tentang Menghormati Kehidupan. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan, KWI, 1990.

Snijders, Adelbert. Manusia: Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

“Tanggung Jawab Pastor Paroki dalam hal Perkawinan”, dalam http://katolisitas.org/4888/tanggung-jawab-pastor-paroki-dalam-pastoral-perkawinan, tanggal 29 Mei 2012.

Vergouwen, J. C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet, 1985.

[1] Serpulus Tano Simamora, “Boru ni Raja Hatoban: Tinjauan Filsafat Anthropologis atas Kaum Perempuan di dalam Budaya Batak Toba”, dalam Logos: Jurnal Filsafat – Teologi, vol. 1 no. 1 (Juni 2002), hlm. 3.

[2] Serpulus Tano Simamora, “Boru …”, hlm. 4.

[3] Pengalaman eksistensial artinya pengalaman yang dialami oleh manusia sebagai hal yang natural; terberi demikian. Pengalaman lahir, menjadi tua, mati dialami oleh manusia sebagai pengalaman eksistensial. Pengalaman ruang dan waktu itu adalah bagian hidup manusia. Eksistensial berasal dari kata eksistensi yang secara etimologis berakar pada dua kata Latin: ex (keluar) dan sistentia (sistere = berdiri). Kata “eksistensi” dikhususkan untuk cara berada manusia yang khas. Manusia bukan obyek, ia adalah subyek yang mampu menentukan dirinya (self determination). Eksistensi tidak dapat disamakan dengan berada. Pohon, anjing dan segala yang lain pun ada, tetapi tidak bereksistensi. [Lihat Adelbert Snijders, Manusia: Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 25; bdk. Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 19.]

[4] Simamora, Serpulus Tano, “Boru …”, hlm. 2, 14.

[5] Secara harafiah Dalihan na tolu berarti “tungku yang tiga”. Dahulu tungku terdiri dari tiga buah batu di atas mana orang menempatkan sarana untuk memasak. Dari situlah tiga sistem kekerabatan orang Batak Toba dirumuskan. Hulahula adalah pihak marga dari mana suatu marga menikahi perempuan sebagai isteri. Dongan tubu adalah pihak yang tergolong saudara-saudara (semarga). Sedangkan boru adalah pihak marga kepada mana puteri dinikahkan. [Lihat Simamora, Serpulus Tano, “Boru …”, hlm. 8]. Hal ini masih akan kita lihat pada bab berikutnya.

[6] tentang paradoks akan diuraikan secara tersendiri dalam bab selanjutnya.

[7] Jumlah responden ada 50 orang (20 laki-laki dan 30 perempuan). Usia responden bervariasi, namun mereka semua sudah berkeluarga. Daerah tempat tinggal responden: Aekkanopan, Paroki Jl. Medan, Stasi Sibaganding – Paroki St. Josep Jl Bali, Kisaran, dan Stasi Pulian Baru – Kuasi Paroki Raya.

[8] Boru adalah golongan atau pihak penerima isteri. Kelompok boru terdiri dari: a. puteri atau anak perempuan, b. hela (menantu pria), c. kakak atau adik, d. suami dari kakak atau adik dan keturunannya, e. saudari ayah, f. suami dari saudari ayah dan keturunannya, g. ayah dan ibu dari saudara-saudara b,d,f,g. Kedudukan boru  adalah sebagai parhobas (pelayan) dalam setiap kegiatan. Hal itu terungkap dalam umpasa berikut ini: siporsan na dokdok, sialap na dao, na so mabiar di ari golap, siboan indahan na so ra bari, siboan tuak na so ansom. [Lihat M.A. Marbun, I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba (Jakarta: Balai Pustaka:1987), hlm. 35; bdk. W. Hutagalung, Adat taringot tu Ruhut-ruhut ni Pardongan Saripeon di Halak Batak (Jakarta: [tanpa penerbit], 1963), hlm. 33.]

[9] D.J. Gultom Marpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak (Medan: Armada, 1992), hlm. 274.

[10] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (Yogyakarta: Jendela, 2002), hlm. 94-95.

[11] Kata “stratifikasi” berbeda dengan “diferensiasi”. Dalam kata stratifikasi termuat kesan negatif: tingkatan-tingkatan atau kelas-kelas sosial bersifat vertikal. Sementara itu, dalam kata diferensiasi termuat nada perbedaan tetapi perbedaan yang sifatnya positif (horizontal). [Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 264, 1095]

[12] Jaulahan Situmorang, Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon dohot Mula ni Paradaton-Mula ni Marga-Mula ni Umpasa (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 1965), hlm. 30-33.

[13] T.M. Sihombing, Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat ([tanpa kota]: Tulus Jaya, 1989), hlm. 261.

[14] Basyral Hamidly, Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Perilaku Batak Toba di Angkola-Mandailing (Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987), hlm. 133.

[15] Artinya: sulur halumpang [yang cukup rapuh] menjadi tali pengikat/penuntun lembu dan kerbau [yang sudah sangat tua] yang akan dibawa ke Lapogambiri. Semoga hidup panjang umur mengikuti para cucu sampai cicit-cicit.

 

[16] Antonius Bungaran Simanjuntak,  Konflik …., hlm. 103.

[17] Artinya: Tampak ke arah Purba, tetapi lebih tampak lagi ke arah Angkola. Tampak kita kalau makmur, tetapi lebih tampak lagi kita kalau kaya.

[18] T.M. Sihombing, Filsafat Batak: …, hlm. 105.

[19] W. Hutagalung, Adat …, hlm. 21-22.

[20] J. C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pustaka Azet, 1985), hlm. 305.

[21]  W. Hutagalung, Adat …, hlm. 134, 152.

[22] W. Hutagalung, Adat …, hlm. 191-192.

[23] Simamora, Serpulus Tano, “Boru …”, hlm. 10.

[24] T.M. Sihombing, Jambar …, hlm. 78.

[25] Edwin M. Loeb, Sumatera: Its History and People (Kuala Lumpur: Bangunan Loke Yew, 1972), hlm. 69.

[26] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan berdasarkan Edisi Jerman oleh P. Herman Embuiru (Ende: Nusa Indah, 1995), no. 357. Untuk pengutipan selanjutnya, cukup disingkat KGK diikuti nomor.

[27] Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 51.

[28] KGK, no. 369.

[29] Deshi Ramadhani, Lihatlah …, hlm. 50.

[30] Deshi Ramadhani, Lihatlah …, hlm. 52.

[31] Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Kasih Setia dalam Suka Duka Pedoman Persiapan Perkawinan di Lingkungan Katolik (Jakarta: Triasco, 1997), hlm. 29.

[32] Maurice Eminyan, Teologi Keluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 35.

[33] KGK, no. 371

[34] Deshi Ramadhani, Lihatlah …, hlm. 53-54.

[35] Deshi Ramadhani, Lihatlah …, hlm. 56.

[36] Deshi Ramadhani, Lihatlah …, hlm. 58-59.

[37] KGK, no. 372.

[38] Deshi Ramadhani, Lihatlah …, hlm. 62.

[39] Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern (GS), no. 02, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor,1993), hlm. 569. Selanjutnya disingkat GS diikuti dengan nomor.

[40] Surat Gembala KWI, Sayangilah Kehidupan: Pedoman Pastoral tentang Menghormati Kehidupan (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan, KWI, 1990), hlm.  8.

[41] Surat Gembala KWI, Sayangilah … , hlm. 12.

[42] AL. Budayapranata, Membangun Keluarga Kristiani (Yogyakarta: Kanisius,1981), hlm. 73.

[43] Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Kasih …, hlm. 39.

[44] AL.  Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan Menurut Islam dan Katolik: Implikasinya dalam Kawin Campur (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 87-88.

[45] AL. Budayapranata, Membangun …, hlm. 26-27.

[46] AL. Budayapranata, Membangun…, hlm. 134.

[47] Bernard Cooke, Perkawinan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 66-71.

[48] KWI, Kasih …, hlm. 44.

[49] KWI, Kasih …, hlm. 45.

[50] Paus Yohanes paulus II, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Keluarga), (Seri Dokumentasi Gerejawi no. 30), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1981), hlm. 34, no. 18. Selanjutnya akan disingkat FC saja diikuti nomor.

[51] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan Katolik (Ende: Nusa Indah, 1996), hlm. 59-60.

[52] GS, no. 48.

[53] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …., hlm. 591.

[54] KGK, no 1664.

[55] KGK, no. 1644; bdk. KWI, Kasih …, hlm. 42.

[56] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codek Iuris Canonici 1983), diterjemahkan oleh sekrtariat KWI (Jakarta: Obor, 1991), Kan 1056. Selanjutnya disingkat Kan diikuti nomor; bdk. KWI, Kasih…, hlm. 41.

[57] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan…, hlm. 60; bdk. Kan 1057 §2

[58] AL.  Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan …, hlm. 21.

[59] Kan1055 §1

[60] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan…, hlm. 57.

[61] GS,  no. 49.

[62] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani,  jilid III: kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 327.

[63] Karl-Heinz Peschke, Etika…, hlm. 328-329.

[64] FC, no. 14; bdk. GS, no. 50.

[65] FC, no. 36.

[66] Simamora, Serpulus Tano, “Boru …”, hlm. 12.

[67] Simamora, Serpulus Tano, “Boru …”, hlm. 13.

[68] “Pastoral Keluarga”, dalam http://www.hidupkatolik.com/2011/06/13/pastoral-keluarga, tanggal 29 Mei 2012.

[69] “Tanggung Jawab Pastor Paroki dalam hal Perkawinan”, dalam http://katolisitas.org/4888/tanggung-jawab-pastor-paroki-dalam-pastoral-perkawinan, tanggal 29 Mei 2012.

 

 

[70] bdk. Kan 515

[71] bdk. Kan. 1063,§4

[72] bdk. Kan 1063; GS, 47-52.

[73] bdk. Kan 1713-1716

[74] “Etika Pendampingan Pastoral”, dalam http://kutikata.blogspot.com/2008/12/etika-agama-dan-pendampingan-pastoral.html, tanggal 29 Mei 2012.

 

ROH KUDUS DALAM PANDANGAN ORIGENES

  1. Pengantar

Pembicaraan mengenai Roh Kudus kerap terlupakan dalam perbincangan teologi Gereja, khususnya teologi Barat. Gereja Timur kerap mengeluh akan sifat Gereja Barat yang terlalu berpusat pada Kristologi dan kurang memberi ruang bagi Roh Kudus.

Ternyata, bila diteliti jauh sebelumnya, Bapa-bapa Gereja sudah berdiskusi tentang Roh Kudus terlebih dalam bingkai Trinitas. Salah satunya adalah Origenes yang berasal dari Aleksandria. Ia berusaha merumuskan siapa itu Roh Kudus kendati pandangannya sedikit melenceng dari pemahaman kita saat ini. Kendati demikian, Origenes memberikan sumbangan yang besar dalam traktat teologisnya bagi perkembangan teologi sekarang.

Dalam tulisan ini, paham Origenes tentang Roh Kudus hendak ditelusuri secara singkat dan sederhana. Namun, mengingat bahwa ia hidup pada masa-masa awal Gereja, yang berhadapan dengan banyak aliran teologis, maka mau tidak mau kita banyak berhadapan dengan istilah-istilah aliran tersebut dalam tulisan ini. Aliran-aliran itu sangat perlu untuk memahami konteks pemikiran Origenes, maka sedapat mungkin diterangkan dalam catatan kaki.

  1. Riwayat Hidup Origenes

Origenes hidup pada tahun 185-254 di Aleksandria. Aleksandria merupakan perguruan tinggi pertama dan terpenting di Mesir pada bidang ilmu dan kebudayaan, yang didirikan oleh Aleksander Agung pada tahun 331 SM. Pada tahun 180 M di sana sudah ada perguruan tinggi teologi yang dikelola oleh Patenus. Sesudahnya dipimpin oleh Klemens dari Aleksandria (215) dan terutama oleh Origenes (253). Mazhab Aleksandria bergerak dalam alam pikiran filsafat Plato dan terpengaruh oleh gnosis Yunani.

Pengaruh Origenes atas pemikiran dan kehidupan orang Kristen besar dan luas sekali dan berlangsung hingga saat ini, tidak hanya di bagian timur kekristenan, tetapi juga di bagian barat. Mungkin karena kebesarannya, sampai-sampai dikatakan bahwa dari semua tokoh teologi dalam sejarah hanyalah Agustinus yang sebanding dengan Origenes.

Pikiran Origenes dituangkan dalam sejumlah besar tulisan. Ada karya raksasa di bidang Kitab Suci yang disebut “Hexapla” dan di samping itu sejumlah besar komentar atas Kitab Suci. Teologi sistematiknya terurai dalam karya besar “Mengenai Pokok-pokok Utama” (Peri Arkhon/De Principiis) dan sebuah karya apologetis “Melawan Celsus” (filsuf Yunani yang menyerang kekristenan) dalam “Alethinos Logos”.[1]

  1. Konteks Pemikiran Origenes tentang Roh Kudus

Origenes berbicara tentang Roh Kudus dalam konteks Trinitas. Sebagaimana kita lihat dalam riwayat hidupnya, Origenes merupakan teolog pertama Gereja kuno. Ia berhadapan dengan banyak aliran sesat dan skisma pada masa itu. Origenes dan tokoh-tokoh sezamannya banyak bergelut seputar pertanyaan siapa Allah dan apa hakikatnya. Hal ini menjadi perhatian utama Gereja yang kelak melahirkan konsili pertamanya, Nikea (tahun 325). Adalah sangat masuk akal bila pertanyaan tentang siapa dan apa hakikat Allah begitu hangat pada masa itu, karena ajaran Gereja pada masa itu masih sangat baru dan belum ada sesuatu yang baku untuk dijadikan patokan rujukan referensi. Atau, bisa dikatakan bahwa iman ‘sedang dalam proses pencarian identitas.’

Dalam merumuskan siapa itu Roh Kudus dalam bingkai Trinitas, Origenes banyak dipengaruhi oleh ide Platonisme[2] yang berkembang pada masa itu. Misalnya saja, Origenes mengakui pre-eksistensi jiwa manusia. Doktrin pra-eksistensi jiwa ini secara dekat dihubungkan dengan ide restorasi universal atau apokatastasis[3]. Dunia yang sekarang kelihatan ini datang dari suatu dunia yang lain. Pre-eksistensi jiwa manusia adalah roh-roh yang dahulu jatuh dari Allah dalam dunia yang pertama itu dan yang sekarang menjadi dunia tubuh.[4]

Paham Platonisme yang tercermin dalam pre-eksistensi jiwa ini juga mempengaruhi pandangan Origenes tentang Yesus Kristus Sang Putra. Terlebih dahulu Firman itu bergabung dengan jiwa yang sudah ada sebelum berbadan. Penggabungan Firman dengan jiwa itu terjadi pada saat jiwa itu dijadikan oleh Firman menurut “gambaran Allah” ialah Firman itu sendiri. Origenes menegaskan bahwa jiwa itu selalu tertanam dalam Allah sehingga menjadi ilahi. Jiwa yang bergabung dengan Firman itu kemudian bergabung dengan badan sehingga Firman itu menjadi senasib dengan manusia.[5]

Origenes adalah tokoh pertama yang menempa istilah homo-ousios[6] dalam arti persekutuan kodrat Trinitas (antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus). Namun demikian, rupanya Origenes dengan istilah itu mau mengatakan bahwa Firman itu sejenis dengan Allah (artinya ilahi). Firman itu tidak setingkat dengan Allah tetapi satu dengan-Nya. Hal ini, sebagaimana akan kita lihat nanti, dikatakannya juga tentang Roh Kudus. Akibatnya ialah Origenes jatuh pada subordinasionisme[7] yang kelak dilawan oleh Gereja.[8]

  1. Hakikat dan Fungsi Roh Kudus menurut Origenes

Sebagaimana sudah kita lihat, bila berbicara tentang Roh Kudus menurut Origenes, kita tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang Trinitas. Pada dasarnya, Origenes mengakui kesatuan Allah Tritunggal. Namun, dalam membahasakannya, ia terlalu menekankan kemandirian setiap pribadi. Origenes sampai pada pemahaman bahwa Allah itu adalah satu Triade dan tiga hypostasis[9]: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Memang, istilah hypostasis ini menimbulkan perdebatan trinitaris pada masa ini karena diartikan sebagai “realitas individual dan konkrit” atau “eksistensi pribadi yang tersendiri”.[10] Tidak heran bahwa Origenes memahami Trinitas sebagai masing-masing hypostasi ilahi yang berbeda dalam martabat dan kekuatan.[11]

Teologi Origenes sebenarnya mau melindungi dan membela monarki Allah dan menghindari paham modalisme[12] dan adopsianisme[13]. Menurutnya, Allah itu berada dalam “hierarki asal-usul” (Hierarchy of origin): Bapa adalah sumber keilahian, dari pada-Nya dilahirkan Putera dan Roh Kudus. Putera dilahirkan dari keabadian dan menjadi pengantara antara Allah dan dunia. Jiwa Putera sudah tercipta dengan intelligensia pre-eksisten.  Sementara itu, Roh Kudus datang dari Bapa melalui Putera dan berfungsi sebagai pengudus (sanctifier). Dalam diri Allah Bapa terkandung prinsip (arche), asal-usul (aitios), dan sumber (pege).[14]

Allah Bapa itu Mahakuasa, dalam cinta-Nya yang besar, Ia menciptakan Roh Kudus dengan terlebih dahulu melahirkan Putera (Logos). Hubungan Roh Kudus dan Putera sedemikian erat bagai kesatuan tubuh dan jiwa (seperti bara api dan api).[15] Sementara Bapa sebagai superior membagikan keAllahanNya kepada Putera dan Roh Kudus, sehingga keilahian Putera kurang dari Bapa tetapi Putera superior dibandingkan dengan makhluk-makhluk berakal di bumi. Seterusnya, keilahian Roh Kudus semakin kurang dari Putera dan Roh Kudus ini biasanya berdiam dalam diri orang-orang kudus atau dalam diri mereka yang sudah mencapai keselamatan (karena fungsinya adalah sanctifier).[16]

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa menurut pemikiran Origenes, masing-masing Triade Ilahi dalam satu hypostasis yang berbeda, bukan hanya dalam manifestasi, melainkan juga dalam seluruh eternita. Itu berarti, Origenes merumuskan doktrin Trinitas dengan rumusan: satu Triade dari tiga hypostasis, namun dalam bentuk subordinasi. Bapa sebagai Pencipta (Creator), Putra sebagai Penebus (Redeemer), Roh Kudus sebagai Pengudus (Sanctifier).[17]

5. Penutup: Relevansi Ajaran Origenes

Di kemudian hari, Origenes menjadi pre-cursor lahirnya Arianisme (Arius mempertajam subordinasionime Origenes dengan menempatkan Putera lebih rendah dari Bapa). Namun, banyak teolog modern beranggapan bahwa bila Origenes sampai melukiskan Trinitas sedemikian menjadi subordinasionisme adalah karena Origenes tidak mempunyai bahasa yang cukup untuk melukiskan siapa itu Allah pada masa itu. Dia ‘terpaksa’ memakai bahasa platonis yang berkembang pada waktu itu.[18]

Sebagaimana kita lihat tadi Origenes sebenarnya mau membela hakikat Allah itu dari aliran-aliran yang menyerangnya. Bahwa pada akhirnya ia jatuh pada subordinasionisme bukanlah merupakan kegagalan di pihaknya. Setidak-tidaknya pandangannya merintis paham teologi Gereja yang benar di kemudian hari.

