BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penulisan dan Pembatasan Masalah
Dalam keindahan sebuah karya seni (entah seni musik, seni patung, seni pahat, seni lukis, dll) ditampilkan keindahan diri sang seniman. Secara filosofis, phenomen seni (bunyi harmoni, visual-estetik, kolaborasi warna, dll) menampakkan noumenon sang seniman itu sendiri. Ke-diri-an seniman yang abstrak terwejantahkan dalam karyanya yang konkrit.
Jika seorang pemahat menyelesaikan patung batunya maka idea pemahat itulah yang real. Idea itu menyatakan diri dalam bentuk patung. Jadi, patung itu bukan batu berbentuk patung melainkan idea berbentuk patung batu. Dengan kata lain, idea pemahat mem-batu.

Apa yang mau dikatakan ialah bahwa sebuah karya (seni, sastera, arsistektur, dll) tidak pernah ada begitu saja. Ia selalu ada yang terkait dengan sebuah intensi tertentu. Dan intensi itu tidak tanpa dasar, selalu ada latar belakang di baliknya: situasi-kondisi, nilai, makna, dan tujuan tertentu.
Hal senada hampir dapat dikatakan mengenai tulisan-tulisan (‘karya’) dalam Kitab Suci baik Perjanjian Lama pun Perjanjian Baru. Setiap pengarang Kitab Suci menuliskan pengalaman mereka akan Allah di bawah naungan Roh-Kudus tidak tanpa intensi dan latar belakang konteks tertentu. Mereka digerakkan oleh Roh Allah untuk menuliskan bagaimana keterlibatan Allah dalam hidup mereka dan masyarakat sekitarnya. Allah itu dialami sebagai Allah yang aktif dan berinisiatif menyapa manusia dalam setiap pengalaman hidupnya. Allah yang senantiasa peduli terhadap nasib manusia dan seluruh citaannya. Ia bukan seperti tukang arloji yang setelah membuat arloji itu, kemudian membiarkannya begitu saja.
Judul tulisan ini sengaja dibuat “Potret Gereja dalam Injil Matius.” Mau disampaikan dan digali bagaimana Gereja Matius mengalami keterlibatan Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus (inkarnasi) dalam konteks pengalaman hidup mereka. Inilah yang menjadi latar belakang penulisan paper ini. Judul ini sekaligus membatasi pembahasan hanya dalam Injil Matius sebab ‘wajah Yesus’ dialami begitu kaya dalam seluruh Injil dan tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya lewat tradisi masing-masing. ‘Wajah dan gambaran akan Yesus’ itu adalah jawaban terhadap pengalaman hidup para murid baik pria pun wanita.
Dalam tradisi Injil sinoptik saja wajah Yesus sekaligus potret Gereja dilukiskan begitu kaya. Kita akan melihat sejenak.
 Injil Markus: Injil Markus ditulis sebagai respons bagi penderitaan dan penganiayaan dari otoritas Roma. Untuk itu Markus memberi tuntunan dan meyakinkan banyak Gereja yang berada di bawah tekanan di seluruh dunia. Oleh karena itu, Ia menampilkan potret Yesus (jawaban Gereja) sebagai Messiah yang menderita.
 Injil Lukas: Gereja Lukas adalah komunitas yang mencari tempat dalam sejarah keselamatan dan dalam dunia kekaisaran Roma. Maka Lukas, dengan melihat latar belakang konteks hidup jemaat menampilkan potret Yesus sebagai nabi dan teladan.
 Injil Matius: Gereja Matius adalah Gereja yang ingin mendefinisikan diri mereka dengan hormat pada akar dan rival mereka yakni Yahudi. Maka Matius berkepentingan menampilkan potret Yesus sebagai Guru yang otoritatif, Penafsir ulung tradisi Yahudi. Demonstrasi ke-messias-an Yesus ditampilkan melalui nubuat-nubuat Perjanjian Lama, baik lewat ramalan maupun lewat penggambaran prototipe. Dengan demikian, bila nubuat-nubuat Perjanjian Lama dibaca maka akan tertemukanlah bahwa nubuat-nubuat itu terpenuhi dalam Yesus Kristus sebagai Mesias.
Kendati berbeda-beda soal pengungkapan dan situasi jemaat, ketiga Injil Sinoptik itu sama dalam hal: mereka kembali kepada pribadi Yesus sebagai solusi atas setiap permasalahan hidup mereka. Yesus menjadi sentral.

