PENDAHULUAN
“Mengapa kita masih bertekun di dalam hidup religius?” mau menjadi seorang rohani? Hal ini dapat juga terjadi di dalam cara hidup yang lain! Mau melayani umat Allah? Setiap orang Kristen dipanggil untuk itu! Mau menjadi miskin, murni dan taat? Semua orang Kristen diharapkan menghidupi keutamaan-keutamaan kristiani ini! Karena suka hidup dalam komunitas atau ingin menjadi saleh, pendoa dan single? Barangkali, dimensi-dimensi ini memang integral untuk hidup religius. Tetapi pilihan-pilihan atas unsur-unsur tersebut dapat juga dibuat di luar cara hidup ini.
Alasan yang tepat ialah: kita percaya bahwa kita telah dianugerahi dengan kurnia selibat demi Kerajaan Allah. Kita mau menjadi subur, berbuah, melipatgandakan karya Allah, memenuhi dunia ini dengan kebaikan cinta-Nya.
Kurnia selibat ini sekaligus juga merupakan pilihan kita agar kita lebih bebas untuk semakin mencintai diri kita sendiri, orang lain, Allah dan segala ciptaan. Kaul kita ikrarkan sebagai sarana atau jalan yang diyakini efektif untuk membuat kurnia selibat tadi berbuah. Kaul bukan terutama merupakan penyangkalan kodrat pribadi.
Seksualitas adalah satu unsur amat penting dan langsung terkait dengan hidup selibat. Seksualitas menurut pengertian psikologis mengandung cara berada (yaitu sebagai pria atau sebagai wanita), afektivitas, seksualitas genital (termasuk di dalamnya masturbasi, persetubuhan, perasaan-perasaan, fantasi-fantasi dan kerinduan-kerinduan yang terarah ke situ).
Seksualitas, khususnya seksualitas genital, sering menimbulkan masalah-masalah perlik dalam diri kaum religius atau yang hidup selibat pada umumnya. Maka justru hubungan di antara seksualitas dan selibat inilah menjadi pokok utama permbicaraan kita, yang kiranya akan menambah paham atau membangkitkan kembali kesadaran kita atasnya, supaya dengan demikian kurnia selibat yang kita terima, pilih, dan hidupi itu semakin membawa buah demi perwujudan Kerajaan Allah dalam segala dimensinya (eskatologis dan inkarnasional sekarang).
SEKSUALITAS SELIBAT – PROBLEMATIS
Kurnia selibat itu mempunyai keindahan dan membangkitkan kekaguman tersendiri. Saya sangka tak seorangpun mau menyangkal itu. Tetapi bagi kebanyakan kita dia cukup problematis juga seraya meninggalkan beberapa pertanyaan tetap tak terjawab. Mengapa? Justru karena seksualitas merupakan faktor essensial di dalamnya.
Pernah saya membaca sebuah artikel di mana diterakan kisah nyata seorang suster dan seorang bruder secara terpisah. Suster itu bertutur tentang bagaimana niatnya untuk menjadi religius sangat tidak dimengerti dan tidak disenangi oleh orang tua, sanak-saudara, kerabat, terlebih-lebih bekas pacarnya. Waktu dia bercerita ini dia sudah 13 tahun menjadi suster. Dengan rendah hati diakui bahwa dia senang dan bahagia sebagai religius; merasa diri telah bertumbuh lebih dekat dengan Allah dan sesama. Umurnya 34 tahun; menurut para ahli berarti dia berada pada puncak hidup seksualnya.
Dia mengaku begini: ”Mau apa saya dengan perasaan-perasaan dan fantasi-fantasi seksualku? Terkadang aku sebegitu kesepian hingga kurindukan memegang dan dipegang seorang laki-laki. Aku kepingin merasakan bagaimana gerangan nikmatnya bersetubuh dengan laki-laki yang aku cintai. Aku tahu ini bertentangan dengan janji penyerahanku. Namun, aku masih punya kerinduan untuk akrab, mesra, memberi dan diberi. Aku sadar aku seorang selibat demi Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga makhluk seksual, yang bukan alang kepalang pula. Aku tahu bahwa aku harus mengintegrasikannya. Tetapi tak seorangpun mengatakan bagaimana membuat itu.
