1. Pendahuluan
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara. Dalam kedudukan ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia. Konsekuensinya seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarnya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Dalam konteks inilah maka Pancasila merupakan suatu asas kerohanian negara, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma dan kaidah hukum dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila yang demikian ini justru mewujudkan fungsinya yang pokok sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang manifestasinya dijabarkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu Pancasila merupakan sumber hukum dasar negara baik yang tertulis yaitu UUD negara maupun hukum dasar tidak tertulis atau konvensi.
Pancasila, proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang merupakan cita-cita bangsa saling berkaitan dan kaitan itu mengarah pada pembentukan ketatanegaraan Republik Indonesia dan segala sistem pemerintahannya. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kulminasi (puncak) dari tekad bangsa untuk merdeka. Proklamasi memuat perjuangan penegakan jiwa Pancasila yang telah berabad-abad lamanya dicita-citakan. Selanjutnya tujuan dan cita-cita proklamasi ini tercermin dalam UUD 1945 yang terbagi dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD. Dan, UUD 1945 berlandaskan dan didasari oleh Pancasila yang merupakan sumber tata tertib hukum Indonesia.
Pada pembukaan UUD 1945 terdapat dengan jelas maksud, tujuan serta alasan bangsa Indonesia untuk mendirikan suatu negara. Dalam pembukaan itu juga secara resmi dan autentik dirumuskan kelima sila Pancasila dan Pancasila sebagai falsafah negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan, diungkapkan secara terperinci dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang terdiri dari 37 pasal, 4 aturan peralihan dan 2 aturan tambahan. Secara khusus, pada pembukaan UUD 1945 dalam alinea IV, disebutkan bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, dan kemudian dipertegas kembali pada pasal 1 yang mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan. Hal ini hendak menandaskan tuntutan jiwa Pancasila, yaitu terbentuknya negara kesatuan.
Melalui prinsip-prinsip UUD 1945, sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia pun dibentuk. Dengan kata lain, sekali lagi, dasar sistem pemerintahan adalah UUD 1945, yang di dalamnya terkandung muatan-muatan Pancasila. Akan tetapi, kendati dalam perjalanan waktu sistem pemerintahan ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan, sistem pemerintahan ketatanegaraan tetap berdasar pada UUD 1945.
Dalam makalah yang singkat ini kelompok pertama-tama memaparkan definisi dari ketatanegaraan, negara dan kaitannya dengan konstitusi baik secara umum maupun dalam konteks Indonesia sebagai bangsa. Bidang-bidang ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni tata organisasi, tata jabatan, tata hukum dan tata nilai dijabarkan berikutnya. Kemudian pembahasan beralih pada sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Di dalamnya dijelaskan empat fase penting dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, masa Orde Baru, masa Orde Lama dan masa Reformasi sampai sekarang ini. Dalam keempat fase inilah akan diuraikan bagaimana ketatanegaraan itu berlandaskan pada Pancasila, yang secara terperinci termuat dalam UUD 1945; untuk itu kelompok perlu berbicara lebih intens mengenai Pembukaan UUD 1945 yang pada akhirnya menjiwai sistem perundang-undangan di negara kita. Selanjutnya, sebelum bagian penutup (kesimpulan dan refleksi), kelompok membahas potret perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia yang terbaru, yakni sistem ketatanegaraan Indonesia pascaamandemen UUD 1945. Sistem ketatanegaraan setiap bangsa bersifat dinamis. Dan, berkaitan dengan UUD 1945, Presiden Soekarno sudah mengingatkan sebelumnya bahwa “UUD yang dibuat adalah UUD sementara atau UUD kilat. Akan dibuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”
2. Pengertian Ketatanegaraan Republik Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tata negara adalah seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah, bentuk negara dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara. Ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara. Menurut hukumnya, tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahannya serta hak dan kewajiban para warga terhadap pemerintah atau sebaliknya. Untuk mengerti ketatanegaraan dari suatu negara pertama sekali perlu dimengerti apa itu negara: paham negara secara umum dan negara menurut bangsa Indonesia. Hubungan negara dan konstitusi akan diuraikan selanjutnya.
2.1 Arti Negara Secara Umum
Kata “Negara” berasal dari bahasa Sansekerta nagari atau nagara yang berarti kota. Negara memiliki arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas negara merupakan kesatuan sosial yang diatur secara institusional dan melampaui masyarakat-masyarakat terbatas untuk mewujudkan kepentingan bersama. Sedangkan dalam arti sempit negara disamakan dengan lembaga-lembaga tertinggi dalam kehidupan sosial yang mengatur, memimpin dan mengkoordinasikan masyarakat supaya hidup wajar dan berkembang terus. Negara adalah organisasi yang di dalamnya ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintah yang berdaulat (baik ke dalam maupun ke luar). Negara merupakan kesatuan sosial (masyarakat) yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. Negara dapat dilihat dari dua segi perwujudannya, yakni sebagai satu bentuk masyarakat yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan sebagai satu gejala hukum.