Salah satu gema paham Origenes yang masih dapat kita rasakan hingga saat ini adalah pandangannya tentang kehadiran Roh Kudus dalam pembaptisan. Baptis dalam fakta sendiri tidak menuntun pada rahmat Roh. Roh dicurahkan hanya pada mereka yang ikut ambil bagian dalam perjalanan pendidikan ilahi, demi penyempurnaan dan pengilahian, dan pada akhirnya dibentuk menjadi anak Allah.[19]

[1] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 116-117.

[2] Platonisme adalah filsafat yang diilhami oleh Plato (427-347 SM), yang Akademinya tetap menjadi pusat belajar, sampai ditutup oleh Kaisar Yustinianus (483-565) pada tahun 529. Tulisan Plato yang terkenal, Dialog, menampilkan perdebatan Sokrates (469-399 SM) melawan kaum Sofis dan kelompok lain mengarah pada tema sentral ini: “pernyataan-pernyataan mengenai keadilan, kebenaran, kebaikan, keindahan dan hal-hal lain dalam dunia kita yang berubah dan kelihatan, dapat disebut sah kalau pernyataan-pernyataan itu dapat diberlakukan secara universal”; dan ini menunjuk ke dunia Idea yang abadi, tak berubah, universal, yang lebih tinggi. Jiwa kita sudah ada sebelumnya (pre-eksistensi) di dunia Idea itu dan oleh karena itu mempunyai pengetahuan yang melekat padanya tentang hal-hal tersebut. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Platonisme”, dalam Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh Ignatius Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 256.]

[3] Menurut teori apokatastasis, semua malaikat dan semua manusia, bahkan setan-setan akhirnya akan diselamatkan (bdk. DS 409; 411). [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Apokatastasis”, dalam Kamus …, hlm. 31.

[4] Johannes Quasten, Patrology, vol. II (Notre Dame: Ave Maria Press, [tanpa tahun]), hlm. 91.

[5] Dr. C. Groenen, OFM, Sejarah …, hlm. 120; bdk. Johannes Quasten, Patrology …, hlm. 89-90.

[6] Oleh kaum Gnostik, kata ini dipergunakan dalam arti yang tidak jelas. Homoousios berarti sehakikat. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Homoousios”, dalam Kamus …, hlm. 105.]

[7] Paham yang memberikan kedudukan yang lebih rendah  kepada Putera dalam hubungan dengan Bapa, demikian juga dengan Roh Kudus dalam hubungannya dengan Bapa dan Putera. Arianisme mengekstrimkan subordinasionisme Putra dari Bapa, dan Pneumatomachianisme mengekstrimkan subordinasionisme Roh Kudus dari Bapa dan Putera. Lewat Konsili Nikea (325) subordinasionisme Putra ditolak dan Konsili Konstantinopel (381) memulihkan hubungan Bapa – Putera – Roh Kudus. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Subordinasionisme”, dalam Kamus …, hlm. 105.]

[8] Johannes Quasten, Patrology …, hlm. 79.

[9] Kata hypostasis berasal dari kata Yunani, hypestimi (hypo-histemi). Kandungan makna kata hypostasis dapat dipahami apabila dihubungkan dengan kata ousia: hypostasis merujuk pada “ketidaktergantungan, sesuatu yang berdiri sendiri”, namun selalu berada dalam relasi dengan yang lain; sedangkan ousia mengindikasikan kesatuan. [Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Meneropong Teologi Trinitaris dalam Terang Sistematik (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2001), hlm. 47. (Diktat).

[10] Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Hipostasis”, dalam Kamus …, hlm. 103.

[11] Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Meneropong …, hlm. 50.

[12] Modalisme adalah bidaah yang begitu menekankan kesatuan ilahi  sehingga mereka menolak bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah pribadi-pribadi yang berbeda. Ketiganya hanyalah wujud atau cara yang digunakan Allah dalam tindakan penciptaan dan penyelamatan. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Modalisme”, dalam Kamus …, hlm. 202.]

[13] Kristus menurut kodratnya memang benar-benar Anak Allah; namun, sebagai manusia dia hanyalah anak angkat. [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, “Adopsionisme”, dalam Kamus …, hlm. 16.]

[14] “Origen”, dalam John P. Whalen (ed.), New Catholic Encyclopedia, vol. X (Washington: The Catholic University of America, 1981), hlm. 770.

[15] “Origen”, dalam Philip W. Goetz (ed.), The New Encyclopaedia Britannica, vol. VIII (Chicago: The University of Chicago, 1986), hlm. 998.

[16] “The Trinity according to Origen”, dalam http://www.iep.utm.edu/origen-of-alexandria/ , 05 Desember 2011.

[17] Yohanes Sarwo Kabul dan Very Ara, Meneropong …, hlm. 50.; bdk. “Life and Work of Origen”, dalam http://www.newadvent.org/cathen/11306b.htm, 05 Desember 2011.

[18] “Life and Work of Origen”, dalam http://dlibrary.acu.edu.au/research/theology/gus_nathan.htm, 05 Desember 2011.

[19] Kornelus Sipayung, Pneumatologi: Pengalaman akan Roh Kudus dalam Hidup Beriman (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2006), hlm. 21. (Diktat).

PEMAHAMAN TENTANG YESUS KRISTUS DI DUNIA YUNANI PADA ABAD II – III

 

YESUS KRISTUS PADA KEKRISTENAN YAHUDI

 

 

 

YESUS KRISTUS PADA KEKRISTENAN YUNANI

 
Tren pemikiran Karangan dan pengarang Pengungkapan-pengungkapan Tren pemikiran Karangan dan pengarang Pengungkapan-pengungkapan  
1. Jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi tetap setia pada adat kebiasaan Yahudi (Hukum Taurat, sunat, dan ibadat). Mereka mengakui Yesus sebagai Mesias dan begitu membedakan diri dari kelompok-kelompok Yahudi lain. mereka tetap setia dan menganggap diri lanjutan dari Israel sejati.

 

2.  Jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi gemar akan jenis sastra dan alam pikiran “apokaliptik,” dengan macam-macam gambar dan lambang yang aneh. Pemikiran itu kurang sistematis, kurang teologis dan agak simpang siur. Tidak memakai gagasan/konsep rasional-abstrak, melainkan dalam lambang atau gambar yang konkret-figuratif-mitologis.

1. Kerygmata Petrou Yesus Kristus ditampilkan sebagai seorang Guru (Rabbi) dan terutama sebagai nabi sejati. Nabi sejati itu adalah Roh-Kudus, Roh besar kenabian Karena pengharapan akan parousia Tuhan mengendur, kepercayaan Kristen terpaksa mencari tempat yang mantap di dunia Yunani. Memang hidup keagamaan serba sinkretis, muncul ‘gnosis’. Lewat pandangan gnosis, dunia (manusia) secara dasariah buruk. Dunia sejati adalah dunia ilahi. Agar selamat manusia membutuhkan ‘pengetahuan’. 1. Corpus Hermeticum Penggabungan gnosis dan filsafat Yunani. Orang-orang Yahudi yang menganut gnosis itu, termasuk mereka yang masuk Kristen, memanfaatkan Kitab Suci yang ditafsirkan dengan caranya sendiri (allegorese). Dan orang Kristen yang menganut gnosis itu memanfaatkan ajaran Yesus dan tradisi injili.  
2. Anabathmoi Iakobou Yesus dipahami sebagai nabi dan Kristus kekal. Dan Kristus kekal itu tidak lain adalah Roh-Kudus. Roh itu sejak kekal ada dan selalu menyertai orang takwa. 2. Injil Thomas Yesus digambarkan sebagai seorang ‘Guru’ yang menyampaikan gnosis istimewa dan begitu menjadi juruselamat ilahi dengan membebaskan manusia dari dunia seadanya.  
3. karya Pastor, karangan Hermas Roh-Kudus disebut Anak Allah dan Yesus digelari “Hamba Tuhan.” Karena kesetiaan dan ketaatannya hamba itu akhirnya juga diangkat menjadi Anak Allah. 3. I Yohanes Melawan doketisme: Anak Allah hanya bertopeng (berpura-pura) sebagai manusia.  
4. “Injil kaum Ebyonim.” “(disebarluaskan oleh Kerintus) Yesus seorang manusia, anak wajar Yosef dan Maria. Tetapi secara luar biasa Dia dianugerahi oleh Allah. 4. Kisah (Acta) Yohanes Kadang-kadang Kristus hanya mempunyai rupa badan, lain kali Kristus surgawi dibedakan dengan Yesus yang mempunyai badan, tetapi untuk sementara waktu ‘didiami’ oleh Kristus surgawi.  
5. Oracula Sibyllarum Sejak awal eksistensinya, segi ilahi Kristus sudah ditonjolkan.  

5. Ignatius dari Antiokhia

 

Yesus benar-benar manusia, diperkandung oleh perawan Maria, dilahirkan, dibaptis, sungguh menderita dan mati (segi historis Yesus).  
6. Kenaikan Yesaya Pra-eksistensi Yesus Kristus jelas, tetapi Kristus nampaknya mengambil macam-macam rupa dan penyelamatan dikaitkan dengan turunnya Kristus (inkarnasi) 6. Pollycarpus Mirip dengan pendekatan Ignatius dan juga melawan doketisme. Tetapi Pollycarpus lebih menekankan makna penyelamatan penderitaan dan kematian Yesus.  
7. Odos (Madah Salomo Yesus turun di dunia orang mati untuk mewartakan kemenangannya, mengalahkan “Malaikat Maut” dan membebaskan orang yang terkurung di sana. Bersama dengan Kristus mereka naik ke atas. 7. Surat Barnabas (dari Orang-orang Kristen (Aleksandria?) berkebudayaan Yunani) Ciri historis dan realitas manusiawi Yesus Kristus lebih kuat ditekankan.  
    8. Valentinus dan Basilides Menjelaskan seluruh realitas nyata sebagai hasil sebuah drama yang berlangsung di dalam kealahan sendiri. Asa pertama seluruh realitas adalah Bapa.  
    9. Markion (Anthitheses) Memperlawankan Allah Perjanjian Baru dengan Allah Perjanjian Lama. Allah PL: Pencipta yang adil, hakim dan penghukum sedangkan Allah PB: baik dan penuh cinta.  
    10. Monarkianisme Modalistis Yesus Kristus adalah penampakan Allah Bapa. Allah hanyalah satu, Yesus hanya ‘modus’ Allah.  
    11. Yustinus Martir Yesus Kristus dibandingkan dengan logos kekal (bdk. Injil Yoh.) logos itu meresapi segala sesuatu dan khususnya manusia yang berakal menjadi peserta dalam logos itu (logos spermatikos).  
    12. Ireneus dari Lyon (Adversus Haereses) Yesus sendiri sudah menyampaikan semua kebenaran kepada keduabelas rasul ditambah Paulus. Rasul-rasul itu mempercayakan kebenaran-kebenaran itu kepada uskup-uskup jemaah yang mereka dirikan.  
    13. Tertullianus Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia yang lahir, menderita dan mati di salib. “Kristus diutus untuk mati, maka tidak dapat Ia mesti lahir, supaya dapat mati.”  
    14. Monarkianisme Dinamik (Teodotus dari Byzantium) Menyangkal pra-eksistensi Yesus Kristus. Firman Allah yang sudah ada sebelumnya bukanlah pribadi, melainkan kekuatan yang mendatangi manusia Yesus. Hanya secara ‘dinamik’ ia boleh disebut Ilahi.  

 

PERKEMBANGAN KRISTOLOGI PADA GENERASI KRISTEN PERTAMA

Sarana-sarana pemikiran & pengungkapan Kristologi YERUSALEM

Tradisi Kristen – Yahudi

ATENA

Yesus Kristus dalam Dunia Yunani

Yahudi – Perjanjian Lama Kristen – Yahudi Yunani Kristen – Yunani
 ANAK MANUSIA

 

 

 

 

 

 

Berpangkal pada Kitab Daniel (Dan. 7:13-14), “kitab apokaliptis.” Anak Manusia dipikirkan sebagai tokoh surgawi yang menjelang akhir zaman adalah wakil dan kuasa Allah. Yesus yang tadinya mati tersalib dilihat tidak lama lagi sebagai Juru Selamat & Hakim yang akan tampak dalam Kerajaan Allah yang diwartakanNya selagi Dia hidup di dunia. Dari pengalaman Paska, Yesus sebagai Anak Manusia dilantik Allah sendiri. Ungkapan itu bisa menyesatkan seolah-olah sejalan dengan gelar ‘Anak Allah.’ Umat Kristen Yunani meninggalkan gelar itu, yang hanya sebagai bahan baku terpelihara dalam tradisi tanpa dipikirkan lebih lanjut atau diartikan kembali seperti dalam Injil Yohanes.
 UTUSAN ALLAH

 

 

 

 

 

 

Orang benar, khususnya menjelang akhir zaman akan menderita banyak kesusahan dan seorang nabi mesti mengalami nasib malang (Neh. 9:26) dengan dibunuh bangsanya sendiri. Penciptaan dan penyelenggaraan Allah dikaitkan dengan Hikmat Kebijaksanaan Allah yang dipikirkan sebagi ‘tokoh ilahi.’ Yesus melalui kebangkitannya dinyatakan sebagai utusan Allah. sebagai pelaksana rencana penyelamatan Allah, Yesus dapat dipahami sebagai utusan hikmat kebijaksanaannya. Tokoh gaib yang sepadan dengan dewa/i atau kaisar Dengan bangkit, Yesus dipahami sebagai Anak Allah yang diutus ‘dari surga’ maka Ia dianggap sebagai yang membangkitkan orang mati, utusan, wakil dan kuasa Allah yang melakukan pekerjaan Bapa.
 KERAJAAN ALLAH

 

 

 

 

Tujuan  akhir setiap orang pada akhir zaman.

 

 

Tempat hidup di akhir zaman yang abadi bersama Allah Bapa, Putera dan Roh-Kudus.

 

Tempatnya di tingkat atas, surga, dan disamakan dengan “hidup kekal”. Manusia adalah peserta dalam yang ilahi pada susunan ‘Jagat Raya.’ Situasi dimana peranan dan kedudukan Yesus semakin ditonjolkan. “Kerajaan Kristus” real, “Kerajaan Allah” dipahami ‘Kerajaan Surgawi’.
 MESSIAH

 

 

 

 

Juga digelari “Anak Daud”, keturunan Daud, biasanya dipikirkan sebagai ‘raja’ dengan ciri politik nasional yang cukup menyolok. Messiah = orang yang diurapi oleh Allah sebagai wakil dan kuasanya. Yesus yang oleh Allah dibenarkan melalui kebangkitannya dari antara orang mati, bukan Mesias gadungan tetapi mesias sejati. Gelar Ibrani/Aram “Mesias” diterjemahkan dengan kata Yunani ‘Khristos.” Bukan gelar kerajaan, jabatan tetapi nama diri. Tidak terlalu penting apakah Yesus Mesias atau tidak. Yesus mendapat nama majemuk: Yesus Kristus atau Kristus Yesus.
 RAJA

 

 

 

Raja dilengkapi dengan daya kekuatan Allah sendiri, ialah Roh-Kudus untuk menunaikan tugasnya (Yes. 11:2; 61:7) Sejak awal kepemimpinannya, Yesus dilengkapi Roh ilahi dan berkat roh itulah Ia menunaikan tugasNya Gelar kekuasaan raja, kaisar, atau dewa/i Yesus paling akhir akan mengembalikan ‘kerajaanNyua’ ialah kuasa dan martabat kerajaan, kepada Allah.
 