”Sekali-sekali aku merasa seakan-akan aku saja yang mengalami hal semacam ini. Tetapi aku pikir pula kebanyakan saudariku suster, jikalau bukan semua, mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih serupa. Tetapi kami hampir tidak pernah berbicara tentang hal itu. Kalau pernah disinggung, pasti tidak dengan kartu terbuka, dan pula tidak dibahas apa yang dibuat mengenai itu.”
Suster ini patut diakui jujur kepada dirinya dan terbuka kepada orang lain termasuk kita. Bukan orang yang abnormal; dia seorang religius yang baik. Tetapi hidup seksualnya membuat dia frustasi. Arti seksualitas dalam hidup religiusnya terang secara teoritis, tetapi ambiguous dalam pengalaman riil.
Ada miripnya kisah seorang bruder. Dia bersaksi: ”Sesudah 20 tahun dalam hidup religius aku terkejut melihat bahwa seks rupanya suatu masalah yang jauh lebih besar dari pada yang pernah kuduga sebelumnya. Dulu orang tidak berbicara dan berpikir tentang itu. Kelihatannya gampang saja. Kini nyatanya lain. Apa dapat dibuat tentang hal ini?
”Pernah saya coba masturbasi – sekali-sekali masih jadi juga. Kurasa ketegangan dikendurkan sedikit, tetapi tidak merasa nyaman dengan itu. Aku tidak yakin bahwa tindakan ini membantuku bertumbuh wajar dalam hal seks. Lalu bagaimana?
”Sekarang ini kesempatan bertemu dan bergaul dengan wanita jauh lebih banyak dibanding dulu. Tetapi sejauh atau sedalam mana aku boleh terlibat? Kerap pikiranku berkata begini, tetapi perasaanku berkata begitu. Aku mempunyai tanda-tanda stop tertentu yang dengan terang mengatakan jangan pergi lebih jauh – seperti persetubuhan misalnya. Tetapi hendak kuapakan perasaan-perasaan yang mendesakku untuk terus? Dan ada beberapa tanda peringatan yang kurang terang tetapi tokh mengganggu juga. Misalnya, apakah mengelus, mencumbu diperbolehkan atau berada ’di luar pagar’ hidup selibat? Di mana dan kapan aku menarik garis-garis batas? Mengapa aku menariknya?
”Kemudian ada fantasi-fantasi mengenai bermesraan dengan seorang perempuan. Kubagaimanakan ini? Aku tahu repressi tidak sehat, sedangkan memuaskan dorongan itu bukan suatu tindakan terpuji di mata Gereja. Tambah lagi aku yakin hal itu tidakbaik, melanggar janji religiusku. Lalu apa yang saya buat? Lari sekeliling lorong, mandi air dingin, lantas berdoa bagi jiwa-jiwa miskin? Saya menghargai nilai-nilai selibat terutama untuk hidup rohaniku. Tetapi apakah ada tempat untuk seksualitasku dalam hidup religius?”
Bruder inipun bertanya-tanya mengenai hidup seksualnya. Pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan yang bisa membuat frustasi bermunculan, tetapi cuma sedikit jawaban yang memuaskan. Dia mau hidup murni dan selibat, dan sekaligus mau supaya seksualitasnya punya arti dan masuk di akal, kena di hati. Seksualitas selibat atau selibat seksual menarik baginya. Tetapi bagaimana? Dia bingung!