2. Tujuan Penulisan
Hakikat dan paham Gereja sangat kompleks. Kekayaan definisi dan teologi mengenai Gereja yang ada sekarang tidak terjadi begitu saja. Ia datang dan berasal dari proses yang berlangsung lama dalam perjalanan sejarah. Kekinian Gereja tidak terlepas dari pengalaman Gereja sejak awal keberadaannya dan akan membentuk citra Gereja di masa depan. Tiga dimensi itu: masa lalu, masa kini, dan masa depan terangkul secara erat.
Sejauh mana kebijaksanaan dan kesaksian orang-orang Kristen purba mengajari kita mengenai paham Gereja pada zaman ini, itulah yang menjadi tujuan penulisan paper ini (ditunjukkan pada bab III). Dalam hal inilah, penulis membatasi diri pada Injil Matius mewakili salah satu dari tradisi kristen awal. Tujuan penulisan ini hendak dilihat dalam cara pembahasan yang biasa disebut “window reading (membaca jendela)”
Akhirnya, paper ini juga dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan mata kuliah “Seminar dengan disiplin ilmu teologi” di STFT St. Yohanes, Pematangsiantar.

3. Kerangka Teoritis
Bab I (Pendahuluan), yang mengawali paper ini, menguraikan latar belakang penulisan, tujuan, kerangka teoritis, dan metodologi.
Bab II berisi hantaran singkat seputar Injil Matius: soal pengarang, waktu dan tempat penulisan, dan sidang pembaca.
Bab III adalah inti tulisan ini. Ditampilkan potret Gereja Matius. Setelah itu (masih dalam bab III) semacam review atas ‘potret’ itu, Gereja Matius dilihat dalam kacamata panca tugas Gereja.
Bab IV merupakan bab penutup. Bab ini merangkum kembali pembicaraan kita. Dan terakhir sekali sebagai langkah konstruktif-progresif satu pembahasan terkait dengan bagaimana dialog Kristen dan Yahudi dalam Injil Matius yang diklaim ‘anti-semitis’ itu.

4. Metodologi Penulisan
Metode penulisan yang ditempuh adalah metode kepustakaan (library Research). Inspirasi awal tulisan ini digali dalam pertemuan kelompok dari buku: Daniel J. Harrington, THE CHURCH According to The New Testament What The Wisdom & Witness of Early Christianity Teach Us Today (Chicago: Sheed & Ward Franklin, 2001). Maka tokoh Daniel J. Harrington, SJ, menjadi sangat penting di samping penulis-penulis lainnya. Usaha cemerlang yang memberi titik cerah bagi tulisan ini ialah dengan adanya 3 buah buku/tulisan karangan Daniel J. Harrington, SJ, tentang Injil Matius untuk menunjang ide tulisan ini.

BAB II

HANTARAN SINGKAT SEPUTAR INJIL MATIUS

Pengarang
Hal yang tidak pernah diragukan dalam sejarah Gereja kuno ialah bahwa Matius yang dimaksud penulis Injil adalah Matius pemungut pajak (Mt.9:9-13). Kiranya ia adalah seorang pegawai dari Raja Herodes Antipas. Ia berkarya di sekitar Kapernaum dan mengatur perpajakan di sana. Ini diperkuat dengan data interna dimana penulis tahu sedikit soal uang (Mat.38.8.22.2, Mat.17:24, dll).

Waktu dan Tempat Penulisan
Satu-satunya penulis kuno yang memberikan kesaksian tentang waktu penulisan Injil adalah Ireneus. Matius menulis pada waktu Petrus dan Paulus berkarya di Roma. Dari data interna diketahui bahwa Injil ditulis sesudah keruntuhan Bait Allah Yerusalem (Mat.22:6). Maka tahun penulisan Injil ditaksir tahun 70-85 AD. Injil Matius mendapat bentuknya yang terakhir barangkali di Antiokhia di Syria.

Sidang Pembaca
Jika Matius menulis suratnya setelah tahun 70 AD, tulisan itu harus dipahami sebagai respons atas krisis yang dihadapi masyarakat setempat terkait dengan penghancuran Bait Allah Yerusalem. Atas dasar ini, dan lagi karena teks sendiri sangat berbau Yahudi maka Injil ditulis untuk meneguhkan jemaat Kristen-Yahudi di Palestina dan di luar Palestina.