 NABI

 

 

 

 

Juga dilengkapi dengan daya kekuatan Allah, Roh ilahi. Ia akan ditolak oleh bangsaNya sendiri. Yesus dalam menunaikan tugas nabi, dibimbing oleh Roh ilahi. Ia nabi yang setia hingga akhir. Tokoh gaib dan pembuat mukjizat. Yesus adalah tokoh ilahi, lepas dari pewartaannya. Yesus sakti bisa mengalahkan dukun dan pembuat mukjizat di kalangan Yunani.
 ANAK ALLAH

 

 

 

 

Orang istimewa yang punya hubungan khusus dengan Allah; anak yang terkasih, anak dengan segala hak istimewa anak sulung. Yesus punya relasi khusus dengan Allah dan bahkan menyebutnya “Abba” Sangat biasa dewa/i punya anak. ‘Raja’ kerap disebut Anak Allah, karena kesaktiannya terbukti. Yesus tidak hanya mengerjakan pekerjaan Allah, Dia adalah penampakan Allah di muka bumi. Yesus = gambar Allah.
 TUHAN

 

 

 

Tuhan Allah berkata kepada tuan (raja)-Mzm. 110:1. Nama diri Allah Israel YHWH dialihbahasakan oleh orang Yahudi berbahasa Yunani justru dengan gelar “Tuhan” (Kyrios). Dengan bangkit, Yesus menjadi Tuhan. Ia adalah Tuhan karena pada Diri dan karyanya dilihat suatu segi ilahi, ia menjadi hakim orang hidup dan mati. Dipakai untuk menyapa dewa/i, raja-raja dan tokoh gaib lainnya. Yesus = penampakan Allah maka gelar “Tuhan” mendapat ciri ilahi seperti dipkirkan  orang Yunani.
 

HAMBA

TUHAN

 

 

 

“Hamba Tuhan” dan mirip seorang nabi muncul dalam Yes. 52:13-53:12. Ia dihina dan dibunuh oleh bangsanya sendiri tetapi dimuliakan oleh Allah. Yesus memikul dosa-dosa orang banyak dan menyebabkan kematianNya. Dengan kematianNya justru membenarkan orang yang tidak benar. Gelar bagi orang terhormat dan dipuja seperti raja, kaisar, atau dewa/i. Yesus dilengkapi kekuatan Allah yaitu Roh-Kudus.
 ARTI SALIB

 

 

 

 

Adalah batu sandungan. Tidak dapat diterima seorang mesias dihina dan direndahkan di salib Dengan kebangkitan Yesus, arti salib semakin bisa dipahami. Kebangkitan menerangi salib sebagai peristiwa penyelamatan. Adalah kebodohan, tidak mungkin dan tidak masuk akal ‘tokoh ilahi’ yang disamakan dengan dewa/i dan tokoh gaib dihina pada salib Hanya dengan kebangkitan (dan inipun sulit dipahami) Yesus diakui sebagai Anak Allah yang diutus ‘dari surga’.
 PENEBUS

 

 

 

 

 

Upacara ‘pendamaian’/pentahiran (Im.16) dirayakan untuk memulihkan dosa umat Israel. Seekor kambing yang secara ritual dibebani dosa umat, digusur ke padang gurun. Kambing itu adalah korban penghapus dosa. Yesus adalah silih/korban penebus salah banyak orang. kematianNya menjadi silih penghapus dosa. Macam-macam orang (dewa/i, raja, dokter, dll) disebut sebagai Juru Selamat. Bahkan kaisar Roma suka disanjung-sanjung sebagai “Juru Selamat” bahkan “Juru Selamat dunia.” Umat Kristen memindahkan gelar itu pada Yesus (Yoh. 4:42). Yesus adalah pengantara Allah dan manusia, dan sebaliknya. Manusia ditebus lewat kematian Kristus.
 KESELAMATAN

 

 

 

 

Campur tangan YHWH yang membebaskan dan menyelamatkan uamt pilihan (Israel) Ditemukan dalam diri Yesus Kristus. dengan bangkit orang-orang percaya mendapat ganjaran abadi di surga. Manusia tidak berdaya terhadap dunia & hal ihwalnya, semua dikuasai “nasib”. Keselamatan dipahami secara pesimistis. Allah menyelamatkan manusia lewat Yesus Kristus anaknya. Sarananya adalah: mati di salib  tetapi oleh Allah dibangkitkan.

 

KONSTITUSI DOGMATIS DEI VERBUM (WAHYU ILAHI) DI ERA DIGITAL

Pengantar

Konsili  Vatikan II yang dipelopori oleh P. Yohanes XXIII dimaksudkan untuk memberi kesaksian iman saat ini. Tantangan selanjutnya diserukan oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatisnya tentang Pewahyuan Ilahi Dei Verbum (DV) untuk membuka selebar-lebarnya pintu gerbang ke Kitab Suci bagi para beriman.

Sejak diresmikan oleh Paus Paulus VI pada 18 November 1965, DV berjalan mengiring waktu. Hal ini sungguh membentuk kesadaran untuk mengevaluasi dan mengeksplorasi bagaimana kekayaan Kitab Suci disalurkan kepada semua orang di planet ini dan bagaimana cara terbaik yang bisa kita tempuh untuk mengomunikasikan Sabda Allah melalui sarana-sarana modern: pastoral dan moral yang mendesak. Karenanya, bergunalah kiranya bagi kita mengeksplorasi banyak kemungkinan mengomunikasikan Sabda Allah dalam konteks kekinian.

Revolusi informasi, ledakan komunikasi, globalisasi, dan tekhnokrasi adalah ungkapan-ungkapan yang biasa kita dengar akhir-akhir ini. Kebudayaan modern ditandai tekhnokratik, techno-sentris, penguasaan informasi, kebudayaan monolitik konsumeristik dan semuanya memaksa cara kita berfikir, merasa, dan berkelakuan. Inovasi-inovasi digital telah menciptakan kesempatan kerja yang baru, pendidikan, dan komunikasi. Kebudayaan Tekhnologi Informasi telah menjadi metafora hidup manusia yang baru di zaman ini. Dalam tulisan ini, satu pertanyaan hendak dijawab: bagaimana kita akan mengomunikasikan Sabda Allah?

 

Tuhan Berbicara melalui Banyak Cara

“Setelah pada zaman dahulu Allah berulangkali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan AnakNya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia, Allah telah menjadikan alam semesta. (Ibr. 1:1-2).

Allah menyatakan DiriNya dan berkomunikasi dengan manusia agar terbinalah relasi antara Dia dengan manusia agar manusia dilimpahi kekayaan keilahianNya. Manifestasi kehadiran Allah dan kemuliaanNya terjadi melalui banyak tanda, simbol, dan orang-orang yang dengan satu cara atau bentuk lain dari komunikasi.

Cerita-cerita Kitab Suci menghantar kita pada paham komunikasi yang kreatif (penciptaan semesta – Kej. 1:3-26), komunikasi yang membebaskan (ketika Musa diutus oleh Tuhan untuk membebaskan bangsa Israel keluar dari Mesir), komunikasi yang menyelenggarakan (ketika di padang gurun Allah menyediakan air, makanan, dan daging kepada bangsa Israel). Dalam Kitab Suci, YHWH menyampaikan SabdaNya melalui para nabi yang memberi peringatan. Janji Tuhan akan harapan baru dikomunikasikan kembali melalui para nabi.

 

Inkarnasi – Kepenuhan Komunikasi Allah

Melalui Inkarnasi, kepenuhan komunikasi Allah dinyatakan dalam diri Yesus. Tidak lagi kata-kata yang diucapkan atau beberapa tanda dan simbol tetapi hidup yang dikomunikasikan. Sebagaimana ditulis oleh Penginjil Yohanes dalam Injilnya, “Sabda menjadi Daging dan tinggal di antara kita (Yoh. 1:14).” Allah mau berkomunikasi dengan manusia lewat pengutusan PuteraNya. “Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan DiriNya dan memaklumkan rahasia kehendakNya; berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi Daging, dalam Roh Kudus dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka dengan wahyu itu Allah yag tidak kelihatan dari kelimpahan cinta kasihNya menyapa manusia sebgaia sahabat-sahabatNya.” (DV 2). Sabda dan tindakan Yesus, tanda-tanda dan muzizatNya dan terakhir kematian dan kebangkitanNya dan pengutusan Roh-Kudus mengomunikasikan satu pesan bahwa Allah beserta kita. “Dengan Wahyu Ilahi Allah telah mau menampakkan dan membuka DiriNya sendiri serta kepada kehendakNya yang abadi tentang keselamatan manusia yakni untuk mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama sekali melampaui daya tangkap akal budi insani.”

 

 

Gereja yang Komunikatif

Dengan mewartakan Injil, para Rasul mengomunikasikan apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka. Maka, Gereja Perdana adalah Gereja yang komunikatif yang mengomunikasikan Wahyu Allah; kekayaan rahmat Ilahi dan memelihara persekutuan para anggota-anggotanya.

Gereja, penyaksi dan penjaga Wahyu Ilahi, menemukan beragam sarana untk berkomunikasi. Communio et Progressio yang terkenal sebagai magna charta komunikasi sosial mengatakan, “Gereja melihat media-media ini sebagai ‘pemberian Allah’ yang sesuai dengan bentuk penyelenggaraanNya, mempersatukan manusia menjadi satu saudara dan membantu mereka untuk  bekerja sama dengan rencana Allah demi penyelamatan manusia itu sendiri.”

Salah satu trend luar biasa dari abad ke-20 dan abad ke-21 adalah perkembangan pesat dunia tekhnologi komunikasi yang sungguh membuat dunia menjadi satu perkampungan kecil dan membawa kedekatan di antara manusia dan kebudayaan-kebudayaan menjadi lebih nyata bisa dilihat (secara fisik).

Sikap Gereja Pasca Konsili Vatikan II adalah bahwa Gereja hendak mempergunakan kemajuan alat-alat modern komunikasi untuk misi. P.Yohanes Paulus II menyoroti ‘kemungkinan-kemungkinan besar’ yang ditawarkan oleh media digital dalam mengomunikasikan Sabda Allah dan menggunakan alat-alat komunikasi sosial yang sama untuk misi kateketik Gereja.

 

Areopagus di Zaman Modern

Setelah berkotbah di sejumlah tempat, Santo Paulus tiba di Athena. Ia pergi ke Areopagus dan memaklumkan Injil dalam bahasa yang diterima dan dimengerti di tempat itu (bdk. Kis. 17:22-31).

Areopagus zaman modern adalah dunia komunikasi yag mempersatukan umat manusia dan membawa kita ke dalam tempat yang disebut sebagai “kampung global”. Alat-alat komunikasi sosial telah menjadi sedemikian penting saat ini baik bagi individu, keluarga, dan juga masyarakat. Teristimewa, generasi muda tumbuh dan berkembang di dunia yang dikondisikan oleh media massa.

Appresiasi media tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang terlibat dalam dunia komunikasi sosial itu, tetapi untuk seluruh komunitas Gereja. Liturgi, pengungkapan yang paling penuh dan fundamental komunikasi dengan Tuhan dan dengan sesama yang lain (sebanyak komunitas doa), katekese, mengajar umat dengan terlibat dalam bahasa dan kebudayaan setempat harus mendapat perhatian dari para komunikator Kristen.

Fenomena komunikasi zaman ini mendesak Gereja akan suatu revisi jenis pastoral dan kebudayaan, sehingga makin sesuai dengan tuntutan zaman di mana kita hidup. Di antara personel-personel Gereja ada suatu ketakutan berhadapan dengan tantangan dari masyarakat digital modern. Tekhnologi-tekhnologi terbaru, ketinggalan pengetahuan tentang bagaimana cara kerjanya, prasangka, ketakutan akan biaya, curiga, dan banyak alasan lain membuat mereka ragu-ragu untuk mengeksplorasi keajaiban komunikasi dunia ini. Menyadari situasi ini, P. Yohannes Paulus II dalam surat apostoliknya “The Rapid Development” mengatakan agar kita tidak takut pada tekhnologi-tekhnologi baru! Yesus meyakinkan kita, “Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh. 16:33). Dan kataNya lagi, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.”

 

 

 

Kemajuan yang Berbuah – Pengintegrasian Pesan ke dalam “Kebudayaan Baru”

Gereja tidak hanya dipanggil untuk menggunakan mass media dalam menyebarkan Injil tetapi, saat ini lebih dari yang pernah ada, yakni mengintegrasikan pesan penebusan ke dalam “kebudayaan baru” yang diciptakan dan diperjelas oleh alat-alat komunikasi yang berdaya guna ini. Kita tidak bisa puas hanya dengan ‘publikasi’ Injil melalui media, karena evangelisasi dan proklamasi melampaui penggunaan media. Dalam surat apostolic Rapid Development, Yohanes Paulus II mendesak kita untuk tidak hanya menggunakan “mesin-mesin dan tekhnologi komputer” sebagai suatu bagian integral media massa. Banyak tantangan berhadapan dengan evangelisasi baru di tengah kekayaan dunia dengan komunikasi yang potensial. Media komunikasi sudah diakui sedemikian penting sarana pembinaan dan inspirasi yang prinsipiil bagi banyak orang berkaitan dengan kehidupan pribadinya, keluarga, dan relasi sosial. Kita sedang berhadapan dengan masalah yang complex, karena kebudayaan itu sendiri memperoleh basisnya dari isi /muatan media ybs. Pembentukan kepribadian dan hati nurani, penafsiran dan pembentukan relasi afektif, kebrsamaan dalam pendidikan dan tahap-tahap pemebentukannya, elaborasi dan fenomena difusi cultural, perubahan sosial, kehidupan ekonomi dan politik kita berasal dari pengaruh media.

 

Internet “ad gentes”

Jutaan manusia terhubung (ter-connected) setiap hari melalui fasilitas komunikasi digital internet. Bulan Februari 2002, sidang kepausan untuk komunikasi sosial menghasilkan sebuah dokumen tentang “Church & the Internet”, yang mengatakan bahwa internet relevan untuk berbagai aktivitas dan program-program Gereja – evangelisasi, re-evangelisasi, evangelisasi baru dan karya missioner  tradisional ad gentes, katekese dan jenis-jenis lain dari pendidikan, berita dan informasi, apologetik, kepemimpinan dan administrasi, berbagai bentuk konseling pastoral dan spiritual. Meskipun realitas keutamaan dari cyberspace tidak dapat menggantikan komunikasi real inter-personal, realitas inkarnasional sakramen-sakramen dan liturgi, atau pewartaan Injil secara langsung, internet bisa melengkapinya, menunjukkan kepada semua orang  pengalaman iman yang lebih penuh, dan memperkaya kehidupan religius mereka yang menggunakannya. Gereja juga menyediakan sarana-sarana komunikasi bagi kelompok-kelompok particular – orang-orang muda, orang tua, rumah tangga, orang-orang yang tinggal di daerah terpencil, anggota-anggota religius yang barangkali sulit dijangkau.

Gereja dengan rela menggunakan media ini untuk memberi informasi mengenai dirinya sendiri dan memperluas cakupan evangelisasi, ketekese dan pemebentukan, seraya memperhatikan pemakaiannya sebagai jawaban atas perintah Tuhan: “Pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah Injil kepada semua makhluk.” (Mrk. 16:15).

 

Tantangan baru dalam milenium baru

Dalam misinya, beberapa keuskupan dan organisasi kristen sudah menggunakan alat-alat canggih ini dalam komunikasi sosial. Komunikasi ini memberikan keuntungan yang besar bagi Gereja untuk mengomunikasikan wahyu Allah kepada orang banyak khususnya kaum muda. Pada penutupan jubileum agung tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II menulis surat apostolis “Novo Millenio Ineunte”, yang mana dia menekankan kebutuhan mendesak untuk mengominikasikan Sabda Allah pada sebagian bumi di mana injil belum diajarkan dan mengajarkan kembali pada sebagian lagi yang sufdah diajarkan pada abad pertengahan lalu:

Gereja secara langsung melibatkan diri dalam komunikasi dan di lain pihak akan terbuka dan mendorong sikap ke arah individual atau organisasi yang melibatkan mereka sendiri dalam medan komunikasi, seperti yang dikatakan Johannes Paulus II dalam Novo Millenio Ineunte, kita tidak perlu menunggu ‘spesialis’ untuk terlibat tetapi kita harus melibatkan jawaban seluruh anggota umat Allah.

           

Iman–“Sebuah komoditas?”

Karakter masyarakat digital sekarang adalah mendekati segala sesuatu dengan sikap konsumeris. Hal ini merupakan tantnangan baru untuk mengerti wahyu Allah dalam dunia digital. Sabda Allah, wahyu Ilahi dan iman bukanlah barang dagangan pada toko di berbagai Gereja dan organisasi-organisasinya. Masih ada godaan dari beberapa organisasi memuaskan orang-orang beriman dengan konsumerisme – pendekatan komersial. Tetapi misi Gerja yang benar adalah menjelaskan dan meyakinkan orang beriman khususnya kaum muda bahwa iman bukanlah komoditas yang mereka perdagangkan di antara gereja-gereja. Para nabi purba tidak mengubah wahyu Allah supaya menyenangkan raja-raja dan manusia. Mereka mewartakan sabda Allah seperti yang ditampakkan kepada mereka (2 Sam 12:1-15; Jer 4:1). Sabda Alah tidak statis tetapi dinamis. Sabda itu menyokong kehidupan manusia. Bisa ada humor dan anekdot, untuk menghiasi pewartaan yang baik, tetapi sabda atau kepuasan harus jelas, cukup keras dan jangan pernah menambah-nambahi.