Kiranya kisah kedua religius ini sedikit banyak menggemakan kisah kita pula kaum religius dan selibat. Kita sama-sama setuju akan dan menjunjung tinggi nilai hidup selibat itu; kita mau mewujudkan Kerajaan Allah di dalam persatuan lebih mesra dengan Allah, sesama, dan diri sendiri. Maka kita masih hidup dalam kaul dan persaudaraan. Tetapi kita sekaligus sadar akan diri sebagai makhluk seksual: sebagai pria yang sehat dan gagah, mau menikmati kemesraan, keakraban; nafsu birahi, fantasi-fantasi dan kerinduan-kerinduan untuk memuaskannya kerap menggebu. Ini menghadapkan kita dengan pertanyaan-pertanyaan: bagaimana sebenarnya hidup selibat ini? Apa yang bisa dan mana tidak bisa untukku? Tidak ada jalan tengah: ”makan dari dua piring?” Bagaimana nanti pendapat orang lain dan suara hatiku? Dosa…? kita terkadang bingung, tercabik-cabik, tidak ada penengah di dalam proses ”tawar-menawar” ini. Seksulitas selibat memang indah dan mengagumkan tetapi sekaligus problematis.
KETIDAK-MATANGAN PSIKOSEKSUAL
Jadi seksualitas selibat itu problematis. Ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa muncul atau yang kemungkinan besar sedang kita kandung sekarang. Beberapa dari kita barangkali menggarapnya dengan baik, sementara yang lain mungkin bingung. Saya tidak tahu entah ada yang sama sekali tidak merasa atau berpikir apa-apa mengenai itu.
Bukan hanya karena diajarkan oleh P. Adelbertus, OFMCap dalam Filsafat Manusia, melainkan karena terutama dan pertama-tama kita alami sendiri, maka kita mengakui bahwa manusia adalah makhluk relasional. Dia menginginkan hubungan yang akrab dan mesra. Keakraban melibatkan seluruh pribadi: tubuh, pikiran, perasaan-perasaan, hati, seksualitas. Seksualitas ini adalah suatu ungkapan kerinduan untuk menyerahkan diri, serta suatu ungkapan kerinduan akan persatuan yang akan menjadi sumber daya kreatif bagi kita.
Oleh karena itu, kematangan di bidang seksualitas diandaikan ada pada orang-orang yang mau berhubungan akrab. Ketidakmatangan dalam hal ini mengakibatkan pula ketidakmatangan dalam relasi dan pergaulan. Demikian sebaliknya. Ada kaitan erat di antara keduanya. Itulah yang hendak kita tinjau pada nomor-nomor berikut. Kita mulai dengan apa yang disebut dengan ”ketidakmatangan psikoseksual.”
Satu kebutuhan dasar terpenting yang ingin dipuaskan di dalam setiap hubungan yang akrab ialah kebutuhan akan afeksi, yakni kasih sayang, kehangatan, penghargaan, pengakuan dan penerimaan. Kalau aday sesuatu yang tidak beres dengan hal afeksi, dapat terjadi ketidakmatangan psikoseksual. Bahkan disimpulkan oleh para peneliti bahwa ketidakmatangan psikoseksual banyak diakibatkan oleh gangguan afektif (di bidang afektivitas). (perlu diingat bahwa bukan inilah penyebab satu-satunya; masih ada faktor-faktor lain lagi yang nanti masih akan dibahas).
Orang yang tidak cukup dewasa secara afektif tidak mampun menerima afeksi dari orang lain. Dia menaruh curiga atas itu; merasa diri tidak layak dicintai; dia bayangkan ada motif-motif tersembunyi seperti kewajiban/karena terpaksa, atau karena ada sesuatu yang diumpan atau diambil darinya. Maka tidak ada spontanitas dan kepercayaan; selalu ragu-ragu atau bersyak-wasangka.
Sekalipun demikian, kebutuhan akan afeksi tetap ada. Untuk memperoleh itu dia kira dia perlu mengambil sikap, yang dapat disebut dengan ”ketergantungan atau kerelaan emosional.” Dia takut mengkritik dan tidak berani tidak setuju; patuh, tergantung cara pasif saja. Karena dia tokh memerlukan pembenaran dari orang lain walaupun sekaligus benci akan diri karena terpaksa mau menyenangkan saja.