Setiap ahli mengartikan negara menurut titik pandangnya masing-masing. Dari bermacam-macam pengertian itu, kita dapat mengelompokkan menjadi empat, yaitu: pengertian negara ditinjau dari organisasi kekuasaan, organisasi politik, organisasi kesusilaan dan integrasi antara pemerintah dengan rakyatnya.
a. Negara ditinjau dari organisasi kekuasaan:
 Logemann, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa.
 George Jellinek, negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah menetap di wilayah tertentu.
b. Negara ditinjau dari organisasi politik:
 Roger H. Sultou, negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
 Robert M. Mac. Iver, negara adalah asosiasi yang berfungsi memelihara ketertiban dalam masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah yang diberi kekuasaan memaksa.
 Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
c. Negara sebagai organisasi kesusilaan:
 Hegel, negara merupakan organisasi kesusilaan yang timbul sebagai sintesis antara kemerdekaan individu dengan kemerdekaan universal.
 J. J. Rousseau, kewajiban negara adalah untuk memelihara kemerdekaan individu dan menjaga ketertiban kehidupan manusia.
d. Negara sebagai integrasi antara pemerintah dan rakyat:
 Negara dalam arti ini berarti ada hubungan yang erat antara pemerintah dengan rakyat dan teori ini biasa disebut dengan teori integralistik. Menurut teori integralistik, negara adalah susunan masyarakat yang erat antara semua bagian atau organ dari seluruh anggota masyarakat sehingga bersifat organis.
Istilah negara yang dipergunakan dalam ilmu kenegaraan saat ini merupakan terjemahan dari: State (Inggris), Staat (Belanda), Lo stato (Italia), Der staat (Jerman). Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang sama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengetahui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut. Atau bisa diartikan sebagai satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa bagi ketertiban sosial.
Menurut Prof. Mr. L. J. Van Apeldoorn negara mengandung beberapa makna, seperti berikut ini:
 Istilah negara diartikan sebagai penguasa, yaitu untuk mengatakan orang-orang melakukan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah.
 Istilah negara diartikan persekutuan rakyat, yaitu untuk mengatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan tertinggi menurut kaidah hukum.
 Negara mengandung arti suatu wilayah tertentu. Hal ini untuk mengatakan suatu daerah yang di dalamnya didiami suatu bangsa di bawah kekuasaan tertinggi.
 Negara berarti kas negara atau fiscus, yaitu untuk menyatakan harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum, seperti dalam istilah pendapatan negara.
2.2 Arti Negara atau Sifat Hakikat Negara menurut Bangsa Indonesia
Perumusan dasar negara Republik Indonesia bersumber pada norma-norma pokok yang merupakan fundamen negara. Hal itu dirumuskan dalam UUD 1945. Cara pandang Indonesia tidak sekadar melihat negara secara organis, melainkan sebagaimana disepakati kemudian seperti dirumuskan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa negara adalah suatu keadaan kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk kehidupan kebangsaan yang bebas. Negara dan warga negara bersatu.
Warga negara atau rakyat merupakan unsur vital bagi negara. Tanpa rakyat tidak ada negara. Dalam istilah ilmu kemasyarakatan, rakyat berarti satu kesatuan yang terdiri dari kelompok manusia yang berdasarkan sendi-sendi kebudayaan, unsur-unsur yang objektif seperti keturunan, adat istiadat, bahasa, kesenian dan lain-lain. Negara merupakan satu bentuk organisasi masyarakat yang meliputi satu kelompok manusia tertentu dan terbatas menurut ketetapan dan penentuan organisasi itu sendiri. Kelompok manusia menjadi pendukung tertib hukum negara dan mempunyai hak-hak maupun kewajiban tertentu terhadap negara. Status warga negara diatur dalam konstitusi dan diselenggarakan oleh undang-undang tersendiri.
Kedudukan warga negara dan hubungannya dengan negara diatur oleh badan legislatif negara yang ditunjuk dan dipilih dalam berbagai fungsi kenegaraan. Ada dua segi status warga negara: 1) Segi aktif. Ini diperoleh sebagian warga negara dalam fungsinya selaku pemilih atau anggota legislatif; 2) Segi positif. Ini dimiliki oleh semua warga negara selaku pendukung hukum yang terkena oleh hukum dalam negara tersebut. Menurut Prof. Djojogono kedua segi status warga negara tersebut terdapat dalam negara demokrasi, yakni rakyat bertindak selaku Sang Nata Ngiras Kaula (raja sekaligus hamba) dan selaku Kaula Ngiras Sang Nata (hamba sekaligus raja).