Dalam arti luas, semua orang kristen dipanggil untuk menyatakan sabda Allah dalam hidupnya. Tantangan yang lebih besar adalah penyesuaian dengan pendengar kotbah. Pada ”jaman bisnis’ ini manusia biasanya menggunakan penglihatan dan pendengaran. Homili yang baik harus merefleksikan budaya elektronik, dan pada waktu yang sama menantang hakekat atau isinya. Penyajian dramatis isu penting yang dihadapi oleh manusia dapat memberikan kekayaan materi untuk direfleksikan dalam kotbah kita, baik dalam isi maupun bentuknya.

 

Website Gereja

Website memberikan keuntungan bagi Gereja. Website ini dapat diakses oleh orang yang haus akan kebenaran dan keaslian interpretasi. Website menjadi informasi yang besar bagi pengetahuan dan iman, karena manusia dapat melihat penjelasan kitab suci, teologi, moral, liturgi dan ajaran lainnya. Misi kita tidak berhenti untuk menciptakan website doktrin Gereja. Komunikasi melalui media digital bisa membawa manusia secara bersama-sama merayakan sakramen khususnya Ekaristi.

Paus Benediktus XVI telah memilih tema komunikasi bulan Mei 2006: “Media: Jaringan Komunikasi, Persekutuan dan Kerja sama”. Intensi Paus untuk menggunakan arti komunikasi dalam persekutuan antar manusia tampak eksplisit dalam judul berita itu. karena itu Gereja lokal harus berpikir secara kreatif menggunakan arti yang dapat membawa persekutuan antar manusia dan persekutuan Allah.

Internet bukan hanya memberikan sumber imformasi, tetapi juga memberikan kebiasaan seseorang untuk berkomunikasi timbal-balik. Banyak orang kristen secara kreatif manggunakan alat ini, menjelajahi potensi untuk mencari tugas evangelisasi dan ilmu pengetahuan, dan juga komunikasi internal, administrasi dan pemerintahan. Bagaimanapun, berdampingan dengan internet, arti komunikasi yang baru, dan juga orang tradisional, bisa dicari. Surat kabar harian dan mingguan dan publikasi yang lain, televisi Katolik dan radio masih berguna bagi pewartaan Gereja. Semuanya ini akan berperan penting bagi dunia pewartaan yang otentik dan persekutuan Gereja yang nyata.

 

Dialog Generasi Digital dengan Yang Ilahi

Sejarah keselamatan berbicara tentang komunikasi Allah dengan manusia, yakni sebuah komunikasi yang menggunakan semua bentuk dan cara berkomunikasi. Manusia diciptakan serupa dan seperti Allah supaya merangkul wahyu Ilahi dan mengambil bagian dalam dialog cinta dengan Allah. Sebab dengan dosa, kapasitas dialog dan komunikasi personal dan sosial diubah, dan manusia menderita, dan akan terus-menerus menderita pengalaman pahit. Allah, bagaimanapun, tidak akan meninggalkan umat manusia, tetapi mengutus Putera-Nya (Mk 12:1-11)

Komunikasi antara Allah dan manusia mencapai kesempurnaan dalam sabda menjadi daging. Dalam roh kudus, manusia diberi kapasitas untuk menerima keselamatan, dan menyatakan dan memberi kesaksian pada dunia. Tindakan cinta Allah menampakkan dirinya sendiri kepada manusia dan membutuhkan jawaban iman, menghasilkan dialog yang bermamfaat. Dialog ini juga tampak ketika para murid, meminta: “ajarlah kami berdoa” (Luk 11:1).  Artinya, kita dapat memohon pada Allah menolong kita untuk mengerti bagaimana berkomuikasi dengan Allah dengan sesama manusia melalui media komunikasi. Media memberi keuntungan besar untuk mencari manusia di mana saja, mengatasi tantangan zaman, tempat dan bahasa, hausnya akan iman dan bermacam-macam jalan yang ada; dan menawarkan pada semua yang mencari kemungkinan dialog dengan misteri Allah, yang nyata dalam Yesus Kristus.

Inkarnasi sabda telah menjadi daging bagi kita menjadi sebuah contoh bagaimana berkomunikasi dengan Allah dan manusia. Setelah mendengarkan sabda, kemudian kita mengertinya dan mengomunikasikannya kepada orang lain melalui kesaksian dan tindakan.  Ketika Yesus menjelaskan kitab suci, Ia memperlihatkan dirinya sendiri sebagai perumpamaan, berdialog secara bebas, dan berbicara dalam kejujuran, berjalan terus, di atas pantai danau dan pada punjak gunung. Pertemuan personal dengan Dia tidak menimbulkan perasaan acuh-tak acuh, tetapi mendorong penyerupaan: ” Apa yang kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang, dan apa yang dibisikkan ketelingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.” (Mt 10:27).

Puncak komunikasi dengan Allah penuh dalam perjamuan ekaristi. Ketika  Yesus “memecah-mecahkan roti” (bdk. Lk 24:30-31), para murid percaya dan mendorong mereka memaklumkan kematian dan kebangkitan-Nya, dan dengan gembira bersaksi akan kerajaan-Nya (bdk. Lk 24: 35). Dengan penebusan, kapasitas iman yang komunikatif disembuhkan dan diperbaharui. Petemuan dengan Kristus membuat mereka jadi makluk baru, dan mengijinkan mereka menjadi bagian dari Dia, yang mati di salib, menang melalui darah-Nya, dan menunjukkan mereka kedalam kehidupan intim Trinitas, yang berlanjut dan komunikasi yang tidak berujung pangkal atas kesempurnaan cinta infinitif antara Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus.

Komunikasi menembus dimensi esensial Gereja, yang dipanggil untuk memanklumkan kabar keselamatan kepada semua orang. Dengan alasan ini, Gereja bereuntung dengan adanya media komunikasi sebagai jalan yang secara pasti diberikan Allah untuk menyampaikan sabda-Nya. Media menyediakan gambaran keseluruhan karakter umat Allah, lebih mudah dan cepat mengakses gereja lokal, dan meperlancar kerjasama. Kita patut bersyukur kepada Allah karena menyediakan media yang sangat menguntungkan, sehingga jika digunakan oleh orang beriman dengan kesadaran iman dan patuh pada terang Roh Kudus, dapat memudahkan pencarian informasi injil, dan menterjemahkan persekutuan komunitas gerejawi yang lebih efektif.

 

Komunikasi dengan Kekuatan Roh Kudus

Tawaran saluran komunikasi dalam bentuk televisi, radio, surat kabar, majalah, sinema, dan website secara nyata akan menempatkan generasi modern pada kekacauan dan kebingungan total. Pada tingkat yang paling dalam, “dunia media suatu waktu dapat memperlihatkan perbedaan dan permusuhan antara iman kristiani dan moral. Munculnya masalah fitnah-memfitnah dan serangan pada kaum religius, yang begitu cepatnya sampai ke tangan umat melalui media ini, akan membuat umat risih. Salah satu dari problem ini menjadi sasaran gereja katolik. seperti pornografi dan kekerasan dalam media. Internet sepertinya membuka peluang untuk mengetahui kebobrokan yang ada dalam Gereja dan bisa saja tidak benar. Dengan adanya masalah ini maka Gereja perlu mengarahkan umat beriman khususnya kaum beriman pada ajaran yang benar dengan kekuatan Roh Kudus.

Kita telah membaca dalam kisah rasul apa yang terjadi pada hari pentakosta: “Mereka semua dihinggapi oleh Roh Kudus dan mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh Kudus itu kepada mereka untuk mengatakannya…” (Kis Ras 2;1-12). Ketika Roh Allah turun pada para rasul, semua orang diantara mereka bisa megerti sabda Allah dalam bahasa mereka masing-masing. Sedangkan pada peristiwa menara babel (Kej 11-1-9) di mana komunikasi dikuasai oleh kesombongan manusia dan keserakahan melawan Allah, terjadilah kekacauan dan kebingungan, tidak satupun mengerti apa yang dikatakan oleh yang lain. Teapi ketika roh kudus menguasai komunkasi, setiap orang megerti sabda Allah. Setelah menerima urapan Roh Kudus  para rasul pergi mewartakan sabda Allah dengan kekuatan Roh Kudus. St. Petrus misalnya, menghasilkan pertobatan 3000 orang pengikut Yesus Kristus. “Orang-orang yang mendengarkan perkataannya itu memberi diri dibabtis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira 3000 jiwa (Kis 2:4)..

Perwartaan para rasul dikuatkan oleh roh kudus dan memberi kesaksian yang bernilai. Perbuatan lebih berharga dai kata-kata (Kis 4:33, 5:12). Dalam konteks modern disamping semua alat-alat komunikasi digital, komunikasi inter-personal melalui kesaksian barangkali lebih kuat untuk mencari orang-orang yang berada di sekitar kita. “Bacaan harian dan pembahasan sabda Allah membuka jalan bagi keyakinan personal yang memungkinkan kita semua memberi kesaksian dalam hidup sehari-hari. Kita tidak harus berkontemplasi, atau mendengar, menbaca kitab suci, tetapi yang penting menyerupai Kristus dan menjadi pelaku sabda Allah.

 

Perencanaan Pastoral dalam Masyarakat Digital

Agar supaya perencanaan pastoral dalam masyarakat digital cepat terencana, pemimpin Gereja harus mempunyai keyakinan dalam mengartikan komunikasi sosial dan pengetahuan yang pantas pada media itu sendiri. Dalam dokumen vatikan tentang etika komunikasi dikatakan, “Gereja akan lebih baik dilayani jika mereka yang memegang jabatan dan yang melakukan fungsi di dalamnya menerima pendidikan komunikasi. Pendidikan itu bukan hanya untuk seminaris, pembina anggota komunitas religius, dan penyair muda katolik, tetapi untuk semua umat gereja”. Ketika pemimpin gereja menerima sarana dan menggunakan sabda digital, orang akan dilayani lebih baik dan menuntun mereka untuk menerima sabda Allah dan iman mereka berkembang. Para pastor, pendidik, orangtua, kaum muda dan semua orang harus mau membuat rencana pastoral untuk mewartakan wahyu Allah dalam sabda digital ini. Kristus adalah figur dan teladan atas komunikasi kita seperti communio et progressio, Yesus sebagai “pewarta yang sempurna”.

Paus Yohannes Paulus II dalam kotbahnya pada hari komunikasi yang ke-35 tahun 2001 yang dialamatkan untuk kita semua, berharap:

Marilah kita mengingat kata-kata Yesus pada murid-murid-Nya: “Apa yang kukatakan padamu dalam gelap, katakan itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan dalam telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah” (Mt 10:27). Dalam relung hati, kita mendengar kebenaran Yesus; maka kita harus menyatakan kebenaran itu dari atas atap rumah. Dalam kehidupan sehari-hari, atap rumah hampir selalu ditandai oleh pemancar dan antena yang menerima dan mengirimkan berita sampai pada empat sudut dunia. Hal itu sangat penting untuk menjamin bahwa sabda Allah didengar. Memberitakan iman dari atap rumah berarti memberitakan Sabda Yesus dalam dan melalui dunia komunikasi yang dinamis.

 

 

 

MEMBELA IMAN AKAN ALLAH TRITUNGGAL

Hantaran Awal

 Rumusan baku Gereja tentang Trinitas (Allah Tritunggal), sebagaimana sekarang ini, tidak terjadi begitu saja: butuh proses yang panjang dalam perjalanan sejarah Gereja. Gereja berkembang dan bertumbuh dalam sejarahnya.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru sendiri sebenarnya ’tidak ada’ eksplisit ajaran tentang Allah Tritunggal. Hal ini tidak mengherankan sebab pada umumnya kitab suci Perjanjian Baru kurang bermaksud menyampaikan ajaran tertentu. Tujuan utamanya adalah memaklumkan Kerajaan Allah. Namun, akar-akar ajaran Trinitas dapat ditemukan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tersebut. Akar-akar ajaran Trinitas itu bisa dipahami demikian.

Allah Perjanjian Baru adalah Allah Yang Esa. Lingkungan agama kristiani yang asali, yaitu agama Yahudi, amat ketat monoteismenya. Berlawanan dengan politeisme yang dianut oleh bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal YHWH. Monoteisme dipeluk bersama-sama oleh orang Kristen dan orang Yahudi meskipun pemahaman yang berbeda-beda.

Selain percaya akan Allah dalam arti YHWH, Allah Abraham dan Allah Ishak, orang Kristen juga percaya akan Yesus Kristus. Berkat terjadinya peristiwa Yesus dalam sejarah umat manusia, kita diperkenalkan dengan misteri Trinitas. Bisa dikatakan bahwa setelah Yesus dari Nazareth hilang dari panggung sejarah mulailah berkembang sesuatu yang boleh diistilahkan sebagai “kristologi”. Mereka yang dahulu menjadi pengikut Yesus mulai memikirkan, mengkonseptualkan dan membahasakan Yesus dan pengalaman mereka dengan Yesus. Kesadaran akan situasi itu hanya bisa menimbulkan rasa kagum atas prestasi teologis yang menjadi jasa unggul dua-tiga generasi kristen pertama seperti yang tercantum dalam karangan-karangan Perjanjian Baru.

Kita semua tahu: iman para murid berakar dalam peristiwa kebangkitan. Yesus yang telah bangkit itu dikenal sebagai Anak Allah (Rm 1:4). Hanya dalam rangka kepercayaan akan Allah, Sang Bapa, maka pengakuan iman akan Yesus itu memperoleh bobotnya.

Kristus yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa itu diyakini sebagai Juru Selamat yang bersatu dengan Bapa secara tak terpisahkan dan tak terbandingkan, dan dengan cara itu juga menjadi gambar Allah (2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dalam diri Yesuslah, Logos ilahi yang pada awal mula bersama-sama dengan Allah telah menjelma menjadi manusia. Dengan demikian ditegaskan di sini bahwa Yesus Kristus itu pra-ada: Ia sudah ada sebelum Ia di bumi ini (Yoh 1:1-18). Juga beberapa teks lain menyebutkan atau mengandaikan pra-eksistensi Kristus itu (Flp 2:5-11; Rm 8:32; 2 Kor 8:9). Pelbagai pengarang Perjanjian Baru berpikir tentang Yesus sebagai Allah, tanpa melepaskan keyakinan bahwa Yesus pun seorang manusia sejati.

Pemahaman akan Kristus yang sedang berkembang dalam umat purba itu ditentukan juga oleh Roh Kudus sebagai nilai pengalaman yang lain di samping Bapa. Roh hanya dapat didekati melalui Kristus, dan Kristus melalui Roh. Maka, Roh Kudus tidak dapat disamakan dengan Bapa maupun dengan Putera. Menyadari bahwa dalam ketiga nama ilahi termaktublah seluruh tindakan penyelamatan, Paulus merumuskan ucapan berkah: ”Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor 13:13).

Dalam tulisan lain Perjanjian Baru masih terdapat beberapa teks lain yang menyebutkan triade Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dalam arti yang ketat, rumus ini memang belum dapat dikatakan ”trinitaris” karena ketiga nama itu hanya dideretkan saja tanpa merefleksikan keesaan Allah. Juga Ef 4:4-6 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut walaupun menekankan kata ”satu”: orang kristen percaya akan satu Allah, bukan tiga allah. Begitu pula perintah untuk membaptis dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat 28:19) tidak memaksudkan tiga nama melainkan satu, sebagaimana tampak dari bentuk tunggal dari kata Yunani onoma (nama). Pengakuan akan Allah yang satu itu rupanya tidak menghindari Santo Paulus untuk juga mengakui Tuhan yang satu (1Kor 8:6;bdk. Gal 3:20; 1Tim 2:5) dan Roh yang satu (1Kor 12:11-13).

Bapa: Sumber Keilahian

 

Allah berada dalam “hierarki asal-usul” (Hierarchy of origin): Bapa sebagai sumber keilahian, dari pada-Nya dilahirkan Putera dan Roh Kudus. Dalam karya teologisnya yang terbesar, “De Principiis” (Prinsip-prinsip yang Pertama), Origenes memulai pernyataan dengan mengatakan bahwa Allah adalah roh. Ia adalah cahaya. Mata kita, bagaimanapun, tidak akan dapat melihat kodrat cahaya Allah. Namun, sedikit saja dari cahaya itu dapat menerangi tubuh kita yang fana.

Dalam diri orang-orang Kudus, Allah berkarya secara nyata. Dan, hal ini menunjukkan bahwa Allah itu tidak memiliki tubuh, tetapi Ia hadir dan menjiwai orang-orang kudus tersebut. Allah dikatakan roh untuk membedakan Allah dari makhluk-makhuk yang bertubuh. Dan Yesus menamai Allah kebenaran untuk membedakan-Nya dari bayang-bayang dan gambaran hampa.

Allah sendiri tidak dilahirkan (agennetos). Ia bebas dari segala materi. Oleh karena itu, Origenes sangat tegas menghindari gambaran dan pemahaman-pemahaman antropomorfisme yang dialamatkan kepada Allah. Allah tidak bisa dipikirkan sebagai Dia yang memiliki tubuh atau makhluk yang bertubuh, tetapi suatu kodrat intelektual saja (simplex intellectualis natura). Di dalam Dia tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang tetapi segala-galanya sempurna. Dia adalah permulaan segala sesuatu.