Orang pasif seperti ini sibuk ”mengemis cinta.” Energinya lebih difokuskan pada menangkap hati orang-orang lain untuk memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Perhatiannya tidak diarahakan pada berbuat cinta kepada orang-orang lain. Karena demikian halnya, dia tidak pernah puas, bagaikan sebuah tabung tanpa tutup alas yang tidak akan pernah penuh walau bagaimanapun dibuat mengisi. Rasa kekosongan diri tetap ada; kelaparan akan afeksi tak kunjung terpuaskan dan ”sine fine dicentes”: ”kasih, kasih, kasih. Kasihlah teragung di atas segala pengada; surga dan bumi berilah itu pada hamba.”
Kalau orang tersebut bertemu atau hidup bersama dengan orang yang tipe pribadinya selalu cenderung memberi perhatian, maka orang pertama tadi akan merasa bahwa keinginannya akhirnya dipenuhi dan kesepiannya akan terhapus. Tetapi berapa lama orang tadi bisa tahan? Tidak mustahil kalau dia bereaksi negatif juga atau bosan dengan orang yang merengek-rengek ingin diperhatikan saja.
Sebuah ilustrasi:
Kalau orang seperti itu masuk sebuah toko untuk berbelanja lalu melihat disitu pelayan wanita tersenyum, maka dia terus ”kimpat”, darah tersirap dan terus tertarik dan seakan-akan langsung jatuh cinta. Tetapi coba kalau orang yang dicintainya (entah siapapun) tidak tersenyum padanya, dia akan tersinggung, kecil hati, merasa diri ditolak, dan muncul pertanyaan-pertanyaan yang bernada syak wasangka.
Orangnya mau melekat, melengket, dan tergantung pada orang lain. Dan sebenarnya dia itu merusak hubungan yang ada. Perhatian utamanya bukan pertumbuhan bersama (diri sendiri dan partner) melainkan keinginan agar orang-orang lain memuaskan kebutuhan-kebutuhannya saja. Kalau ada yang tidak sesuai keinginannya, dia merasa diri ditolak. Dia menjadi semakin cemas dan gelisah. Semakin cemas dia, sebenarnya semakin cenderung pula untuk melekat dan bersikap memiliki. Demikianlah proses ini menjadi sebuah ”circulus vitiosus.”
Gangguan di bidang afeksi ini dapat mengakibatkan ketidakmatangan dalam hal seksualitas juga seperti telah dikatakan tadi. Dorongan-dorongan atau gejala-gejala di bidang seksualitas (yang sebenarnya wajar) bisa menjadi sesuatu yang tidak sehat. Itu bisa nampak baik dalam pandangan mengenai seksualitas maupun mungkin dalam tindakan, khususnya berkenaan dengan seksualitas genital (persetubuhan dan tindakan/tingkah laku yang terserah kesitu). Apa misalnya ketidakmatangan psikoseksual sebagai penjabaran dari ketidakmatangan afektif itu?
- Seks sebagai kontak manusiawi
Seseorang bisa terlibat dalam tindakan genital karena tidak pernah mengalami kemesraan, keakraban entah dari siapapun termasuk orang tua dan teman-temannya. Kebutuhan untuk dicintai (dalam arti luas) diterjemahkan dengan keinginan untuk kemesraan genital, seakan-akan relasi genital inilah jalan satu-satunya untuk manusiawi. Maka yang memuaskannya di dalam kemesraan cara genital adalah kedekatan fisik saja. Tidak lebih dari itu.
- Seks sebagai penenang hati kembali
Ada laki-laki yang ragu-ragu akan kelakilakiannya. Dia pikir kegagahannya sebagai laki-laki terletak pada bidang seksual. Maka dia menggunakan seks genital untuk membuktikannya. Ada juga wanita terlibat demikian untuk menenangkan hati kembali bahwa dia diinginkan dan patut dicintai. Sebenarnya akar terdalam yang mendorong perbuatan ini adalah rasa ketidakpenuhan. Maka seks dipandang sebagai penenang hati kembali.