BAB III
POTRET GEREJA DALAM INJIL MATIUS

A. Kekhasan Injil Matius
1. Injil Gerejawi
Injil Matius sering kali disebut Injil gerejawi. Sebutan ini diberikan karena Matius adalah satu-satunya penginjil yang menggunakan kata ‘gereja’ (=ekklesia, jemaat) dalam Injilnya (16:18; 18:17).
Selain itu, dengan berbagai cara, Matius menampilkan gambaran Gereja yang jelas. Ciri gerejawi tersebut dapat dilihat dari Injil itu sendiri: bahan-bahannya, penyusunannya, dan redaksinya. Ada beberapa bahan yang sangat gerejawi yang hanya dimiliki Matius. Dapat disebut misalnya peristiwa Yesus menyelamatkan Petrus yang tenggelam ketika berjalan di atas air (14:28-31), pengakuan Petrus dan janji Yesus menyusul pengakuan itu (16:18-19), pembayaran bea untuk Bait Allah (17:24-27).
Selain bahan, penyusunan bahan juga menunjukkan minat gerejawi Matius; khotbah programmatis berisi pernyataan Kerajaan Sorga (Mat.5-7), perutusan para murid untuk mewartakan Kerajaan Sorga (Mat.10), perumpamaan-perumpamaan yang menyatakan rahasia Kerajaan Sorga (Mat.13), khotbah gerejawi dimana ditunjukkan bahwa Gereja adalah perwujudan Kerajaan Sorga meski tidak identik dengannya (Mat.18), khotbah tentang akhir zaman saat kepenuhan Kerajaan Sorga (Mat. 24-25).
Redaksi bahan juga menunjukkan minat yang sama. Kalau dibandingkan misalnya dua teks sejajar Mat.18:12-14 // Luk.15:3-7 (Perumpamaan tentang domba yang hilang), maka akan tampaklah nada gerejawi Matius yang sangat kentara. Sementara Lukas menekankan kegembiraan karena yang dicari ditemukan, Matius menekankan pencarian domba yang sesat. Sementara Lukas mau menunjukkan hati Allah: kegembiraan dalam mengampuni, Matius mau menunjukkan apa tugas pemimpin dalam Gereja yakni memperhatikan yang lemah. Dan, sementara Lukas membela kebaikan hati Yesus terhadap para pendosa, Matius menunjukkan “peraturan” bagi para rasul.