Putera sebagai ‘Deuteros Theos’ dan Pengantara

 

Putera dilahirkan dari keabadian dan menjadi pengantara antara Allah dan dunia. Menurut Origenes, kelahiran Putera dapat dibandingkan dengan Hikmat sebagaimana terdapat dalam Ams 8:22-25, “TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada. Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, sebelum ada sumber-sumber yang sarat dengan air. Sebelum gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit aku telah lahir.” Hal ini juga terdapat dalam tulisan pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, “tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor 1:24).

Pemikiran Origenes tentang Putera sebagai Hikmat Ilahi ini sebenarnya sudah lazim dalam tradisi Kristen-Yunani. Firman itu sezat dengan Allah yang satu dan esa. Tidak terlalu jelas bagaimana Origenes memikirkan relasi antara Firman/Hikmat ilahi dan Allah. Origenes untuk pertama kalinya dalam rangka kristologi memakai istilah “homo-ousios”, yang sebenarnya merupakan istilah yang sudah lama ada dalam kaum gnostisisme. Maka Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah. Rupanya Firman itu dipikirkan sebagai semacam ‘emanasi’ (kekal) dari Allah. Hal ini melatarbelakangi mengapa Origenes menyebut Firman itu sebagai “Allah kedua (deutheros Theos)”.

Firman itu adalah Pengantara, melalui Dia Allah menciptakan segala sesuatu. Tetapi penciptaan itu terjadi dalam dua tahap. Firman Allah, ialah Hikmat dan gambaran-Nya mengandung di dalam diri-Nya segala cita-cita makhluk. Lalu dalam langkah pertama diciptakan dunia rohani, yang terdiri atas cita-cita, gambaran-gambaran, bagan segala makhluk. Itulah tingkat tengah kosmos. Akhirnya menurut gambaran-gambaran itu tingkat bawah dijadikan.

Firman/Anak Allah yang pra-eksisten itu benar-benar menjadi manusia, secara utuh-lengkap, serupa dengan manusia lain. Origenes menekankan bahwa pada Yesus Kristus ada ”dua kodrat”, yang ilahi dan manusiawi. Kedua kodrat itu dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan demikian Firman/Anak Allah ”menghampakan diri” dan Ia serentak Allah (Ilahi) dan manusia. Origenes menerima apa yang disebut ”communicatio ideomatum”, artinya: dua rangkaian ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga subjek itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai subjek yang sama.

Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia, menyelamatkan seluruh manusia. Origenes mengulang dan memperuncing prinsip karya penyelamatan yang menegaskan: apa yang tidak dipersatukan dengan Firman, tidak diselamatkan pula. Dalam rangka komentarnya atas Roma 3:8 Origenes dengan panjang lebar menguraikan tradisi yang mengartikan kematian Yesus di salib sebagai korban pemulihan dan penyilih dosa, korban pendamaian. Dosa-dosa manusia menuntut penyilihan dan pemulihan. Dan Kristus dengan rela dan sebagai pengganti orang berdosa dan Imam besar menawarkan diri menjadi korban pendamaian.

Roh-Kudus sebagai Pengudus (Sanctifier)

 

            Allah, dengan cinta yang besar, menciptakan Roh-Kudus dengan perantaraan Logos (Sabda). Maka hubungan Roh-Kudus dan Putera terutama sangat erat bagaikan kesatuan tubuh dan jiwa (seperti bara api dan api).

            Roh-Kudus berfungsi sebagai Pengudus. Ia memberi kekuatan dan menguduskan orang-orang pilihannya untuk memberi kesaksian seperti pengalaman Daniel yang mampu meramalkan mimpi Raja Nebukadnezar, ”Pada akhirnya Daniel datang menghadap aku, yakni Daniel yang dinamai Beltsazar menurut nama dewaku, dan yang penuh dengan roh para dewa yang kudus” (Dan 4:8). Ia memberi inspirasi bagi para penulis Kitab Suci.

Roh dicurahkan hanya pada mereka yang ikut ambil bagian dalam perjalanan pendidikan ilahi demi penyempurnaan dan pengilahian, dan pada akhirnya dibentuk menjadi Anak Allah. Orang yang dicurahi Roh itu tampak dari perbuatan etis dan asketisnya. Hanya manusia yang dicurahi oleh Roh-lah dimampukan oleh Roh untuk menerima Kristus dan mengkontemplasikan Allah, demikian hanya Dia berhasil memahami dimensi spiritual yang mendalam dari Kitab Suci.

Dalam Perjanjian Baru, diceritakan bahwa Roh-Kudus turun ke atas Yesus setelah pembaptisan. Hal yang sama terjadi ketika pembaptisan di dalam Kisah Para Rasul, ” Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus. Ketika Simon melihat, bahwa pemberian Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu menumpangkan tangannya, ia menawarkan uang kepada mereka” (Kis 8:16-18). Yesus sendiri pun pada akhirnya menghembusi para murid-Nya dengan Roh-Kudus, ”Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus …” (Yoh 20:22). Paulus mengatakan bahwa pengakuan kita atas siapa Yesus itu adalah karunia Roh-Kudus yang berkarya dalam diri kita, ” Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: “Terkutuklah Yesus!” dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus (1Kor 12:3).

Karena bantuan Roh-Kudus, kita bisa mengenal siapa Bapa. Karya Bapa dan Putera dalam segala makhluk terjadi karena kekuatan Roh-Kudus. Trinitas dipersatukan oleh Roh-Cinta, yakni Roh-Kudus sehingga setiap orang dituntun untuk hidup yang lebih baik. Roh Allah itu berkarya baik dalam diri orang-orang berdosa maupun dalam diri orang-orang kudus.

Penutup: Membela Iman Trinitas: Percaya kepada Satu Allah, Tiga Pribadi

Persoalan Trinitaris pada prinsipnya adalah bahwa Allah itu satu mono + theis): satu substansi Ilahi yang mempunyai tida pribadi (Bapa, Putera dan Roh-Kudus). Tiga pribadi itu memang berbeda tetapi tida berbeda secara terputus. Maka, persoalan utama bukan unitas-multisitas (cenderung modalistik), melainkan unisitas-unitas (persekutuan dan kesatuan/relasi atau kesatuan yang ke-tiga-an). Allah itu satu dengan tiga hypostasis/triade: Bapa, Putera, dan Roh-Kudus. Namun, masing-masing pribadi memiliki kekhasan: Bapa sebagai sumber keilahian, Putera sebagai Pengantara, dan Roh-Kudus sebagai Pengudus.

Dalam buku ”Iman Katolik” diungkapkan bahwa iman kita itu esa tetapi tidak serta merta mengatakan bahwa pribadi Trinitas itu sama saja: ”Iman Kristen mengakui ”Allah itu esa”, tetapi ”esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim 2:4). ”Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh14:6). Yesus tidak hanya memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, melainkan juga ”di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya” (Ef 3:12).Iman akan Allah yang mahaesa dihayati dalam Kristus dan oleh Roh-Kudus. Sebagaimana Allah mendatangi kita dalam Kristus, begitu kita pun menghadap Allah dalam Kristus dan mengakui Dia sebagai ”Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (2 Kor 1:3). Maka, bersama dengan Yesus Kristus kita mengakui bahwa ”Tuhan itu esa” (Mrk12:29). Sekaligus kita mengakui Yesus Kristus sebagai Dia ”yang dikuduskan Bapa dan diutus ke dalam dunia” (Yoh 10:36). Orang yang      percaya kepada Yesus sebetulnya tidak percaya kepada Yesus saja, melainkan juga kepada Dia yang mengutus Yesus (bdk. Yoh 12:44). Oleh karena anugerah Roh-Kudus, dalam kesatuan dengan Kristus, orang beriman Kristen percaya kepada Allah Yang Maha Esa.

POTRET GEREJA MENURUT INJIL MATIUS

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penulisan dan Pembatasan Masalah
Dalam keindahan sebuah karya seni (entah seni musik, seni patung, seni pahat, seni lukis, dll) ditampilkan keindahan diri sang seniman. Secara filosofis, phenomen seni (bunyi harmoni, visual-estetik, kolaborasi warna, dll) menampakkan noumenon sang seniman itu sendiri. Ke-diri-an seniman yang abstrak terwejantahkan dalam karyanya yang konkrit.
Jika seorang pemahat menyelesaikan patung batunya maka idea pemahat itulah yang real. Idea itu menyatakan diri dalam bentuk patung. Jadi, patung itu bukan batu berbentuk patung melainkan idea berbentuk patung batu. Dengan kata lain, idea pemahat mem-batu.

Apa yang mau dikatakan ialah bahwa sebuah karya (seni, sastera, arsistektur, dll) tidak pernah ada begitu saja. Ia selalu ada yang terkait dengan sebuah intensi tertentu. Dan intensi itu tidak tanpa dasar, selalu ada latar belakang di baliknya: situasi-kondisi, nilai, makna, dan tujuan tertentu.
Hal senada hampir dapat dikatakan mengenai tulisan-tulisan (‘karya’) dalam Kitab Suci baik Perjanjian Lama pun Perjanjian Baru. Setiap pengarang Kitab Suci menuliskan pengalaman mereka akan Allah di bawah naungan Roh-Kudus tidak tanpa intensi dan latar belakang konteks tertentu. Mereka digerakkan oleh Roh Allah untuk menuliskan bagaimana keterlibatan Allah dalam hidup mereka dan masyarakat sekitarnya. Allah itu dialami sebagai Allah yang aktif dan berinisiatif menyapa manusia dalam setiap pengalaman hidupnya. Allah yang senantiasa peduli terhadap nasib manusia dan seluruh citaannya. Ia bukan seperti tukang arloji yang setelah membuat arloji itu, kemudian membiarkannya begitu saja.
Judul tulisan ini sengaja dibuat “Potret Gereja dalam Injil Matius.” Mau disampaikan dan digali bagaimana Gereja Matius mengalami keterlibatan Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus (inkarnasi) dalam konteks pengalaman hidup mereka. Inilah yang menjadi latar belakang penulisan paper ini. Judul ini sekaligus membatasi pembahasan hanya dalam Injil Matius sebab ‘wajah Yesus’ dialami begitu kaya dalam seluruh Injil dan tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya lewat tradisi masing-masing. ‘Wajah dan gambaran akan Yesus’ itu adalah jawaban terhadap pengalaman hidup para murid baik pria pun wanita.
Dalam tradisi Injil sinoptik saja wajah Yesus sekaligus potret Gereja dilukiskan begitu kaya. Kita akan melihat sejenak.
 Injil Markus: Injil Markus ditulis sebagai respons bagi penderitaan dan penganiayaan dari otoritas Roma. Untuk itu Markus memberi tuntunan dan meyakinkan banyak Gereja yang berada di bawah tekanan di seluruh dunia. Oleh karena itu, Ia menampilkan potret Yesus (jawaban Gereja) sebagai Messiah yang menderita.
 Injil Lukas: Gereja Lukas adalah komunitas yang mencari tempat dalam sejarah keselamatan dan dalam dunia kekaisaran Roma. Maka Lukas, dengan melihat latar belakang konteks hidup jemaat menampilkan potret Yesus sebagai nabi dan teladan.
 Injil Matius: Gereja Matius adalah Gereja yang ingin mendefinisikan diri mereka dengan hormat pada akar dan rival mereka yakni Yahudi. Maka Matius berkepentingan menampilkan potret Yesus sebagai Guru yang otoritatif, Penafsir ulung tradisi Yahudi. Demonstrasi ke-messias-an Yesus ditampilkan melalui nubuat-nubuat Perjanjian Lama, baik lewat ramalan maupun lewat penggambaran prototipe. Dengan demikian, bila nubuat-nubuat Perjanjian Lama dibaca maka akan tertemukanlah bahwa nubuat-nubuat itu terpenuhi dalam Yesus Kristus sebagai Mesias.
Kendati berbeda-beda soal pengungkapan dan situasi jemaat, ketiga Injil Sinoptik itu sama dalam hal: mereka kembali kepada pribadi Yesus sebagai solusi atas setiap permasalahan hidup mereka. Yesus menjadi sentral.

2. Tujuan Penulisan
Hakikat dan paham Gereja sangat kompleks. Kekayaan definisi dan teologi mengenai Gereja yang ada sekarang tidak terjadi begitu saja. Ia datang dan berasal dari proses yang berlangsung lama dalam perjalanan sejarah. Kekinian Gereja tidak terlepas dari pengalaman Gereja sejak awal keberadaannya dan akan membentuk citra Gereja di masa depan. Tiga dimensi itu: masa lalu, masa kini, dan masa depan terangkul secara erat.
Sejauh mana kebijaksanaan dan kesaksian orang-orang Kristen purba mengajari kita mengenai paham Gereja pada zaman ini, itulah yang menjadi tujuan penulisan paper ini (ditunjukkan pada bab III). Dalam hal inilah, penulis membatasi diri pada Injil Matius mewakili salah satu dari tradisi kristen awal. Tujuan penulisan ini hendak dilihat dalam cara pembahasan yang biasa disebut “window reading (membaca jendela)”
Akhirnya, paper ini juga dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan mata kuliah “Seminar dengan disiplin ilmu teologi” di STFT St. Yohanes, Pematangsiantar.

3. Kerangka Teoritis
Bab I (Pendahuluan), yang mengawali paper ini, menguraikan latar belakang penulisan, tujuan, kerangka teoritis, dan metodologi.
Bab II berisi hantaran singkat seputar Injil Matius: soal pengarang, waktu dan tempat penulisan, dan sidang pembaca.
Bab III adalah inti tulisan ini. Ditampilkan potret Gereja Matius. Setelah itu (masih dalam bab III) semacam review atas ‘potret’ itu, Gereja Matius dilihat dalam kacamata panca tugas Gereja.
Bab IV merupakan bab penutup. Bab ini merangkum kembali pembicaraan kita. Dan terakhir sekali sebagai langkah konstruktif-progresif satu pembahasan terkait dengan bagaimana dialog Kristen dan Yahudi dalam Injil Matius yang diklaim ‘anti-semitis’ itu.

4. Metodologi Penulisan
Metode penulisan yang ditempuh adalah metode kepustakaan (library Research). Inspirasi awal tulisan ini digali dalam pertemuan kelompok dari buku: Daniel J. Harrington, THE CHURCH According to The New Testament What The Wisdom & Witness of Early Christianity Teach Us Today (Chicago: Sheed & Ward Franklin, 2001). Maka tokoh Daniel J. Harrington, SJ, menjadi sangat penting di samping penulis-penulis lainnya. Usaha cemerlang yang memberi titik cerah bagi tulisan ini ialah dengan adanya 3 buah buku/tulisan karangan Daniel J. Harrington, SJ, tentang Injil Matius untuk menunjang ide tulisan ini.

BAB II

HANTARAN SINGKAT SEPUTAR INJIL MATIUS

Pengarang
Hal yang tidak pernah diragukan dalam sejarah Gereja kuno ialah bahwa Matius yang dimaksud penulis Injil adalah Matius pemungut pajak (Mt.9:9-13). Kiranya ia adalah seorang pegawai dari Raja Herodes Antipas. Ia berkarya di sekitar Kapernaum dan mengatur perpajakan di sana. Ini diperkuat dengan data interna dimana penulis tahu sedikit soal uang (Mat.38.8.22.2, Mat.17:24, dll).

Waktu dan Tempat Penulisan
Satu-satunya penulis kuno yang memberikan kesaksian tentang waktu penulisan Injil adalah Ireneus. Matius menulis pada waktu Petrus dan Paulus berkarya di Roma. Dari data interna diketahui bahwa Injil ditulis sesudah keruntuhan Bait Allah Yerusalem (Mat.22:6). Maka tahun penulisan Injil ditaksir tahun 70-85 AD. Injil Matius mendapat bentuknya yang terakhir barangkali di Antiokhia di Syria.

Sidang Pembaca
Jika Matius menulis suratnya setelah tahun 70 AD, tulisan itu harus dipahami sebagai respons atas krisis yang dihadapi masyarakat setempat terkait dengan penghancuran Bait Allah Yerusalem. Atas dasar ini, dan lagi karena teks sendiri sangat berbau Yahudi maka Injil ditulis untuk meneguhkan jemaat Kristen-Yahudi di Palestina dan di luar Palestina.

BAB III
POTRET GEREJA DALAM INJIL MATIUS

A. Kekhasan Injil Matius
1. Injil Gerejawi
Injil Matius sering kali disebut Injil gerejawi. Sebutan ini diberikan karena Matius adalah satu-satunya penginjil yang menggunakan kata ‘gereja’ (=ekklesia, jemaat) dalam Injilnya (16:18; 18:17).
Selain itu, dengan berbagai cara, Matius menampilkan gambaran Gereja yang jelas. Ciri gerejawi tersebut dapat dilihat dari Injil itu sendiri: bahan-bahannya, penyusunannya, dan redaksinya. Ada beberapa bahan yang sangat gerejawi yang hanya dimiliki Matius. Dapat disebut misalnya peristiwa Yesus menyelamatkan Petrus yang tenggelam ketika berjalan di atas air (14:28-31), pengakuan Petrus dan janji Yesus menyusul pengakuan itu (16:18-19), pembayaran bea untuk Bait Allah (17:24-27).
Selain bahan, penyusunan bahan juga menunjukkan minat gerejawi Matius; khotbah programmatis berisi pernyataan Kerajaan Sorga (Mat.5-7), perutusan para murid untuk mewartakan Kerajaan Sorga (Mat.10), perumpamaan-perumpamaan yang menyatakan rahasia Kerajaan Sorga (Mat.13), khotbah gerejawi dimana ditunjukkan bahwa Gereja adalah perwujudan Kerajaan Sorga meski tidak identik dengannya (Mat.18), khotbah tentang akhir zaman saat kepenuhan Kerajaan Sorga (Mat. 24-25).
Redaksi bahan juga menunjukkan minat yang sama. Kalau dibandingkan misalnya dua teks sejajar Mat.18:12-14 // Luk.15:3-7 (Perumpamaan tentang domba yang hilang), maka akan tampaklah nada gerejawi Matius yang sangat kentara. Sementara Lukas menekankan kegembiraan karena yang dicari ditemukan, Matius menekankan pencarian domba yang sesat. Sementara Lukas mau menunjukkan hati Allah: kegembiraan dalam mengampuni, Matius mau menunjukkan apa tugas pemimpin dalam Gereja yakni memperhatikan yang lemah. Dan, sementara Lukas membela kebaikan hati Yesus terhadap para pendosa, Matius menunjukkan “peraturan” bagi para rasul.