Hubungan antara warga negara dan negara dapat dilihat sebagai hubungan kemasyarakatan yang timbal balik. Setiap individu dalam hubungannya dengan masyarakat mempunyai hak serta kewajiban dan bertanggung jawab atas perikehidupan serta kelangsungan masyarakatnya dengan memelihara dan mengindahkan kepentingan umum.
2.2.1 Terjadinya Negara Republik Indonesia
Secara teoritis, negara dianggap ada apabila telah dipenuhi ketiga unsur negara, yaitu pemerintahan yang berdaulat, bangsa dan wilayah. Namun, di dalam praktek pada zaman modern, teori yang universal ini di dalam kenyataan tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa yang menuntut wilayah yang sama, demikian pula halnya banyak pemerintahan yang menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian beranggapan bahwa pengakuan dari bangsa lain, memerlukan mekanisme yang memungkinkan hal itu dan hal ini adalah lazim disebut proklamasi kemerdekaan suatu negara.
Perkembangan pemikiran seperti ini mempengaruhi pula perdebatan di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, baik di dalam membahas wilayah negara maupun di dalam merumuskan Pembukaan yang sebenarnya direncanakan sebagai naskah proklamasi. Oleh karena itu, adalah suatu kenyataan pula bahwa tidak satupun warga negara Indonesia yang tidak menganggap bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah awal terjadinya Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, sekalipun pemerintah belum berbentuk, bahkan hukum dasarnya pun belum disahkan, namun bangsa Indonesia beranggapan bahwa negara Republik Indonesia sudah ada semenjak diproklamasikan. Bahkan apabila kita kaji rumusan pada alinea kedua Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia beranggapan bahwa terjadinya negara merupakan suatu proses atau rangkaian tahap-tahap yang berkesinambungan. Secara ringkas rincian tersebut adalah sebagai berikut: 1) perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia; 2) proklamasi atau pintu gerbang kemerdekaan; dan 3) keadaan bernegara yang nilai-nilai dasarnya ialah, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan demikian, jelaslah bahwa bangsa Indonesia menerjemahkan dengan rinci perkembangan teori kenegaraan tentang terjadinya negara Indonesia.
2.2.2 Tujuan Negara Republik Indonesia
Salah satu pertanyaan yang mendasar dalam menganalisa suatu negara adalah apa dan bagaimana tujuan negara Indonesia? Atau, apa tujuan dari kehidupan nasional kita?
Tujuan Umum, tujuan negara yang bersifat umum ini melingkupi kehidupan sesama bangsa di dunia. Hal ini terkandung dalam kalimat : “… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial … “
Tujuan negara dalam anak kalimat ini realisasinya dalam hubungan dengan politik luar negeri Indonesia, yaitu di antara bangsa-bangsa di dunia ikut melaksanakan suatu ketertiban dunia yang berdasarkan pada prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial. Hal inilah yang merupakan dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Tujuan khusus, terkandung dalam anak kalimat “.., untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah negara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Konsep yang lebih tua dari pada Negara Hukum (modern) ialah konsep bahwa negara bertujuan untuk memenuhi kepentingan umum atau res publica. Apakah yang merupakan kepentingan umum menurut bangsa Indonesia secara ketatanegaraan? Hal ini sering kali diungkapkan sebagai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, yang adalah tujuan bangsa kita.
Di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 di atas dirumuskan unsur-unsur dari pada masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila secara dinamis, yakni a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah (wilayah); dan b) memajukan kesejahteraan umum; c) mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.3 Pancasila, UUD 1945, Negara dan Ketatanegaraan Indonesia sebagai Satu Kesatuan Integral
Pokok pembahasan kita dalam makalah ini adalah Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. Pancasila, sebagaimana sudah disinggung oleh kelompok-kelompok dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, dasar negara, falsafah bangsa Indonesia, identitas/keunikan dan jati diri bangsa Indonesia. Pancasila ini menjadi dasar dan sumber tata tertib hukum (ketatanegaraan) Republik Indonesia. Artinya, susunan dan konsep hukum di Indonesia harus selalu berpedoman kepada Pancasila. Nilai-nilai Pancasila ini kemudian dituangkan ke dalam Pembukaan UUD 1945 terutama alinea IV. Pembukaan UUD 1945 menjadi pedoman dalam menyusun undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Ketatanegaraan, sebagaimana disinggung pada pembahasan sebelumnya, tidak dapat dipisahkan dari negara sebab terbentuknya negara mengandaikan adanya struktur ketatanegaraan yang jelas. Untuk lebih memahami ketatanegaraan tersebut, pantas dikaji apa itu konstitusi dan kaitannya dengan negara.