- Seks sebagai ”pencas baterai”
Gangguan afektif itu ditandai juga dengan perasaan-perasaan kekosongan hidup, kebosanan, kekeringan dan ketidakpuasan. Untuk menambah semangat dia menempuh jalan tindakan genital, bagaikan ”pencas baterai.” Rupanya seks kadang-kadang bisa meringankan sebentar, tetapi tidak menghilangkan perasaan-perasaan yang mau diatasi itu, malahan justru melipatgandakannya.
- Seks sebagai tukar-menukar
Ada pula orang yang menjalankan hubungan seks bahan tukar menukar atau pembeli afeksi. Kalau kita dapat menilai, ini sebenarnya suatu dehumanisasi, ”pembinatangan diri,” menginjak-injak nilai dan martabat dirinya. Dia sebetulnya merasakan atau sadar bahwa itu suatu dehumanisasi. Maka dalam hal emosional, ini membuat dia makin parah karena melipatgandakan frustrasi dan rasa bersalah.
- Seks sebagai penaklukan dan hukuman
Ada orang yang memendam rasa marah terhadap orang-orang tertentu yang dulu tidak memperlakukan dia dengan baik. Karena tidak berdaya menyelesaikannya, padahal dia mau melampiaskan serta mau merasa hidup-hidup, maka dia lari ke tindakan seks genital. Dia merasa diri telah menghukum dan menaklukkan orang-orang yang didendamnya itu dengan melakukan tindakan genital tadi.
Ungkapan-ungkapan ketidakmatangan yang baru saja disebut ini (yaitu di bidang seksualitas genital) berkenaan dengan keterlibatan dalam tindakan seksual, katakanlah misalnya persetubuhan. Ini sering berakar pada afeksi yang tidak sehat lalu dimotivisir oleh rasa kesepian, kekosongan, kebosanan, tekanan batin, dsb. Dengan kata lain, suata pelarian yang dapat meringankan untuk sementara.
Ketidakmatangan psikoseksual dapat juga ditunjukkan pada arah ekstrim yang justru terbalik dari tindakan aktif seperti dikatakan tadi. Inilah yang dinamakan dengan represi. Ada orang khususnya kaum selibat, menekan perasaan-perasaan genital yang dialaminya. Dia tidak mau menerima dan mengakui secara sadar bahwa perasaan-perasaan itu ada. Orangnya berpura-pura seakan-akan dia tidak seksual, dan berpura-pura bahwa dia tidak berpura-pura.
Biasanya represi ini terjadi karena seseorang belajar dan masih berpengetahuan bahwa hal-hal atau pengalaman-pengalaman tertentu (dalam hal ini yang berhubungan dengan seksualitas genital) tidak dapat diterima, tidak ada arti, buruk. Konsekuensi: orang yang mengalaminya juga buruk, tidak baik.
Represi juga bisa diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk mengungkapkan afeksinya (kehangatan, kemesraan, keakraban, kasih sayangnya) dengan spontan, entah karena tekanan batin atau kesedihan, ketakutan, atau kemarahan, dslb. Represi itu dapat menyebabkan seseorang menderita ketegangan otot-otot khususnya bagian pinggul; kerap juga timbangan badan terlalu berat. Lalu dia melepaskan kehampaan yang dialaminya entah dengan kerja terlalu, alkoholisme, kelewat makan, merokok atau keinginan bersetubuh dengan siapa saja tanpa pandang bulu. Seksualitas yang ditekan dan persetubuhan dengan siapapun adalah dua sisi berbeda dari mata uang yang sama.