2. Gereja Kristen berciri yahudiah
Ciri Yahudi pertama-tama tampak dalam gambaran mengenai pribadi Yesus. Yesus Kristus yang mendirikan Gereja (16:18) adalah Penyelamat yang dijanjikan kepada Israel. Untuk menunjukkan hal ini, Matius sangat banyak menggunakan Perjanjian Lama dalam menggambarkan hidup Yesus dari awal sampai akhir.
Yesus ‘berasal’ dari Perjanjian Lama sekaligus melampauinya
Matius bersusah payah menunjukkan bagaimana peristiwa tertentu dalam kehidupan Yesus memenuhi nubuat-nubuat Perjanjian Lama. Melalui kisah sengsara dan kematian Yesus, Matius meyakinkan kita bahwa peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu sesuai dengan kehendak Allah seperti diungkapkan dalam Perjanjian Lama. Jati diri Yesus ditemukan dalam ungkapan-ungkapan yang mempunyai latar belakang kenyataan dalam Perjanjian Lama.
Gelar yang paling kerap digunakan adalah Anak Manusia dan Anak Allah. Anak Manusia mencerminkan cara Yesus menyebut diriNya sendiri dan barangkali mempunyai hubungan dengan tokoh surgawi dalam kitab Daniel (“Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya.” – Dan. 7:13). Anak Allah digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menyebut raja (“Aku mau menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini. Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu.” – Mzm. 2:7-8). Hal itu menunjukkan keintiman relasi Yesus dengan Bapa. Yesus memanggil “Bapaku”.
Namun, jika diterapkan kepada Yesus, sebutan-sebutan itu menerima makna baru dan jauh melampaui pemaknaannya dalam Perjanjian Lama. Yesus adalah Musa baru yang membawa pembebasan yang sejati dan memaklumkan hukum baru. Bagi Matius, hukum Musa tetap berlaku tetapi disempurnakan oleh Kristus karena Ia adalah penafsir ulung yang mempunyai kuasa atas tradisi Yahudi (“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” – Mat. 5:17-18).
Sepintas mengenai Yudaisme
Yudaisme boleh dikatakan sebagai ‘agama Yahudi’ walaupun pengartian itu sebetulnya baru dipakai mulai abad pertengahan ketika orang Yahudi mulai membandingkan diri dengan agama Islam dan agama Kristiani. Dengan kata Yudaisme terutama dimaksudkan agama Yahudi dalam periode “hellenisme” (kebudayaan Yunani) tahun 400 sebM-200M. Tetapi akar-akarnya sudah ada dalam zaman Ezra dan Nehemia.
Menurut tradisi yang dapat dipercaya, Ezra atau Esdras dalam bahasa Yunani, membuat semacam kode etik sosial yahudiah sekitar tahun 400 SM. Dia tinggal di Babilonia dan menjadi spesialis dalam masalah-masalah Yahudi pada pemerintahan Persia-Tengah. Oleh karena itulah, Ezra disebut “Bapa Yudaisme.” Dan, pada hari dia membacakan Taurat di Yerusalem di hadapan banyak orang, hari itu disebut “hari kelahiran” Yudaisme.
Setelah melihat bagaimana ‘terbentuknya’ Yudaisme, perlulah juga melihat bagaimana peran Bait Allah dalam kehidupan bangsa Israel. Dalam kehidupan rohani bangsa Israel, Bait Allah mendapat tempat yang sangat khusus. Memang dalam Perjanjian Lama ada dua sikap terhadap Bait Allah. Pertama, Bait Allah dilihat sebagai simbol kehadiran YHWH maka Bait Allah adalah suatu institusi seperti kerajaan, imamat, dalam mana terkandung pemenuhan mesianis. Kedua, Bait Allah dilihat bukan pemenuhan mesianis tetapi justru hilangnya pemenuhan itu (bdk. Nabi Yeremia dan Mikha). Mirip dengan sikap dan pandangan Perjanjian Lama, dalam Perjanjian Baru pun kita temui sikap dan pandangan yang tidak jauh berbeda. Di satu pihak Bait Allah tetap merupakan bagian inti dari peribadatan dan keagamaan bangsa Yahudi pada waktu Yesus hidup. Namun di lain pihak, kelompok Esseni kuat menolak ibadat Bait Allah. Mereka mengklaim diri sebagai Israel yang benar dan memaklumkan bahwa ibadat di sana tidak benar lagi.
Pada tahun 66 M terjadi pemberontakan Yahudi terhadap penjajah Roma. Namun, di bawah jenderal Roma, Titus, Bait Allah Yerusalem berhasil dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70. bagaimana Bait Allah itu sampai dihancurkan dilukiskan dengan sangat baik oleh Josephus dalam karyanya Perang Yahudi (Jews War). Menurut interpretasi Josephus sendiri atas Perang Yahudi tahun 66-70 ditandaskan bahwa tanggungjawab penghancuran Bait Allah Yerusalem terletak pada pemimpin faksi Yahudi sendiri, bukan pada tentara-tentara Roma.
Dengan hancurnya Bait Allah Yerusalem, sentral dan institusi yang mempersatukan penganut Yudaisme tiba-tiba tidak ada lagi. Kelompok-kelompok yang mengikatkan keberadaannya dengan Bait Allah dengan sendirinya juga kehilangan tempat berpijak bagi imannya. Bagaimana masa depan Yudaisme sendiri? Pertanyaan itulah yang dihadapi oleh orang-orang Yahudi pada akhir abad pertama.
Sejalan dengan itu bermunculanlah kelompok-kelompok tertentu sebagai tanggapan terhadap situasi ini, di antaranya: kelompok apokaliptik, kelompok rabbinic awal, dan Kristen Yahudi (diwakili oleh Matius). Kita akan melihat satu per satu.
Tanggapan kelompok apokaliptik terhadap penghancuran Bait Allah Yerusalem tahun 70 diungkapkan dalam 4 Ezra dan 2 Barukh, dua kitab apokaliptik yang ditulis di Palestina pada akhir abad pertama atau awal abad kedua. Meskipun setting literatur untuk kedua apokaliptik itu adalah abad ke-6 BC yakni penghancuran Yerusalem oleh tentara Babilonia, ada dugaan kuat bahwa mereka sungguh berbicara tentang penghancuran Yerusalem oleh tentara Roma pada tahun 70. Pertanyaan kedua tulisan itu adalah bagaimana mungkin Allah mengijinkan hal ini terjadi pada bangsa pilihannya, Israel?
Apokalipsis Ezra (4 Ezra 3-14; 1-2, 15-16 adalah tambahan kemudian) berlatar belakang peristiwa tahun 70: “tempat kudus kami telah dinodai, altar telah dicampakkan, kuli kami telah dirusak. (10:21)”; “Sion, ibu kita semua sedang meratap dan dirandahkan. (10:7).”
Setting dan waktu penulisan 2 Baruch sama dengan 4 Ezra. Pertanyaan yang muncul adalah mengenai pilihan atas Israel dan kesetiaan Allah; “Masihkah Allah berkuasa dan setia pada janjinya?”
Pertanyaan-pertanyaan yang sama merupakan perhatian Matius. Ketika mendekati Yerusalem, Yesus dalam Injil Matius berkata: “Lihatlah rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi (23:38)” Tambahan Matius pada perumpamaan dalam 21:43 (“Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.”) dan 22:7-8 (Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka. Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu.) memberi keyakinan bahwa penolakan atas Yesus oleh sebagian umat Israel telah menjadi pemicu penghancuran Yerusalem dan baitnya pada tahun 70.
Jawaban lain terhadap penghancuran Bait Allah Yerusalem datang dari kelompok rabbinic awal. Gerakan rabbinic awal adalah koalisi dari sekte-sekte dan gerakan-gerakan dalam Yudaisme sebelum tahun 70. Sebelum tahun 70, Bait Allah, tanah, dan Torah adalah pemersatu penganut Yudaisme di Palestina yang mengijinkan sekte-sekte dan gerakan-gerakan yang banyak untuk hidup bersama. Setelah Bait Allah hancur dan tanah dikuasai oleh Roma, tinggal satu harta lagi yang bertahan, Torah. Tantangan bagi para pendiri gerakan rabbinic adalah membentuk Yudaisme yang tetap setia pada tradisi sambil beradaptasi dengan situasi yang mereka hadapi. Dalam hal ini, komunitas Yahudi Kristen menjadi rival mereka. Setelah tahun 70, sekelompok terpelajar yang setia kepada Yahudi muncul. Mereka disejajarkan dengan “rabbi” dan “guru bijaksana.” Mereka berpusat di Yavneh (juga disebut Yamnia) dekat pantai Mediterania. Pemimpin mereka yang pertama adalah Yohanan ben Zakkai. Berikutnya, Gamaliel II (barangkali cucu lelaki dari Gamaliel yang disebut dalam Kis. 5:34; 22:3). Sekarang tanpa Bait Allah dan kuasa politis, rabbi awal ini menekankan studi mendalam atas Torah dan membangun penafsiran mendalam untuk menuntun kehidupan Yahudi.
Gereja Matius berhadapan dengan Yudaisme Resmi
Kita telah melihat bagaimana Yerusalem dengan kenisahnya dihancurkan oleh tentara Roma. Beribu-ribu orang Yahudi dibunuh atau dijual sebagai budak. Juga telah kita lihat bagaimana orang-orang Farisi, termasuk Yohanan ben Zakai, berhasil melarikan diri dan kemudian menetap di Yamnia. Selanjutnya tempat ini menjadi tempat pengungsian mereka yang luput dari malapetaka tahun 70 itu. Di sana mereka mendirikan pusat baru kehidupan Yahudi. Tempat ini sangat menentukan bagi kelangsungan Yudaisme karena setelah Bait Allah hancur institusi pemersatu bukan lagi Bait Allah atau kuasa politis tetapi berpegang pada Torah. Salah satu hal yang sangat menentukan di Yamnia adalah penentuan kanon Kitab Suci yakni daftar buku yang diterima sebagai patokan iman Yahudi.
Pada mulanya orang-orang Kristen masih beribadat bersama dengan orang Yahudi (13:54). Namun, lama kelamaan mereka menyadari diri berbeda dari orang-orang Yahudi karena kepercayaan kepada Kristus yang bangkit. Merekapun ditolak oleh orang-orang Yahudi non-Kristen karena pewartaan mereka atas iman akan Kristus yang bangkit. Agar orang-orang Kristen tidak datang lagi dalam ibadat Yahudi, ditambahkanlah satu doa khusus untuk orang-orang Kristen dalam doa Delapan Belas Berkat. Tambahan itu disebut Birkat-Ham-minim yang pada pembukaan berisi: “Semoga para pemfitnah tumpas harapannya; semoga orang yang berhati dengki dibinasakan dan musuh-musuhMu dihancurkan…” Yang dimaksud pemfitnah, berhati dengki dan musuh adalah orang-orang Kristen. Maka dapat dimengerti kalau orang Kristen tidak datang lagi ke tempat ibadat Yahudi.

3. Gereja dengan Tugas Perutusan Universal
Kata Yunani ekklesia (ek + kalein = memanggil keluar) yang merupakan akar kata Gereja menunjukkan bahwa bermisi adalah hakikat Gereja itu sendiri. Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Maka Gereja juga dipanggil “bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia…. Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatNya yang beriman dan kepada seluruh dunia, manakah hakikat dan perutusannya bagi semua orang.”
Hampir senada dengan ini, Gereja Matius sejak awal diperkenalkan sebagai persekutuan yang terbuka bagi semua orang tanpa membedakan asal-usul dan keadaan orang. Keterbukaan itu tampak misalnya dalam silsilah Yesus. Selain nama-nama bapa bangsa dan keturunan Daud, secara mengejutkan terdapat nama Rut, Rakhab, Tamar dan isteri Uria. Rut adalah seorang wanita Moab yang menggabungkan diri dengan Israel melalui keluarga suaminya. Rakhab adalah seorang pelacur dari Yerikho yang hidupnya diselamatkan karena persekongkolan dengan mata-mata Yoshua. Tradisi yang menyatakan bahwa ia adalah ibu Bos hanya ditemukan dalam Injil Matius. Tamar berpura-pura menjadi pelacur dan mengandung anaknya Yehuda, ayah mertuanya (ay.38). Isteri Uria adalah Batsyeba; dengan cara yang memalukan, Raja Daud mengusahakan kematian suami Batsyeba dalam peperangan dan mengambil Batsyeba sebagai isterinya (2 Sam. 11). Pemunculan keempat wanita “yang tak biasa” ini juga mempersiapkan kelahiran Yesus yang mengejutkan, luar biasa, dan unik.
Panggilan orang-orang kafir dari Timur dan Barat untuk masuk ke dalam kerajaan sebagai ganti dari ahli waris (8:11-12), dan juga bahwa yang terdahulu menjadi yang terakhir (20:16) dan yang terakhir menjadi terdahulu menggarisbawahi gagasan keterbukaan universal Matius. Dalam kisah orang-orang Majus (2:1-12) sangat jelas bahwa akhirnya yang mengenal Sang Mesias adalah orang kafir, bukan orang Yahudi.
Gereja yang terbuka kepada siapa saja dengan misi universalnya senantiasa disertai oleh Kristus sebagai guru yang otoritatif. Hal itu tampak dari dua teks “inclusio” yang merupakan tiang penyangga Injil Matius: Mat. 1:23 & Mat. 28:20 Bila dalam Perjanjian Lama Allah menjanjikan kepada umatNya kehadiranNya yang melindungi mereka dengan kata-kata “Aku berada besertamu,” maka kini ‘Allah beserta kita – Emmanuel’; “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” — yang berarti: Allah menyertai kita (Mat.1:23)” Lalu pada perutusan para murid, Yesus memberi jaminan yang sama “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”(Mat.28:20). Penyertaan tuhan adalah penyertaan yang aktif dan efektif dalam Gereja yang berjuang untuk melaksanakan tugas perutusan sampai akhir zaman. Dengan demikian akhir zaman tidak lagi diartikan sebagai habisnya waktu melainkan kepenuhan waktu, kepenuhan kuasa Yesus sebagai Tuhan. Soal akhir zaman tidak lagi soal kapan akan terjadi tetapi menjadi tantangan bagi tugas perutusan Gereja. Dengan demikian jelaslah bahwa aspek kristologis Matius bermuara pada ekklesiologinya. Permenungan jemaat akan Kristus tidak dapat dipisahkan dari permenungan akan Gereja.

4. Gereja yang Mengalami Berbagai Kesulitan
Pemberontakan Yahudi yang meletus pada tahun 66 di Kaisarea disebabkan oleh buruknya pemerintahan Florus, wali negeri Roma kala itu. Di satu pihak, Orang Yahudi Kristen tetap mencintai negeri mereka sendiri. Rasa cinta akan tanah air ini tetap mereka miliki. Namun kecintaan mereka agak diragukan oleh orang-orang Yahudi Kristen lainnya karena misi mereka yakni kasih universal. Misi ini adalah ajaran Guru Otoritatif, Yesus Sang Nabi yang berjuang tanpa kekerasan. Amat kontras jika dibandingkan dengan kelompok Zelot yang merebut kemerdekaan dengan paksa, agresif dan ofensif. Kelompok ini merupakan kelompok bawah tanah.
Sudah sejak sebelum tahun 70 (saat penghancuran Yerusalem), orang-orang Kristen dari Yerusalem meninggalkan kota itu. Sebagian pergi dan menetap di Pella, daerah seberang Sungai Yordan. Sebagian lagi tersebar di Syria (4:24) atau menggabungkan diri dengan Gereja Antiokhia. Rupanya, jemaat-jemaat Hellenis di Syria menerima kelompok-kelompok kristen ini dengan tidak tanpa kesulitan. Penyesuaian dengan situasi-situasi baru mendatangkan kesulitan tersendiri. Kesulitan lain datang dari Orang-orang Yahudi sendiri (Yudaisme resmi). Di satu pihak Yudaisme adalah akar mereka tetapi serentak menjadi rival karena kepercayaan kepada Kristus. Mereka seolah-olah ‘kehilangan identitas’ karena Yesus sendiri sudah tidak ada lagi. Hukum yang dimaklumkan sudah berumur lebih dari 50 tahun. Sementara itu, para saksi mata dan murid-murid pertama sudah tidak ada lagi. Semangat Gereja awal pun mulai lemah dan cita-cita kesempurnaan hidup juga luntur (5:48; 19:21). Orang mengabdi baik Allah maupun uang )6:24). Dan yang paling menyedihkan, kasih menjadi dingin (24:12).
Hal-hal inilah yang mau ‘diantisipasi’ oleh Matius. Injil Matius hadir dengan menawarkan agar dibina semangat pelayanan. Gereja harus berusaha meningkatkan hidup moralnya. Dan, bahwa Gereja harus membenahi diri untuk menyongsong masa depan. Gereja Matius mempunyai tradisi yang sangat tua dan mapan, tetapi Gereja selalu membaharui diri sehingga dapat menjadi Gereja bagi dunia.