2. Gereja Kristen berciri yahudiah
Ciri Yahudi pertama-tama tampak dalam gambaran mengenai pribadi Yesus. Yesus Kristus yang mendirikan Gereja (16:18) adalah Penyelamat yang dijanjikan kepada Israel. Untuk menunjukkan hal ini, Matius sangat banyak menggunakan Perjanjian Lama dalam menggambarkan hidup Yesus dari awal sampai akhir.
Yesus ‘berasal’ dari Perjanjian Lama sekaligus melampauinya
Matius bersusah payah menunjukkan bagaimana peristiwa tertentu dalam kehidupan Yesus memenuhi nubuat-nubuat Perjanjian Lama. Melalui kisah sengsara dan kematian Yesus, Matius meyakinkan kita bahwa peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu sesuai dengan kehendak Allah seperti diungkapkan dalam Perjanjian Lama. Jati diri Yesus ditemukan dalam ungkapan-ungkapan yang mempunyai latar belakang kenyataan dalam Perjanjian Lama.
Gelar yang paling kerap digunakan adalah Anak Manusia dan Anak Allah. Anak Manusia mencerminkan cara Yesus menyebut diriNya sendiri dan barangkali mempunyai hubungan dengan tokoh surgawi dalam kitab Daniel (“Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya.” – Dan. 7:13). Anak Allah digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menyebut raja (“Aku mau menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini. Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu.” – Mzm. 2:7-8). Hal itu menunjukkan keintiman relasi Yesus dengan Bapa. Yesus memanggil “Bapaku”.
Namun, jika diterapkan kepada Yesus, sebutan-sebutan itu menerima makna baru dan jauh melampaui pemaknaannya dalam Perjanjian Lama. Yesus adalah Musa baru yang membawa pembebasan yang sejati dan memaklumkan hukum baru. Bagi Matius, hukum Musa tetap berlaku tetapi disempurnakan oleh Kristus karena Ia adalah penafsir ulung yang mempunyai kuasa atas tradisi Yahudi (“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” – Mat. 5:17-18).
Sepintas mengenai Yudaisme
Yudaisme boleh dikatakan sebagai ‘agama Yahudi’ walaupun pengartian itu sebetulnya baru dipakai mulai abad pertengahan ketika orang Yahudi mulai membandingkan diri dengan agama Islam dan agama Kristiani. Dengan kata Yudaisme terutama dimaksudkan agama Yahudi dalam periode “hellenisme” (kebudayaan Yunani) tahun 400 sebM-200M. Tetapi akar-akarnya sudah ada dalam zaman Ezra dan Nehemia.
Menurut tradisi yang dapat dipercaya, Ezra atau Esdras dalam bahasa Yunani, membuat semacam kode etik sosial yahudiah sekitar tahun 400 SM. Dia tinggal di Babilonia dan menjadi spesialis dalam masalah-masalah Yahudi pada pemerintahan Persia-Tengah. Oleh karena itulah, Ezra disebut “Bapa Yudaisme.” Dan, pada hari dia membacakan Taurat di Yerusalem di hadapan banyak orang, hari itu disebut “hari kelahiran” Yudaisme.
Setelah melihat bagaimana ‘terbentuknya’ Yudaisme, perlulah juga melihat bagaimana peran Bait Allah dalam kehidupan bangsa Israel. Dalam kehidupan rohani bangsa Israel, Bait Allah mendapat tempat yang sangat khusus. Memang dalam Perjanjian Lama ada dua sikap terhadap Bait Allah. Pertama, Bait Allah dilihat sebagai simbol kehadiran YHWH maka Bait Allah adalah suatu institusi seperti kerajaan, imamat, dalam mana terkandung pemenuhan mesianis. Kedua, Bait Allah dilihat bukan pemenuhan mesianis tetapi justru hilangnya pemenuhan itu (bdk. Nabi Yeremia dan Mikha). Mirip dengan sikap dan pandangan Perjanjian Lama, dalam Perjanjian Baru pun kita temui sikap dan pandangan yang tidak jauh berbeda. Di satu pihak Bait Allah tetap merupakan bagian inti dari peribadatan dan keagamaan bangsa Yahudi pada waktu Yesus hidup. Namun di lain pihak, kelompok Esseni kuat menolak ibadat Bait Allah. Mereka mengklaim diri sebagai Israel yang benar dan memaklumkan bahwa ibadat di sana tidak benar lagi.
Pada tahun 66 M terjadi pemberontakan Yahudi terhadap penjajah Roma. Namun, di bawah jenderal Roma, Titus, Bait Allah Yerusalem berhasil dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70. bagaimana Bait Allah itu sampai dihancurkan dilukiskan dengan sangat baik oleh Josephus dalam karyanya Perang Yahudi (Jews War). Menurut interpretasi Josephus sendiri atas Perang Yahudi tahun 66-70 ditandaskan bahwa tanggungjawab penghancuran Bait Allah Yerusalem terletak pada pemimpin faksi Yahudi sendiri, bukan pada tentara-tentara Roma.
Dengan hancurnya Bait Allah Yerusalem, sentral dan institusi yang mempersatukan penganut Yudaisme tiba-tiba tidak ada lagi. Kelompok-kelompok yang mengikatkan keberadaannya dengan Bait Allah dengan sendirinya juga kehilangan tempat berpijak bagi imannya. Bagaimana masa depan Yudaisme sendiri? Pertanyaan itulah yang dihadapi oleh orang-orang Yahudi pada akhir abad pertama.
Sejalan dengan itu bermunculanlah kelompok-kelompok tertentu sebagai tanggapan terhadap situasi ini, di antaranya: kelompok apokaliptik, kelompok rabbinic awal, dan Kristen Yahudi (diwakili oleh Matius). Kita akan melihat satu per satu.
Tanggapan kelompok apokaliptik terhadap penghancuran Bait Allah Yerusalem tahun 70 diungkapkan dalam 4 Ezra dan 2 Barukh, dua kitab apokaliptik yang ditulis di Palestina pada akhir abad pertama atau awal abad kedua. Meskipun setting literatur untuk kedua apokaliptik itu adalah abad ke-6 BC yakni penghancuran Yerusalem oleh tentara Babilonia, ada dugaan kuat bahwa mereka sungguh berbicara tentang penghancuran Yerusalem oleh tentara Roma pada tahun 70. Pertanyaan kedua tulisan itu adalah bagaimana mungkin Allah mengijinkan hal ini terjadi pada bangsa pilihannya, Israel?
Apokalipsis Ezra (4 Ezra 3-14; 1-2, 15-16 adalah tambahan kemudian) berlatar belakang peristiwa tahun 70: “tempat kudus kami telah dinodai, altar telah dicampakkan, kuli kami telah dirusak. (10:21)”; “Sion, ibu kita semua sedang meratap dan dirandahkan. (10:7).”
Setting dan waktu penulisan 2 Baruch sama dengan 4 Ezra. Pertanyaan yang muncul adalah mengenai pilihan atas Israel dan kesetiaan Allah; “Masihkah Allah berkuasa dan setia pada janjinya?”
Pertanyaan-pertanyaan yang sama merupakan perhatian Matius. Ketika mendekati Yerusalem, Yesus dalam Injil Matius berkata: “Lihatlah rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi (23:38)” Tambahan Matius pada perumpamaan dalam 21:43 (“Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.”) dan 22:7-8 (Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka. Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu.) memberi keyakinan bahwa penolakan atas Yesus oleh sebagian umat Israel telah menjadi pemicu penghancuran Yerusalem dan baitnya pada tahun 70.
Jawaban lain terhadap penghancuran Bait Allah Yerusalem datang dari kelompok rabbinic awal. Gerakan rabbinic awal adalah koalisi dari sekte-sekte dan gerakan-gerakan dalam Yudaisme sebelum tahun 70. Sebelum tahun 70, Bait Allah, tanah, dan Torah adalah pemersatu penganut Yudaisme di Palestina yang mengijinkan sekte-sekte dan gerakan-gerakan yang banyak untuk hidup bersama. Setelah Bait Allah hancur dan tanah dikuasai oleh Roma, tinggal satu harta lagi yang bertahan, Torah. Tantangan bagi para pendiri gerakan rabbinic adalah membentuk Yudaisme yang tetap setia pada tradisi sambil beradaptasi dengan situasi yang mereka hadapi. Dalam hal ini, komunitas Yahudi Kristen menjadi rival mereka. Setelah tahun 70, sekelompok terpelajar yang setia kepada Yahudi muncul. Mereka disejajarkan dengan “rabbi” dan “guru bijaksana.” Mereka berpusat di Yavneh (juga disebut Yamnia) dekat pantai Mediterania. Pemimpin mereka yang pertama adalah Yohanan ben Zakkai. Berikutnya, Gamaliel II (barangkali cucu lelaki dari Gamaliel yang disebut dalam Kis. 5:34; 22:3). Sekarang tanpa Bait Allah dan kuasa politis, rabbi awal ini menekankan studi mendalam atas Torah dan membangun penafsiran mendalam untuk menuntun kehidupan Yahudi.
Gereja Matius berhadapan dengan Yudaisme Resmi
Kita telah melihat bagaimana Yerusalem dengan kenisahnya dihancurkan oleh tentara Roma. Beribu-ribu orang Yahudi dibunuh atau dijual sebagai budak. Juga telah kita lihat bagaimana orang-orang Farisi, termasuk Yohanan ben Zakai, berhasil melarikan diri dan kemudian menetap di Yamnia. Selanjutnya tempat ini menjadi tempat pengungsian mereka yang luput dari malapetaka tahun 70 itu. Di sana mereka mendirikan pusat baru kehidupan Yahudi. Tempat ini sangat menentukan bagi kelangsungan Yudaisme karena setelah Bait Allah hancur institusi pemersatu bukan lagi Bait Allah atau kuasa politis tetapi berpegang pada Torah. Salah satu hal yang sangat menentukan di Yamnia adalah penentuan kanon Kitab Suci yakni daftar buku yang diterima sebagai patokan iman Yahudi.
Pada mulanya orang-orang Kristen masih beribadat bersama dengan orang Yahudi (13:54). Namun, lama kelamaan mereka menyadari diri berbeda dari orang-orang Yahudi karena kepercayaan kepada Kristus yang bangkit. Merekapun ditolak oleh orang-orang Yahudi non-Kristen karena pewartaan mereka atas iman akan Kristus yang bangkit. Agar orang-orang Kristen tidak datang lagi dalam ibadat Yahudi, ditambahkanlah satu doa khusus untuk orang-orang Kristen dalam doa Delapan Belas Berkat. Tambahan itu disebut Birkat-Ham-minim yang pada pembukaan berisi: “Semoga para pemfitnah tumpas harapannya; semoga orang yang berhati dengki dibinasakan dan musuh-musuhMu dihancurkan…” Yang dimaksud pemfitnah, berhati dengki dan musuh adalah orang-orang Kristen. Maka dapat dimengerti kalau orang Kristen tidak datang lagi ke tempat ibadat Yahudi.