Seorang religius yang menekan perasaan-perasaan ini bisa frustrasi, jengkel, marah. Atau orangnya bisa secara otomatis anti keakraban, takut jangan-jangan timbul dorongan seksual; selibat lalu digunakan untuk merasionalisasikan penghindaran itu. Mungkin juga dia memproyeksikan perasaan-perasaannya sendiri dengan menuduh orang lain tidak sopan, menyimpang, tidak layak sebagai religius. Orangnya boleh dikatakan memperoleh kepuasan dan pembenaran diri dengan berlaku sebagai ”sensor seks” di dalam komunitasnya.
PERTUMBUHAN MENUJU PSIKOSEKSUAL YANG MATANG
Telah dikatakan tadi bahwa afektivitas (kemesraan, kasih sayang, keakraban, kedekatan, dst.) termasuk unsur esensial di dalam hubungan seseorang dengan orang-orang lain. Seksualitas, dengan segala hal yang terkait dengannya, merupakan bagian penting di dalam hubungan ataupun kehidupan seseorang pada umumnya. Setelah membahas ketidakmatangan di bidang psikoseksual, sekarang kita coba melihat sedikit tentang cara-cara pertumbuhan menuju psikoseksual yang matang.
- Bersahabat dengan seksualitas sendiri
Kita perlu berkontak dengan bagian-bagian diri yang ditekan, dan berdialog dengan tubuh, perasaan-perasaan, dan keinginan-keinginan seksual. Amat penting sekali bahwa kita menyadari apa yang sedang terjadi di dalam diri kita berkaitan dengan seksualitas serta bersahabat dengannya (tidak memusuhinya atau menyangkalnya).
- Mengalami seksualitas
Menyadari perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan seksual tidak cukup. Perlu juga mengalaminya: benar-benar merasa keinginan, kebutuhan, dorongan seksual itu. Barulah setelah itu kita dapat menentukan reaksi atau jawaban kita atasnya. Ini tergantung dari beberapa faktor, antara lain nilai-nilai, situasi seseorang (umur misalnya), konsekuensi-konsekuensi yang dilihat, dan arti yang terkandung dari fakta itu.
- Menerima seksualitas
Setelah menyadari dan mengalami perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan seksual itu, maka kiranya kita dapat meneriam itu sebagai bagian dari diri tanpa pembahasan-pembahasan mendalam atau pendapat-pendapat pribadi tentangnya.
Mengerti psikologi C. G. Jung kiranya amat membantu juga di dalam hal ini. Secara amat sederhana dapat dikatakan begini: Jung yakin bahwa di dalam diri setiap pribadi terdapat sekaligus dua unsur (animus: kelakilakian dan anima: kewanitaan). Pada diri laki-laki yang disadari dan nyata adalah animusnya. Tetapi secara tidak sadar anima itu mau muncul ke permukaan kesadaran, karena memang animus dan anima cenderung menuju persatuan; mereka saling melengkapi. Unsur anima lebih besar ditemukan dalam pribadi-pribadi pria. Maka wajarlah kalau laki-laki tertarik pada wanita dan sebaliknya (kecuali untuk orang-orang yang homoseksual).
Yang mau ditekankan di sini ialah: harus diterima bahwa manusia adalah makhluk seksual; daya tarik fisik dan mental (termasuk di bidang genital) adalah bagian hakiki dari diri/hidup manusia itu.
PERTUMBUHAN DI DALAM SEKSUALITAS SELIBAT
Jadi sekali lagi boleh dikatakan bahwa kematangan psikoseksual pertama-tama berarti bahwa seorang mampu mengalami, mengakui, dan menerima seksualitasnya tanpa penyangkalan dan rasa bersalah, tanpa pengidentikan seksualitas dengan pemuasan keinginan genital.
Yang baru saja dikatakan ini berlaku umum untuk semua orang. Bagi orang-orang selibat terdapat dimensi tambahan yakni kemampuan mencapai dan mengalami keakraban tanpa motivasi untuk persatuan genital.