B. Potret Gereja Matius dalam Bingkai Pancatugas Gereja
Pada bagian ini, hendak ditunjukkan bahwa ide tentang Gereja yang terdapat dalam Injil Matius dapat dilihat dari sudut pandang Panca tugas Gereja yang akhir-akhir ini sudah akrab di telinga kita. Artinya, bahwa di dalam Gereja Matius sebagai salah satu tradisi kristen awali terdapat muatan aspek Panca tugas Gereja. Panca tugas Gereja yakni koinonia, diakonia, kerygma, martyria, & liturgi adalah penopang dinamika kehidupan Gereja sejak awal keberadaannya. Baik dahulu, pun sekarang, dan akan datang Gereja tetap hidup dalam bingkai Panca tugas Gereja itu.
Bagian ini (sebagaimana sudah dikatakan dalam kerangka teoritis) adalah ‘review’ dari ide-ide Gereja yang telah disebut di atas meski barangkali dengan pembahasaan yang sedikit berbeda tentu. Ide-ide yang telah dibicarakan tadi akan dilihat kembali dalam konteks Panca tugas Gereja.

a. Bidang Koinonia
Sebagai bagian dari generasi Kristen ke-2 atau ke-3, Matius menampilkan jemaat sebagai persekutuan di bawah pemimpin otoritatif, Yesus. Persekutuan itu memiliki tuntunan hidup. Tuntunan itu terutama terdapat pada bab 18 (yang terbesar adalah yang melayani, tata cara penyelesaian konflik, perhatian pada domba yang hilang, kawanan kecil, pengampunan dan kerendahan (humilitas). Matius tidak memiliki tiga tingkatan pelayanan (hierarki) seperti uskup, imam, dan diakon. Matius lebih suka memakai terminologi ‘pemimpin yang menuntun’ (educated leaders). Dengan kata lain, semua umat dilihat sebagai satu kesatuan, terlibat, dan senasib-sepenanggungan. Bukan menyamakan peran begitu saja. Anggota-anggota berpartisipasi dengan peran masing-masing; Rasul Petrus adalah primus interpares (10:2) yang ambil bagian dalam kepemimpinan Kristus sendiri.

b. Bidang diakonia
Gereja Matius adalah perpaduan orang kudus dan pendosa (simul iustus et peccator est, 13,36-43). Setiap orang dapat jatuh (bahkan Petrus sendiri, 26,69-75), para nabi dapat salah (7,15). Oleh karena itu, tidak ada istilah penguasa dan bawahan. Bahkan kekuasaan itu sendiri berbahaya. Untuk itu, para pemimpin membutuhkan kerendahan hati (humilitas) – 18:1-9. Setiap orang dipanggil untuk saling melayani seorang terhadap yang lain ‘…barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.(18:4).’

c. Bidang kerygma
Gereja Matius adalah Gereja yang universal, terbuka untuk siapa saja (soal keanggotaan) dan terbuka untuk pewartaan ke segala penjuru dunia (misi). Hal itu tampak dari perutusan Yesus kepada murid-muridNya ‘Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu (28:19-20a)’. Tugas perutusan itu memang berat tetapi Yesus memberi jaminan ‘Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.(28:20b).’ – lihat hlm. 10-11. Gaya apostolis dan misioner itu dilukiskan juga dengan indah dalam 9:36-11:1.

d. Bidang martyria
Gereja Matius lahir di bawah guru otoritatif, Yesus dengan latar belakang penghancuran Bait Allah Yerusalem. Sebagai ‘sekte baru’ dari agama Yahudi, mereka ditantang memberi kesaksian tentang iman mereka. Dan hal itu tidak gampang mengingat bahwa bagaimanapun agama Yahudi yang kini menjadi rival mereka adalah juga akar agama Kristen yang baru. Maka, jika Orang Yahudi tetap berpegang pada Torah, Gereja Matius lebih lagi. Bagi Gereja Matius, mereka yang selamat adalah yang percaya kepada Yesus.

e. Bidang Liturgi
Gereja Matius merayakan Yesus Kristus, guru mereka. Awalnya mereka tetap ikut dalam ibadat Yahudi. Namun lama kelamaan mereka sadar bahwa mereka berbeda dari agama Yahudi yang menjunjung tinggi Torah. Bagi mereka, Yesus adalah Guru dan sekaligus penafsir ulung atas Torah. Yesus tidak meniadakan Torah tetapi Ia menggenapi dan menyempurnakannya.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan
Setiap Injil Menceritakan kisah Yesus, secara khusus selama pelayanan publiknya, sengsara dan kematianNya. Dengan demikian, informasi mengenai Yesus historis juga mengenai situasi Gereja awal ditunjukkan kepada setiap pembaca.
Setiap tulisan Kitab Suci selalu muncul tidak tanpa intensi tertentu oleh para penulis suci. Mereka mau menyampaikan bahwa karakter/potret wajah Yesus sebagai basis Gereja, begitu kaya. Apa yang membentuk Injil dan gambaran Gereja di belakangnya yang kerap disebut lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle) dikonstitusikan oleh pribadi Yesus, tradisi dan teks-teks mengenai Yesus, dan pengalaman kristiani itu sendiri. Injil memantulkan pengalaman kristen awal, bagaimana potret Yesus dibangun dalam hidup menggereja.
Masalah yang kerap muncul adalah bahwa orang-orang kristen membaca dan menggali makna Injil dengan metode “mirror reading” (membaca cermin). Ide Injil sekali lagi jelas, memantulkan pengalaman kristen awal. Namun, ketika melihat ke dalam cermin yang kita lihat adalah diri kita sendiri bukan pengalaman orang-orang kristen pertama itu. gambaran yang lebih baik adalah jenis membaca yang biasa disebut ‘jendela’ (window). Dengan metode ini, Injil dilihat sebagai jendela ke kehidupan komunitas-komunitas di belakangnya.
Hal itu yang secara sederhana ditunjukkan dalam tulisan singkat ini. tulisan ini sudah mencoba untuk mengulas bagaimana paham Gereja dalam Injil Matius. Injil Matius menjadi semacam jendela untuk melihat betapa kayanya kehidupan Gereja dihayati oleh para pengikut Kristus. Serentak dengan itu kebijaksanaan dan kesaksian jemaat Gereja Matius yang ditampakkan terlebih dalam bab III mengajar kita bahwa pribadi Yesus yang kaya adalah solusi final setiap permasalahan orang-orang kristen dimanapun.
Bukan tanpa kesulitan sama sekali. Injil Matius kerap disebut sebagai Injil yang ‘anti-semitis’ (anti-Yahudi). Kalau demikian halnya, apakah Injil Matius mendukung atau bahkan menjadi halangan dalam membangun relasi antara kekristenan dan Yahudi (Yudaisme) terlebih sekarang ini? untuk menutup tulisan ini, pertanyaan itu akan dijawab secara sederhana & ringkas.

Dialog antara kekristenan dan Yahudi (Yudaisme) dalam Injil Matius: sebuah peluang dan kemungkinan.
Seorang Yahudi, ahli dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Samuel Sandmel, berkata: “Seseorang yang membaca Injil Matius terutama pada bab 23 (bab yang berisi contoh makian) akan marah dan benci terhadap Orang Yahudi.” Bahkan pernyataan-pernyataan yang diklaim ‘pro-Yahudi’ – “Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.(5:18),” “melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel (10:6),” “Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel (15:24),” ” Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya (23:3)” – semata-mata hanya sebagai preparasi anti-Yahudi dalam Injil Matius. Bila ditelusuri lebih jauh, pendapat Sandmel cenderung ke arah anti-semitis dalam Injil Matius:”Kristianitas adalah agama yang berdiri sendiri, berbeda dari Yudaisme….maka dapat dibagi: Yahudi, Kristen, dan non-Yahudi Kristen.”
Namun, menyebut Injil Matius anti-Yahudi atau anti-semitis adalah kesimpulan yang terburu-buru, meskipun kesimpulan ini banyak diamini oleh ahli-ahli Yahudi dan Kristen yang telah mempelajari hal itu secara serius. Yang jelas, terdapat kekeliruan terminologi. Terminologi ‘anti-semitisme’ muncul pada akhir abad ke-19 sebagai akibat dari pemberlakuan teori rasial. Matius dan sesama Kristen-Yahudi lain pada zamannya tetap mengakui dirinya sebagai orang Yahudi dan tetap berpegang bahwa identitas mereka sebagai pengikut Yesus adalah kompatibel dengan hidup keyahudian. Matius dan Gerejanya tetap hidup dalam kerangka Yudaisme. Memang tetap harus diakui bahwa sedikit nuansa anti-semitis tetap ada dalam tubuh Injil Matius. Namun, jika tidak melihat Injil Matius dalam konteksnya yang berhadapan dengan Yudaisme pada akhir abad pertama, anggapan anti-semitis itu bisa seolah-olah dibenarkan.
Bagi mereka yang peduli terhadap relasi (dialog) Kristen dan Yahudi pada zaman sekarang ini, Injil Matius bisa memberi inspirasi untuk itu. Matius mengingatkan kita akan minat atas ‘studi historis’ dalam rangka menyesuaikan maksud dari tulisan Perjanjian Baru. Mengabaikan setting historis, Injil Matius menjadi teks yang berbahaya (anti-semitis). Studi historis atas Injil Matius memampukan kita untuk melihat proyek historis Matius bahwa Yesus berasal dari dan berakar dalam tradisi Yahudi. Bagi Matius, penggenapan Yesus atas Kitab Suci tidak berarti bahwa Kitab Suci itu kehilangan maknanya dan oleh karenanya dapat diabaikan. Agaknya, bagi Matius Kitab Suci Ibrani memperoleh makna signifikannya melalui Yesus dan menerima pelajaran dari hal Kitab Suci (“Maka berkatalah Yesus kepada mereka: “Karena itu setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya.-13:52”). Maksud dari studi itu bukan bermaksud untuk menghapus perbedaan di antara Yudaisme dan kekristenan. Perbedaan harus diakui tetap ada. Bagi Yudaisme dan kekristenan, Injil Matius menjadi titik balik (turning point) sejarah dan menjadi inspirasi bahwa perbedaan teologis menyumbang bagi keduanya dalam rangka dialog sekarang ini.
Menutup tulisan ini baiklah dikutip Pernyataan “Nostra Aetate” tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen (khususnya agama Yahudi): “…Sementara Gereja Kristus mengakui bahwa – menurut rencana ilahi penyelamatan yang bersifat rahasia – awal mula iman serta pemilihannya sudah terdapat pada para Bapa Bangsa, Musa dan para Nabi….Selain itu Gereja, yang mengecam segala penganiayaan terhadap siapa pun juga, mengingat pusaka warisannya bersama bangsa Yahudi. Gereja sangat menyesalkan kebencian, penganiayaan, pun juga unjuk-unjuk rasa antisemitisme terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun itu dijalankan, terdorong bukan karena motivasi-motivasi politik, melainkan karena cinta kasih keagamaan menurut Injil….”

DIALOG ANTARA GEREJA KATOLIK DAN LUTHERANISME MENGENAI TAHTA PETRUS YANG DIJABAT OLEH USKUP ROMA DALAM MENJAGA KESATUAN GEREJA-GEREJA KRISTEN

PENGANTAR
Soesilo Bambang Yudhoyono (“SBY”), presiden Republik Indonesia yang ke-6, sangat mencintai dunia musik. Ia selalu menyempatkan diri untuk menggubah lagu dan memainkan musik dalam setiap kunjungan-kunjungannya. “Musik itu adalah suatu dunia yang ‘netral’,” begitu kilahnya ketika wartawan bertanya mengapa.
Dunia musik memang dunia yang netral. Ia bisa mempersatukan banyak manusia lintas budaya, lintas ras, golongan, dan kelompok. Kontras dengan dunia politik, ekonomi, ideologi, IPTEK, dan terlebih agama. Sentimen agama yang memuja Tuhan Yang Maha Pengasih itu lebih kerap ‘terbakar’. Agama yang seharusnya menjadi ajang persaudaraan lebih kerap menimbulkan sengketa, permusuhan, dan persaingan yang tidak sehat. Itulah salah satu keprihatinan yang menyemangati saya dalam membahas tulisan ini. Mencermati itu, muncul gagasan dari banyak pihak untuk menggagasi perdamaian. Menciptakan perdamaian dan kesatuan hanya mungkin lewat dialog agama.
Untuk itu, dalam tulisan ini saya mau membahas dialog agama: Gereja Katolik dengan Gereja Reformasi Lutheran perihal fungsi Tahta Petrus dalam menjaga kesatuan Gereja-gereja Kristen secara umum dan Gereja Katolik – Lutheran secara khusus.

Pengertian dan Perlunya Dialog dengan Agama-agama Lain
Berbeda dengan monolog yaitu pembicaraan yang dilaksanakan oleh satu orang, dialog secara umum merupakan salah satu bentuk interaksi yang terwujud antara sekurang-kurangnya dua orang atau dua pihak. Maka berbicara mengenai dialog antar agama diandaikan adanya sekurang-kurangnya dua atau lebih agama. Tetapi perlu diperhatikan bahwa dialog itu bukan terutama menyangkut sistem-ajaran agama. Bukan pula perbandingan dua ajaran iman, atau sebatas kerja sama taktis untuk tujuan tertentu seperti politik dan ekonomi. Lebih dari itu, dialog agama harus mengandaikan bahwa sekurang-kurangnya masing-masing pihak pemeluk agama berdialog setelah ia menghayati dan meyakini agamanya sebagai benar. Dengan kata lain, korelasi bisa berjalan setelah otonomi masing-masing sudah penuh.
Banyak pihak beranggapan bahwa dialog agama adalah sesuatu yang urgen di abad ini, meski tidak sedikit pula yang pesimis atasnya. Mereka yang pesimis menanggap bahwa biar bagaimanapun perbedaan tidak akan pernah musnah dari muka bumi ini. Tetapi bagi saya, dan banyak orang yang optimis dengan dialog agama, perbedaan memang tetap ada tetapi bukan halangan untuk suatu dialog. Perbedaan adalah peluang. Dan, itu memperkaya mereka yang mengakuinya tanpa mempermiskin mereka yang berusaha mewujudkannya. Adalah jelas bahwa dengan sendirinya setiap hal mempunyai persamaan sekaligus perbedaan. Persamaan, paling kurang dalam adanya hal-hal itu sendiri. Demikian halnya dengan agama-agama. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama: “agama” (a + gama). Bila tidak ada perbedaan di antaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk “agama-agama.” Masalahnya, bagaimana memberi isi kepada kebenaran yang sudah jelas ini. Di manakah akan ditarik garis antara kesatuan dan kemajemukan di antara keduanya?
Fokus kita sebenarnya adalah dialog antara Gereja Katolik dan Lutheranisme. Tetapi, tidak salah kiranya kalau pentingnya dialog dengan agama-agama lain disinggung sejenak.
Paul F. Knitter, seorang guru besar teologi di Xavier University, Cincinnati, mengatakan bahwa misi Gereja adalah dialog. Baginya, Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II memang sudah membuka diri bagi dialog dengan agama-agama lain. Akan tetapi, menurutnya tidak pernah dikatakan bahwa Gereja harus berdialog dengan agama-agama lain guna mengemban misi dan identitasnya. Bahkan Paus Paulus VI yang terkenal sebagai “paus dialog” tidak menempatkan dialog dalam misi fundamental Gereja. Ia tokh menegaskan perbedaan yang amat radikal antara agama Kristen dengan tradisi-tradisi keagamaan lain.
Hanya dalam 2 dokumen Gereja (Redemptoris Missio – RM & Dialog dan Proklamasi – DP) mulai diakui bahwa misi dan dialog adalah dua hal yang secara esensial berkaitan. Dengan kata lain, misi adalah dialog. Bukan sebaliknya karena dialog bukan sebagian dari misi tetapi hakikat misi itu sendiri adalah dialog dengan agama-agama lain. Dua dokumen yang telah disebut tadi telah memberikan perubahan paradigma dalam hal bagaimana Gereja Katolik harus memahami misi. Dengannya kita dicerahi dan diyakinkan bahwa kita berhadapan dengan orang lain sebagai orang yang tidak hanya ingin kita peluk, tetapi juga seseorang yang ingin kita tuju. Dalam dialog, saya tidak hanya mengenal engkau tetapi juga saya ingin engkau mengenal saya dan diubah oleh kebenaran yang saya rasakan telah mengubah hidup saya. Mengalami kebenaran berarti ingin berbagi kebenaran pada yang lain.
Barangkali pemikiran F. Knitter masih perlu diklarifikasi (“ada kecenderungan menyatakan bahwa semua agama sama rata.”). Namun, hal yang paling penting mau dikatakan bahwa bagaimanapun dialog agama itu sangat penting dan urgen terlebih di abad ini. Dan, bahwa Gereja dalam karya misionernya selalu mewartakan universalitas keselamatan bagi semua orang.