3. Gereja dengan Tugas Perutusan Universal
Kata Yunani ekklesia (ek + kalein = memanggil keluar) yang merupakan akar kata Gereja menunjukkan bahwa bermisi adalah hakikat Gereja itu sendiri. Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Maka Gereja juga dipanggil “bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia…. Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatNya yang beriman dan kepada seluruh dunia, manakah hakikat dan perutusannya bagi semua orang.”
Hampir senada dengan ini, Gereja Matius sejak awal diperkenalkan sebagai persekutuan yang terbuka bagi semua orang tanpa membedakan asal-usul dan keadaan orang. Keterbukaan itu tampak misalnya dalam silsilah Yesus. Selain nama-nama bapa bangsa dan keturunan Daud, secara mengejutkan terdapat nama Rut, Rakhab, Tamar dan isteri Uria. Rut adalah seorang wanita Moab yang menggabungkan diri dengan Israel melalui keluarga suaminya. Rakhab adalah seorang pelacur dari Yerikho yang hidupnya diselamatkan karena persekongkolan dengan mata-mata Yoshua. Tradisi yang menyatakan bahwa ia adalah ibu Bos hanya ditemukan dalam Injil Matius. Tamar berpura-pura menjadi pelacur dan mengandung anaknya Yehuda, ayah mertuanya (ay.38). Isteri Uria adalah Batsyeba; dengan cara yang memalukan, Raja Daud mengusahakan kematian suami Batsyeba dalam peperangan dan mengambil Batsyeba sebagai isterinya (2 Sam. 11). Pemunculan keempat wanita “yang tak biasa” ini juga mempersiapkan kelahiran Yesus yang mengejutkan, luar biasa, dan unik.
Panggilan orang-orang kafir dari Timur dan Barat untuk masuk ke dalam kerajaan sebagai ganti dari ahli waris (8:11-12), dan juga bahwa yang terdahulu menjadi yang terakhir (20:16) dan yang terakhir menjadi terdahulu menggarisbawahi gagasan keterbukaan universal Matius. Dalam kisah orang-orang Majus (2:1-12) sangat jelas bahwa akhirnya yang mengenal Sang Mesias adalah orang kafir, bukan orang Yahudi.
Gereja yang terbuka kepada siapa saja dengan misi universalnya senantiasa disertai oleh Kristus sebagai guru yang otoritatif. Hal itu tampak dari dua teks “inclusio” yang merupakan tiang penyangga Injil Matius: Mat. 1:23 & Mat. 28:20 Bila dalam Perjanjian Lama Allah menjanjikan kepada umatNya kehadiranNya yang melindungi mereka dengan kata-kata “Aku berada besertamu,” maka kini ‘Allah beserta kita – Emmanuel’; “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” — yang berarti: Allah menyertai kita (Mat.1:23)” Lalu pada perutusan para murid, Yesus memberi jaminan yang sama “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”(Mat.28:20). Penyertaan tuhan adalah penyertaan yang aktif dan efektif dalam Gereja yang berjuang untuk melaksanakan tugas perutusan sampai akhir zaman. Dengan demikian akhir zaman tidak lagi diartikan sebagai habisnya waktu melainkan kepenuhan waktu, kepenuhan kuasa Yesus sebagai Tuhan. Soal akhir zaman tidak lagi soal kapan akan terjadi tetapi menjadi tantangan bagi tugas perutusan Gereja. Dengan demikian jelaslah bahwa aspek kristologis Matius bermuara pada ekklesiologinya. Permenungan jemaat akan Kristus tidak dapat dipisahkan dari permenungan akan Gereja.