Kalau seseorang matang atau dewasa, hubungan-hubungan akrab yang dialaminya bersifat langsung, jujur, tulus, tidak manipulatif. Maka kalau dia mengungkapkan keintiman fisik, melalui sentuhan misalnya atau bahkan melalui ”kissing” buat orang Barat, hal itu adalah ungkapan kehangatan atau afeksi. Bukan muslihat tersembunyi untuk merangsang nafsu birahi di dalam diri sendiri ataupun di dalam diri partner.
Orang-orang yang dewasa mencintai pribadi-pribadi, bukan kemanusiaan abstrak; mereka dapat akrab dengan pria maupun wanita tanpa mendominasi atau memiliki partnernya dan tidak terlalu gampang remuk redam karena cemburu. Bagi mereka hubungan-hubungan intim diakarkan dalam kesadaran mereka atas tubuh mereka sendiri, seksualitasnya, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya. Mereka mempunyai keseimbangan dan integrasi di antara pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, nilai-nilai dan tingkah laku. Umumnya orang-orang ini mampu memberi diri untuk nilai-nilai, menangani konflik-konflik nilai itu dan bertanggungjawab atas pilihan-pilihan mereka.
Orang-orang selibat yang dewasa memegang selibat sebagai suatu nilai yang berharga dan mengalaminya sebagai suatu komitmen yang positif demi kebahagiaannya juga. Selibat itu tidak dilihatnya pertama-tama sebagai suatu aturan yang harus mereka turuti. Dengan mengiakan dan mengintegrasikan seksualitasnya, orang-orang selibat yang dewasa mampu masuk atau terjun dalam hubungan-hubungan yang lebih dalam, intim dan penuh cinta dengan kedua jenis kelamin dan tentu juga dengan diri mereka sendiri serta dengan Allah.
Pengintegrasian yang di atas masih tinggal pada tahap penanganan psikologis dan biologis saja. Amat pentinglah bahwa seksualitas, khususnya genitalitas yang sangat problematis itu, dihubungkan lebih langsung dengan spiritualitas. Genitalitas bisa membawa pengaruh lebih langsung dan positif atas hidup rohani si selibat sendiri. Perasaan-perasaan, fantasi-fantasi dan tingkah laku genital tidak dilihat sebagai fungsi fisik saja, melainkan suatu artikulasi yang berbicara tentang sesuatu dari dirinya dan diri orang-orang lain.
Genitalitas merupakan suatu undangan melihat dimensi-dimensi lebih mendalam dari dirinya sendiri dan orang-orang lain (”a second look”). Dia seharusnya membantu kita menghormati dan menghargai martabat manusia. Kita diundang/diajak kepada keutuhan dan kekudusan.
Seorang selibat tidak melihat dan mengalami dirinya sendiri dan orang lain terutama sebagai tubuh (buah dada, pinggul, betis, alat kelamin, bibir, pipi, dsb) atau sebagai fungsi (pendamping, teman, ”lover”), melainkan lebih condong mengalami bagian-bagian tubuh dan fungsi-fungsi ini sebagai ungkapan dari keseluruhan keberadaannya. Dia berhati murni melihat realitas. Dia menghormati diri orang lain yang juga berarti menaikkan nilai dan hormat dirinya sendiri. Baik ditekankan: bagian-bagian tubuh sebenarnya punya arti hanya karena ada orang. Coba bayangkan saja seandainya kita menjumpai sepasang buah dada terletak di pinggir jalan waktu mau ke stasi. Bagaimana?
Secara ideal, seksualitas genital seharusnya membantu kaum selibat menjadi semakin hidup-hidup seraya bersentuhan dengan aspek-aspek yang lebih indah dan dalam dari diri dan orang lain. Kalau seorang selibat merasa terlalu takut atas atau bersalah mengenai keinginan-keinginan genital, barangkali dia melihat genitalitas hanya sebagai alat pemuasan dan oleh karena itu mutlak dikontrol secara ketat. Tujuan ialah menghormati genitalitas waktu dia muncul dan mengarahkan menuju keutuhan pribadi.