Sepintas sejarah dan latar belakang munculnya Lutheranisme
Pengaruh negatif Zaman Renaisans terhadap Gereja
Pada awal abad XV, Italia ditandai dengan pesatnya perkembangan kegiatan intelektual dan seni, yang muncul berkat penemuan kembali ilmu pengetahuan dan seni, serta nilai-nilai budaya Romawi-Yunani kuno. Masa Zaman Renaisans (re + nascere = kelahiran kembali). Paus Nicholas V (1447-1445) disebut sebagai paus sejati pertama Zaman Renaisans. Dia adalah seorang humanis yang memiliki kemampuan menonjol. Secara umum, kepausan Zaman Renaisans ditandai oleh sederetan paus yang tidak menampakkan diri sebagai pemimpin rohani, haus akan uang, berbagai skandal seksual, simoni, penjualan indulgensi, dan banyak aspek negatif lainnya. Kehidupan para klerus, biarawan/wati pada umumnya menunjukkan moralitas yang buruk.
Situasi ini menjadi cikal-bakal yang menyebabkan munculnya gerakan reformasi. Dua tokoh reformator yang menonjol adalah Martin Luther dan Yohanes Calvin. Lutheranisme (mengklaim diprakarsai Martin Luther) adalah fokus kita pada bagian ini. Martin Luther lebih berperan sebagai pencipta religiositas baru yang menyimpang dari Gereja Katolik.
Reformasi Lutheranisme
Martin Luther lahir dari keluarga petani sederhana di Eisleben, Saxonia pada 10 November 1483, dan wafat pada 18 Februari 1546. di biara, ia dikenal sebagai orang yang serius. Selama tinggal di biara, Luther mengalami perjuangan batin yang amat hebat. Rasa takut berdosa selalu menekan jiwanya. Salah satu teks Kitab Suci yang menjadi inspirasi baginya: “Orang benar akan hidup oleh iman.” (Rom. 1:17). Maka, ia menyimpulkan bahwa hanya imanlah yang menyelamatkan manusia.
Secara substansial doktrin teologis Martin Luther yang paling penting terdiri dari tiga (3), yakni:
1. Sola fide (hanya iman). Pembenaran (justifikasi) yang radikal atas manusia hanya melalui iman. Keselamatan manusia hanya tergantung dari belas kasihan Allah.
2. Sola Scriptura (hanya Kitab Suci). Satu-satunya sumber kebenaran adalah infalibilitas (ketidaksesatan) alkitab. Martin Luther menolak otoritas tradisi dan magisterium karena dinilai hanya merupakan ciptaan manusia saja.
3. Imamat umum dalam kaitan untuk menafsirkan Alkitab. Hubungan manusia dengan Allah tidak membutuhkan pengantara. Setiap orang diciptakan bebas maka ia bisa berhubungan langsung dengan Allah.
Dengan ini, Martin Luther secara resmi memisahkan diri dari Gereja Katolik. Tetapi perlu diingatkan bahwa kebusukan moral para pemimpin Gereja, klerus dan anggota biara bukan penyebab langsung dari Gerakan Reformasi. Penyebab utama adalah keinginan untuk mencabut kepercayaan yang sia-sia yang selama ini diimani dan dipraktikkan oleh Gereja Katolik. Hal itu tampak dari pernyataan-pernyataan Luther sendiri.

Perspektif Teologi Reformasi Lutheran atas Tahta Petrus yang dijabat oleh Uskup Roma
Banyak teolog ekumenis saat ini melihat bahwa pada umumnya ‘kontroversi’ ajaran-ajaran yang memicu lahirnya Gerakan Reformasi di atas dapat diperdamaikan dengan baik. Hal-hal yang sangat hangat dibicarakan adalah perihal hubungan di antara Kitab Suci dan Tradisi, pembenaran, Ekaristi, dan Magiterium.
Perkembangan teologi ekumenis Primat Roma saat ini sudah jauh berbeda (melampaui) dari hasil Konsili Vatikan I. Sejarah rupanya menjadi ‘self-critical assesment’ bagi perkembangan teologi Gereja Katolik. Banyak ekseget dan ahli sejarah, juga ahli Teologi Dogmatik seperti Walter Kasper, telah memberi banyak kontribusi perihal urgensi perkembangan teologi ini.
Berikut kita akan melihat poin-poin yang menjadi pandangan teologis Lutheran (a Lutheran’s reflections) atas Primat Roma menurut Wolfhart Pannenberg.
1. Injil sebagai Yang Primer (utama)
Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II “Dei Verbum” no. 10 menyebutkan bahwa: “Magisterium tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya.” (Magisterium non supra verbum Dei est, sed idem ministrat). Tetapi Dei Verbum no. 9 menulis bahwa “Gereja menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalu Kitab Suci.” Maka, Tradisi dan Kitab Suci harus dihormati secara sama. Rumusan ini bagaimanapun tidak bebas dari ambiguitas.
Poin yang menentukan adalah bahwa Magisterium mengabdi Sabda Allah berpegang pada Kitab Suci (Injil). Apa yang diajarkan oleh Gereja harus berpatokan terhadap Injil. Jika memang ada otoritas tertinggi (Uskup Roma), maka tugasnya ialah mempersatukan semua orang Kristen yang tercerai berai menjadi satu dalam Injil sebagai fondasi iman yang tetap.

2. Pembedaan Primat dan Kuasa Yurisdiksi
Membedakan Primat dan kuasa yurisdiksi Uskup Roma sangat signifikan untuk membangun semangat oikumene sekarang ini. Konsili Vatikan I memang tidak begitu membedakan antara yurisdiksi Uskup Roma sebagai patriark Gereja Latin di Barat di satu pihak dan perannya sebagai “primus inter pares” para uskup untuk menjaga kesatuan seluruh umat Kristen di pihak lain. padahal, pembedaan yang jelas antara kedua fungsi Uskup Roma sebagai pemegang kekuasaan Petrus atas Gereja universal dapat mempermudah dialog dengan Gereja-gereja Reformasi demi kesatuan gereja-gereja Kristen dalam iman. Kesempatan dialog itu dapat juga diperbaiki dengan mengubah pelaksanaan kuasa patriarkal dengan prinsip kolegialitas dan subsidiaritas dengan membongkar tendensi atas sentralitas Roma dalam sejarah Gereja Barat.

3. Tugas untuk mempersatukan
Primat Petrus dipanggil untuk memelihara dan menguatkan seluruh Gereja Kristen universal sebagai satu kesatuan. Panggilan untuk mempersatukan itu hendaknya meniru peran dan fungsi Rasul Petrus di abad-abad pertama kekristenan.
a. Kata-kata Yesus dalam Mat. 16:18 (“Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”) memang menyapa pribadi dan iman Petrus. Namun, kata-kata Yesus itu tertuju bukan hanya kepada Petrus sendiri tetapi juga kepada para penggantinya. Peran Petrus sebagai pemersatu di abad-abad pertama kiranya menjadi peranan uskup Roma untuk seluruh Gereja saat ini.
b. Dalam periode setelah Para Rasul, ketika keprihatinan tertuju pada bagaimana tetap berpegang pada ajaran dan teladan mereka, Rasul Petrus menjadi simbol kesatuan Gereja secara menyeluruh. Potret Petrus dalam Perjanjian Baru menunjukkan hal itu. Namun, peran ini bukan untuk dimengerti dalam arti kuasa tetapi dimaknai lebih sebagai wibawa.
c. Diakui bahwa Primat Roma bertumbuh lewat suksesi Tahta Petrus. Fungsi Petrus sebagai simbol kesatuan Gereja tidak terbatas hanya pada uskup Roma. Setiap uskup Kristen dapat meneladan Petrus sebagai model bagi tugas dan pelayanannya. Benarlah memang bahwa uskup Roma memegang kuasa yang khusus karena tradisi Petrus sendiri terjadi di Roma.
Dalam Luk. 22:32 Yesus menasihati Petrus, “…..dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab pada pengganti Petrus zaman ini, yang rasa-rasanya sangat mendesak dan semakin dibutuhkan oleh Gereja.

4. Primat Petrus sebagai pelayanan untuk kesatuan.
Kunjungan paus ke seluruh gereja-gereja di dunia adalah satu bentuk pelayanan untuk kesatuan umat Kristen. Dan sebaliknya, Gereja-gereja lain yang terpisah dari Gereja Katolik bisa berkonsultasi ke Roma sebagai langkah ke arah oikumene. Visitasi paus ke gereja-gereja kristen yang lain bisa saja dalam rangka rekonsiliasi atau untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang ada. Kunjungan itu juga bisa untuk saling menguatkan (mutually confirming) di antara mereka.

Menuju Dialog antara Gereja Katolik dan Lutheranisme: sebuah peluang dan kemungkinan
Persamaan yang tidak bisa dipungkiri
Gereja Katolik dan Lutheranisme memiliki persamaan yang tidak bisa dipungkiri. Adanya persamaan ini memungkinkan untuk mengadakan dialog agama. Selain sama-sama Pengikut Kristus (Kristen), baik Katolik pun Lutheranisme satu dalam pembaptisan, pengakuan atas Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, pengakuan iman kuno atas Yesus Kristus dan Trinitas.
Pertimbangan-pertimbangan praktis
 Jika kita semua orang-orang Kristen berelasi begitu intim, kita juga berelasi intim dengan Yesus Kristus sendiri. Pertobatan dan doa seharusnya menjadi jiwa perubahan ekumenisme.
 Saling menerima/dialog harus konkret (tidak setengah-setengah): hidup bersama, memberi kesaksian hidup secara komunal. Praktik hidup nyata memperkuat persatuan.
 Saling menerima/dialog harus universal: lintas waktu (dahulu, sekarang, dan di masa mendatang) dan lintas ruang (ke gereja mana saja, adil).
 Saling menerima/dialog itu harus berjalan langkah demi langkah.
 Saling menerima/dialog itu harus melihat jauh ke depan (visioner). Model persatuan itu bukan uniformitas monolitik tetapi kesatuan dalam keberagaman.
Tahta Petrus Uskup Roma sebagai fasilitator dialog
Dari perspektif teologi Lutheran di atas sebenarnya sudah terungkap secara tidak langsung kerinduan dialog agama antara Katolik dan Lutheranisme. Perbedaan-perbedaan mendasar dan substansial memang harus tetap diakui. Namun, persamaan-persamaan yang umum seperti dikatakan tadi tetap juga tidak bisa dipungkiri. Untuk itu, Tahta Petrus yang dijabat Uskup Roma diharapkan sebagai fasilitator dialog agama.
Kesatuan berarti keutuhan dalam kebenaran. Keterbukaan tidak harus memisahkan setiap anggota dalam Gereja. Dalam pemahaman Gereja Katolik, konsili adalah wahana yang mempersatukan anggota-anggota Gereja. Tanpa itu, kesatuan tinggal hanya nama dan tanpa wajah. Gereja sebagai satu kesatuan tidak dapat bersaksi dan bertindak hanya lewat pribadi-pribadi personal. Benarlah bahwa dalam Gereja Katolik sendiri hubungan antara Primat Petrus dan konsili belum begitu disosialisasikan secara penuh. Meski demikian, diskusi mengenai Tahta Petrus telah mengalami kemajuan pada tingkat ekumenis. Paus dapat mengekspresikan warisan mulia Gereja dan dalam nama Injil terlibat dalam memperjuangkan hak azasi manusia. Namun yang paling diharapkan adalah, paus dapat menjadi pusat (centre) bagi kehidupan umat Kristen di seluruh dunia lewat dialog ekumenisme. Sudahkah Roma menerima dan menyadari potensi-potensi ini sepenuhnya?

The Joint Declaration on The Doctrine of Justification (JDDJ) sebagai Langkah Konkrit Dialog antara Gereja Katolik dan Gereja Lutheran
The Joint Declaration on The Doctrine of Justification (JDDJ) (“Pernyataan Bersama tentang Ajaran Pembenaran) ditandatangani oleh Gereja Katolik dan Gereja-gereja Lutheran pada tanggal 31 Oktober 1999 di kota Augsburg, Jerman. Kardinal Edward Cassidy, pemimpin Badan Kepausan untuk Usaha Penyatuan Kekristenan (Pontifical Council for Promoting Christian Unit) sebagai wakil Gereja Katolik dan Dr. Ishmael Noko, Sekretaris Jenderal Persatuan Gereja-gereja Lutheran Sedunia (Lutheran World Federation – LWF) mewakili Gereja-gereja Lutheran.
Pernyataan Bersama ini berisi 44 nomor (Pengantar no. 1-7, Pemberitaan Alkitabiah no. 8-12, Ajaran Pembenaran sebagai masalah ekumenis no. 13, Pemahaman Bersama akan ajaran Pembenaran no. 19-39, Makna dan cakupan dari kesepakatan yang telah dicapai no. 40-44). Yang menarik, Pernyataan Bersama ini terutama pada bagian Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran dan Pengembangannya (no. 14-39) selalu mulai dengan kesesuaian atau apa yang sama-sama diakui oleh Gereja Katolik dan Lutheranisme sebagai kebenaran dasariah. Lalu menyusul kekhususan ajaran katolik dan Lutheranisme. Rasanya tidak mungkin mengutarakan isi dari kesepakatan itu di sini. Pernyataan Bersama itu mau menekankan bahwa: Gereja Katolik dan Lutheranisme sama-sama mengimani bahwa pembenaran adalah karya Tritunggal dalam inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus. Maka manusia tergantung total pada anugerah penyelamatan Allah itu (JDDJ, 19). Pembenaran berarti Kristus sendiri adalah kebenaran kita melalui Roh-Kudus sesuai kehendak Bapa. Seluruh manusia dipanggil oleh Allah untuk keselamatan dalam Kristus (JDDJ, no. 15-16).

PENUTUP
Pada bagian Pengantar sudah ditekankan bahwa dialog agama sangat penting. Hanya melalui dialog kesatuan dapat tercipta. Bukan hanya itu, dialog agama juga penting dalam mencari nilai-nilai bersama untuk membangun komunitas yang dipenuhi keadilan, cinta kasih, dan perdamaian. Dari sudut pandang Gereja, dialog adalah unsur penting dalam misi evangelisasi, yaitu mengungkapkan nilai-nilai Injili.
Dialog agama lahir dari visi Allah sendiri, yang berdialog dengan setiap individu untuk mengungkapkan kehendak penyelamatannya. Dia menetapkan sejarah keselamatan bukan hanya untuk orang perorangan tetapi juga bagi seluruh bangsa bahkan agama. Di samping itu, manusia sebagai makhluk eksistensial yang multidimensional dan bersifat dialektika mau tidak mau harus berelasi (komunikasi-dialogis) dengan sesamanya. Itulah hakikat manusia itu sendiri dan yang menjadi dasar untuk dialog agama. Jadi dialog sendiri adalah kebutuhan karena hubungan antara manusia bukan ada bersama yang kebetulan belaka tetapi melulu karena Rahmat Allah. Dengannya, masing-masing saling mempengaruhi, menentukan, dan melengkapi.
Dialog antara Gereja Katolik dan Lutheranisme secara khusus fungsi Primat Petrus yang dipaparkan secara sederhana di atas, lahir karena keprihatinan akan pentingnya menjalin kesatuan lewat dialog agama. Bagaimanapun perbedaan akan dan selalu ada. Dan, harus ada. Justru itu adalah sebuah optimisme bahwa perbedaan-perbedaan menyatakan betapa sangat kaya Allah dipahami oleh umat beragama. Masing-masing agama dan ajarannya (Katolik, Lutheranisme, dan agama-agama lain) bagaikan cahaya indah yang menyinari hidup manusia itu sendiri. Hanya melalui dialog agama, cahaya indah itu bisa dinikmati dan dialami sebagai yang memperkaya. Menutup tulisan ini, baiklah dituliskan amanat dekrit “Unitaris Redintegratio (UR)” tentang ekumenisme no. 24: “….maksud yang suci untuk mendamaikan segenap umat Kristen menjadi satu dalam Gereja Kristus yang satu dan tunggal melampaui daya kekuatan serta bakat-kemampuan manusiawi. Oleh karena itu, konsili menaruh harapannya sepenuhnya pada doa Kristus bagi Gereja, pada cinta kasih Bapa terhadap kita, dan pada kekuatan Roh-Kudus “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rom. 5:5).

BIBLIOGRAFI

Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993

Hariprabowo, Yakobus. “Misi Gereja dalam Konteks Pluralitas di Indonesia”. Dalam LOGOS. Vol. 2 no. 2 (Juni 2003), hlm. 138-145.

——-. Sejarah Gereja Reformasi – Anti Reformasi – Vatikan II. Sinaksak: STFT St. Yohanes, (tanpa tahun) (diktat)

Kasper, Walter. “Dialog with Reformation Churches”. Dalam Theology Digest. Vol. 30 number 3 (Fall 1982), hlm. 213-216

Knitter Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan. (Judul asli: Jesus and The Other Names: Christian Mission and Global Responsibility). Diterjemahkan oleh M. Purwatma, Pr. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Pannenberg, Wolfhart. “A Lutheran’s Reflections on the Petrine Ministry of the Bishop of Rome”. Dalam Communio. 25 (Winter 1998), hlm. 608-615.

Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama-agama. (Judul asli: The Transcendent Unit of Religions). Diterjemahkan oleh Saafroedin Bahar. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Sinaga, Laurent B. “DIALOG ANTAR AGAMA Suatu analisis fenomenologis dalam rangka mewujudkan toleransi beragama”. Dalam Rajawali. No. 11/VII/94 (Pematangsiantar), hlm. 29-34.

Blog di WordPress.com.

Atas ↑