4. Gereja yang Mengalami Berbagai Kesulitan
Pemberontakan Yahudi yang meletus pada tahun 66 di Kaisarea disebabkan oleh buruknya pemerintahan Florus, wali negeri Roma kala itu. Di satu pihak, Orang Yahudi Kristen tetap mencintai negeri mereka sendiri. Rasa cinta akan tanah air ini tetap mereka miliki. Namun kecintaan mereka agak diragukan oleh orang-orang Yahudi Kristen lainnya karena misi mereka yakni kasih universal. Misi ini adalah ajaran Guru Otoritatif, Yesus Sang Nabi yang berjuang tanpa kekerasan. Amat kontras jika dibandingkan dengan kelompok Zelot yang merebut kemerdekaan dengan paksa, agresif dan ofensif. Kelompok ini merupakan kelompok bawah tanah.
Sudah sejak sebelum tahun 70 (saat penghancuran Yerusalem), orang-orang Kristen dari Yerusalem meninggalkan kota itu. Sebagian pergi dan menetap di Pella, daerah seberang Sungai Yordan. Sebagian lagi tersebar di Syria (4:24) atau menggabungkan diri dengan Gereja Antiokhia. Rupanya, jemaat-jemaat Hellenis di Syria menerima kelompok-kelompok kristen ini dengan tidak tanpa kesulitan. Penyesuaian dengan situasi-situasi baru mendatangkan kesulitan tersendiri. Kesulitan lain datang dari Orang-orang Yahudi sendiri (Yudaisme resmi). Di satu pihak Yudaisme adalah akar mereka tetapi serentak menjadi rival karena kepercayaan kepada Kristus. Mereka seolah-olah ‘kehilangan identitas’ karena Yesus sendiri sudah tidak ada lagi. Hukum yang dimaklumkan sudah berumur lebih dari 50 tahun. Sementara itu, para saksi mata dan murid-murid pertama sudah tidak ada lagi. Semangat Gereja awal pun mulai lemah dan cita-cita kesempurnaan hidup juga luntur (5:48; 19:21). Orang mengabdi baik Allah maupun uang )6:24). Dan yang paling menyedihkan, kasih menjadi dingin (24:12).
Hal-hal inilah yang mau ‘diantisipasi’ oleh Matius. Injil Matius hadir dengan menawarkan agar dibina semangat pelayanan. Gereja harus berusaha meningkatkan hidup moralnya. Dan, bahwa Gereja harus membenahi diri untuk menyongsong masa depan. Gereja Matius mempunyai tradisi yang sangat tua dan mapan, tetapi Gereja selalu membaharui diri sehingga dapat menjadi Gereja bagi dunia.

B. Potret Gereja Matius dalam Bingkai Pancatugas Gereja
Pada bagian ini, hendak ditunjukkan bahwa ide tentang Gereja yang terdapat dalam Injil Matius dapat dilihat dari sudut pandang Panca tugas Gereja yang akhir-akhir ini sudah akrab di telinga kita. Artinya, bahwa di dalam Gereja Matius sebagai salah satu tradisi kristen awali terdapat muatan aspek Panca tugas Gereja. Panca tugas Gereja yakni koinonia, diakonia, kerygma, martyria, & liturgi adalah penopang dinamika kehidupan Gereja sejak awal keberadaannya. Baik dahulu, pun sekarang, dan akan datang Gereja tetap hidup dalam bingkai Panca tugas Gereja itu.
Bagian ini (sebagaimana sudah dikatakan dalam kerangka teoritis) adalah ‘review’ dari ide-ide Gereja yang telah disebut di atas meski barangkali dengan pembahasaan yang sedikit berbeda tentu. Ide-ide yang telah dibicarakan tadi akan dilihat kembali dalam konteks Panca tugas Gereja.