Cara mengani ini sungguh merupakan tugas dan tanggung jawab setiap pribadi selibat itu sendiri. Namun demikian, baiklah disinggung sedikit tentang peranan komunitas dalam hal ini. Telah digariskan berulang-ulang bahwa seksualitas amat berhubungan erat dengan afektivitas. Maka hendaknya komunitas ditata sedemikian rupa sehingga setiap anggota dapat memperoleh di sana kebutuhan dasarnya akan afeksi (cinta, kemesraan, kehangatan).
Komunitas harus lebih daripada tempat penginapan saja seolah-olah itu sebuah hotel dengan kamar-kamar tidur dengan sebuah kapel barangkali. Komunitas seharusnya merupakan tempat di mana seseorang berbagi afeksi dan kemesraan dengan anggota-anggota lainnya. Ke situ seseorang dapat pergi dan tahu bahwa anggota komunitas memperhatikan dan dia memperhatikan mereka pula.
Komunitas-komunitas religius atau kaum selibat perlu ditata/diorganisir atas dasar bukan ”work-oriented” melainkan ”pribadi-oriented”. Setiap anggota hendaknya merasakan bahwa dia diakui, diterima sebagaimana dia ada, bukan sebagaimana dia kerja. Nilainya bukan ditentukan oleh kerjanya sebagai guru, pastor, pemimpin asrama, ketua komisi, pimpinan, anggota biasa, dlsb. melainkan sebagaimana dia ada. Baiklah para anggota saling menerima. Terpenuhinya kebutuhan dasar akan afektivitas ini membantu setiap anggota selibat itu menangani dan menghidupi seksualitasnya dengan lebih sehat. Dengan demikian kita harapkan bahwa dianya menghidupi pilihan dan kurnia selibat itu dengan lebih bahagia.
Selibat adalah kurnia Allah dan pilihan bebas kita demi keberbuahan Kerajaan Allah. Dia merupakan suatu proses perkembangan yang mencoba mentransformir energi seksual ke dalam persatuan mesra dengan Allah, sesama dan diri sendiri. Menyangkal dan mencopot perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan seksual berarti mencopot kemungkinan terjadinya keakraban selibat tadi. Tujuan akhir selibat bukanlah kontrol seksual melainkan keinginan yang tulus untuk persatuan dengan Allah di dalam kepenuhan kerajaan-Nya.
PENUTUP
Sebagai penutup baiklah diberi semacam ringkasan dari apa yang telah dibahas atau dikemukakan. Kita mengakui dan kagum atas keindahan dan nilai dari hidup selibat demi Kerajaan Allah. Tetapi karena kita adalah makhluk seksual, maka keindahan hidup selibat itu tidak gampang saja dihayati. Selibat cukup problematis juga, justru karena seksualitas termasuk unsur penting di dalamnya.
Seksualitas punya hubungan erat dengan afektivitas. Maka kematangan (atau ketidakmatangan) di bidang seksualitas umumnya ada kaitannya dengan kematangan (atau ketidakmatangan) di bidang afektivitas. Oleh karena itu, ketidakmatangan dan kematangan psikoseksual dilihat dalam cahaya afektivitas.
Baru setelah mengerti apa itu seksualitas (yang matang dan tidak matang), orang-orang selibat kiranya lebih mampu mengenal diri dan mengenal apa itu selibat. Pengertian baru ini akan membantu mereka menghidupi selibatnya dengan lebih berarti, yaitu demi Kerajaan Allah (kebahagiaan dirinya sendiri dan orang lain).
Jelas bahwa pembahasan kita ini menyinggung dua pokok yakni selibat dan seksualitas yang diarahkan pada menuju kematangan. Seperti ditekankan dalam pendahuluan, pembicaraan yang kami sajikan sama sekali tidak bermaksud untuk mengulas pokok kita secara tuntas. Kita masih harus maju lagi, belajar dari bacaan-bacaan dan terlebih dalam keheningan kehadiran Allah.