a. Bidang Koinonia
Sebagai bagian dari generasi Kristen ke-2 atau ke-3, Matius menampilkan jemaat sebagai persekutuan di bawah pemimpin otoritatif, Yesus. Persekutuan itu memiliki tuntunan hidup. Tuntunan itu terutama terdapat pada bab 18 (yang terbesar adalah yang melayani, tata cara penyelesaian konflik, perhatian pada domba yang hilang, kawanan kecil, pengampunan dan kerendahan (humilitas). Matius tidak memiliki tiga tingkatan pelayanan (hierarki) seperti uskup, imam, dan diakon. Matius lebih suka memakai terminologi ‘pemimpin yang menuntun’ (educated leaders). Dengan kata lain, semua umat dilihat sebagai satu kesatuan, terlibat, dan senasib-sepenanggungan. Bukan menyamakan peran begitu saja. Anggota-anggota berpartisipasi dengan peran masing-masing; Rasul Petrus adalah primus interpares (10:2) yang ambil bagian dalam kepemimpinan Kristus sendiri.

b. Bidang diakonia
Gereja Matius adalah perpaduan orang kudus dan pendosa (simul iustus et peccator est, 13,36-43). Setiap orang dapat jatuh (bahkan Petrus sendiri, 26,69-75), para nabi dapat salah (7,15). Oleh karena itu, tidak ada istilah penguasa dan bawahan. Bahkan kekuasaan itu sendiri berbahaya. Untuk itu, para pemimpin membutuhkan kerendahan hati (humilitas) – 18:1-9. Setiap orang dipanggil untuk saling melayani seorang terhadap yang lain ‘…barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.(18:4).’

c. Bidang kerygma
Gereja Matius adalah Gereja yang universal, terbuka untuk siapa saja (soal keanggotaan) dan terbuka untuk pewartaan ke segala penjuru dunia (misi). Hal itu tampak dari perutusan Yesus kepada murid-muridNya ‘Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu (28:19-20a)’. Tugas perutusan itu memang berat tetapi Yesus memberi jaminan ‘Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.(28:20b).’ – lihat hlm. 10-11. Gaya apostolis dan misioner itu dilukiskan juga dengan indah dalam 9:36-11:1.

d. Bidang martyria
Gereja Matius lahir di bawah guru otoritatif, Yesus dengan latar belakang penghancuran Bait Allah Yerusalem. Sebagai ‘sekte baru’ dari agama Yahudi, mereka ditantang memberi kesaksian tentang iman mereka. Dan hal itu tidak gampang mengingat bahwa bagaimanapun agama Yahudi yang kini menjadi rival mereka adalah juga akar agama Kristen yang baru. Maka, jika Orang Yahudi tetap berpegang pada Torah, Gereja Matius lebih lagi. Bagi Gereja Matius, mereka yang selamat adalah yang percaya kepada Yesus.

e. Bidang Liturgi
Gereja Matius merayakan Yesus Kristus, guru mereka. Awalnya mereka tetap ikut dalam ibadat Yahudi. Namun lama kelamaan mereka sadar bahwa mereka berbeda dari agama Yahudi yang menjunjung tinggi Torah. Bagi mereka, Yesus adalah Guru dan sekaligus penafsir ulung atas Torah. Yesus tidak meniadakan Torah tetapi Ia menggenapi dan menyempurnakannya.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan
Setiap Injil Menceritakan kisah Yesus, secara khusus selama pelayanan publiknya, sengsara dan kematianNya. Dengan demikian, informasi mengenai Yesus historis juga mengenai situasi Gereja awal ditunjukkan kepada setiap pembaca.
Setiap tulisan Kitab Suci selalu muncul tidak tanpa intensi tertentu oleh para penulis suci. Mereka mau menyampaikan bahwa karakter/potret wajah Yesus sebagai basis Gereja, begitu kaya. Apa yang membentuk Injil dan gambaran Gereja di belakangnya yang kerap disebut lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle) dikonstitusikan oleh pribadi Yesus, tradisi dan teks-teks mengenai Yesus, dan pengalaman kristiani itu sendiri. Injil memantulkan pengalaman kristen awal, bagaimana potret Yesus dibangun dalam hidup menggereja.
Masalah yang kerap muncul adalah bahwa orang-orang kristen membaca dan menggali makna Injil dengan metode “mirror reading” (membaca cermin). Ide Injil sekali lagi jelas, memantulkan pengalaman kristen awal. Namun, ketika melihat ke dalam cermin yang kita lihat adalah diri kita sendiri bukan pengalaman orang-orang kristen pertama itu. gambaran yang lebih baik adalah jenis membaca yang biasa disebut ‘jendela’ (window). Dengan metode ini, Injil dilihat sebagai jendela ke kehidupan komunitas-komunitas di belakangnya.
Hal itu yang secara sederhana ditunjukkan dalam tulisan singkat ini. tulisan ini sudah mencoba untuk mengulas bagaimana paham Gereja dalam Injil Matius. Injil Matius menjadi semacam jendela untuk melihat betapa kayanya kehidupan Gereja dihayati oleh para pengikut Kristus. Serentak dengan itu kebijaksanaan dan kesaksian jemaat Gereja Matius yang ditampakkan terlebih dalam bab III mengajar kita bahwa pribadi Yesus yang kaya adalah solusi final setiap permasalahan orang-orang kristen dimanapun.
Bukan tanpa kesulitan sama sekali. Injil Matius kerap disebut sebagai Injil yang ‘anti-semitis’ (anti-Yahudi). Kalau demikian halnya, apakah Injil Matius mendukung atau bahkan menjadi halangan dalam membangun relasi antara kekristenan dan Yahudi (Yudaisme) terlebih sekarang ini? untuk menutup tulisan ini, pertanyaan itu akan dijawab secara sederhana & ringkas.

Dialog antara kekristenan dan Yahudi (Yudaisme) dalam Injil Matius: sebuah peluang dan kemungkinan.
Seorang Yahudi, ahli dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Samuel Sandmel, berkata: “Seseorang yang membaca Injil Matius terutama pada bab 23 (bab yang berisi contoh makian) akan marah dan benci terhadap Orang Yahudi.” Bahkan pernyataan-pernyataan yang diklaim ‘pro-Yahudi’ – “Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.(5:18),” “melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel (10:6),” “Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel (15:24),” ” Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya (23:3)” – semata-mata hanya sebagai preparasi anti-Yahudi dalam Injil Matius. Bila ditelusuri lebih jauh, pendapat Sandmel cenderung ke arah anti-semitis dalam Injil Matius:”Kristianitas adalah agama yang berdiri sendiri, berbeda dari Yudaisme….maka dapat dibagi: Yahudi, Kristen, dan non-Yahudi Kristen.”
Namun, menyebut Injil Matius anti-Yahudi atau anti-semitis adalah kesimpulan yang terburu-buru, meskipun kesimpulan ini banyak diamini oleh ahli-ahli Yahudi dan Kristen yang telah mempelajari hal itu secara serius. Yang jelas, terdapat kekeliruan terminologi. Terminologi ‘anti-semitisme’ muncul pada akhir abad ke-19 sebagai akibat dari pemberlakuan teori rasial. Matius dan sesama Kristen-Yahudi lain pada zamannya tetap mengakui dirinya sebagai orang Yahudi dan tetap berpegang bahwa identitas mereka sebagai pengikut Yesus adalah kompatibel dengan hidup keyahudian. Matius dan Gerejanya tetap hidup dalam kerangka Yudaisme. Memang tetap harus diakui bahwa sedikit nuansa anti-semitis tetap ada dalam tubuh Injil Matius. Namun, jika tidak melihat Injil Matius dalam konteksnya yang berhadapan dengan Yudaisme pada akhir abad pertama, anggapan anti-semitis itu bisa seolah-olah dibenarkan.
Bagi mereka yang peduli terhadap relasi (dialog) Kristen dan Yahudi pada zaman sekarang ini, Injil Matius bisa memberi inspirasi untuk itu. Matius mengingatkan kita akan minat atas ‘studi historis’ dalam rangka menyesuaikan maksud dari tulisan Perjanjian Baru. Mengabaikan setting historis, Injil Matius menjadi teks yang berbahaya (anti-semitis). Studi historis atas Injil Matius memampukan kita untuk melihat proyek historis Matius bahwa Yesus berasal dari dan berakar dalam tradisi Yahudi. Bagi Matius, penggenapan Yesus atas Kitab Suci tidak berarti bahwa Kitab Suci itu kehilangan maknanya dan oleh karenanya dapat diabaikan. Agaknya, bagi Matius Kitab Suci Ibrani memperoleh makna signifikannya melalui Yesus dan menerima pelajaran dari hal Kitab Suci (“Maka berkatalah Yesus kepada mereka: “Karena itu setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya.-13:52”). Maksud dari studi itu bukan bermaksud untuk menghapus perbedaan di antara Yudaisme dan kekristenan. Perbedaan harus diakui tetap ada. Bagi Yudaisme dan kekristenan, Injil Matius menjadi titik balik (turning point) sejarah dan menjadi inspirasi bahwa perbedaan teologis menyumbang bagi keduanya dalam rangka dialog sekarang ini.
Menutup tulisan ini baiklah dikutip Pernyataan “Nostra Aetate” tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen (khususnya agama Yahudi): “…Sementara Gereja Kristus mengakui bahwa – menurut rencana ilahi penyelamatan yang bersifat rahasia – awal mula iman serta pemilihannya sudah terdapat pada para Bapa Bangsa, Musa dan para Nabi….Selain itu Gereja, yang mengecam segala penganiayaan terhadap siapa pun juga, mengingat pusaka warisannya bersama bangsa Yahudi. Gereja sangat menyesalkan kebencian, penganiayaan, pun juga unjuk-unjuk rasa antisemitisme terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun itu dijalankan, terdorong bukan karena motivasi-motivasi politik, melainkan karena cinta kasih keagamaan menurut Injil….”