Istilah konstitusi dari sudut sejarah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Dalam masyarakat Yunani Kuno kata politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa. Dalam bahasa Latin, konstitusi disebut constitutio-onis F yang artinya ketentuan, penetapan.
Negara dan konstitusi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak pernah dipisahkan satu sama lain. Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan atau UUD suatu negara. Dalam arti luas, konstitusi adalah sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintah dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, yang terdiri dari campuran tata peraturan baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan hukum (non-legal). Dalam arti sempit, konstitusi adalah sekumpulan peraturan legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.
Menurut Sri Semantri, seorang ahli tata-negara, UUD atau konstitusi pada umumnya memuat tiga hal pokok, yakni adanya jaminan terhadap hak-hak azasi manusia dan warga negara, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental dan adanya pembagian/pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Maka, kalau kita perhatikan Pembukaan UUD 1945 (terutama alinea IV), tujuan UUD 1945 adalah untuk menentukan struktur ketatanegaraan Indonesia yang berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan prinsip negara berdasarkan atas hukum serta menentukan tujuan negara (lihat tujuan umum dan khusus negara Indonesia di atas).

3. Bidang-bidang Ketatanegaraan Republik Indonesia
3.1 Tata Organisasi
Bernegara dapat juga disebut berorganisasi. Artinya, suatu kelompok yang dalam mencapai idealismenya menempuh jalan dan cara yang telah disepakati. Ketatanegaraan Republik Indonesia dibagi dalam 4 bentuk:
3.1.1 Bentuk Negara dan Pemerintahan
Bentuk negara Indonesia ialah republik yakni suatu pola negara yang mewujudkan sesuatu dengan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Hal itu penting untuk menjaga kesatuan dan keutuhan negara Indonesia. Jadi, demokrasi selalu bertujuan untuk menjaga kesatuan negara. Bagaimana cara mewujudkan kepentingan bersama itu? Hal itu diatur dalam GBHN: a) setelah GBHN disusun, b) maka dituangkan dalam Rancangan Pembangunan Keuangan Negara, c) kemudian, ditetapkan pendapatan dan belanja negara, d) dan diikuti dengan laporan pertanggungjawaban keuangan negara.
Bentuk pemerintahan bertujuan untuk mengatur relasi antar setiap lembaga-lembaga negara. Maka, terbentuklah sistem pemerintahan Republik Indonesia: 1) Indonesia adalah negara yang berdasar hukum; 2) Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi; 3) Kekuasaan negara tertinggi berada di tangan MPR; 4) Presiden adalah penyelenggara pemerintah tertinggi; 5) Menteri-menteri negara adalah pembantu presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR; 6) Kekuasaan kepala negara terbatas; 7) Presiden tidak dapat membubarkan DPR; 8) DPR mengawasi jalannya pemerintahan; 9) DPR berhak memanggil presiden jika kebijakan presiden melanggar ketentuan hukum. Jadi, dalam kelembagaan ada lembaga tertinggi dan tinggi negara. Kedaulatan ada di tangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh DPR.
3.1.2 Unsur-unsur Negara
Unsur-unsur penentu organisasi negara mempunyai tingkat dan kekhasannya:
a. Penyelenggara negara bidang penerapan hukum oleh legislatif
b. Penyelenggara negara bidang penerapan hukum oleh eksekutif
c. Penyelenggara negara bidang penegakan hukum oleh yudikatif
Karena negara Indonesia adalah negara kesatuan, maka tidak ada istilah negara bagian. Oleh karena itu, untuk mewujudkan bidang-bidang penyelenggara negara, maka disesuaikan dengan tingkat pembagian yang berlaku di negara Republik Indonesia, yakni: 1) Daerah Indonesia dibagi dalam tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa; 2) Setiap daerah baik daerah otonom maupun daerah administrasi akan diadakan badan perwakilan dan pemerintahan atas dasar permusyawaratan.
3.2 Tata Jabatan
Tata jabatan perlu karena di dalam negara Indonesia suatu jabatan bersifat tetap, sedangkan pelakunya berbeda atau berganti-ganti. Hal itu diperlihatkan sebagai berikut:
1. Perwakilan: MPR, DPR dan DPRD I dan II, DPD
2. Penggolongan penduduk: berdasarkan partai, berdasarkan fungsi-fungsi di masyarakat, golongan dan karya, dll. Penggolongan ini juga dapat dilihat dari segi: puas atau tidaknya masyarakat atas: situasi politik, ekonomi, pendidikan, keamanan; puas atau tidaknya masyarakat radikal dan liberal atas perubahan dan reformasi; percaya tidaknya masyarakat akan ada tidaknya perubahan terhadap berbagai situasi masyarakat, dll.
3. Alat perlengkapan negara (aparatur negara):
a. Aparatur negara di bidang perwakilan seperti: DPR
b. Aparatur negara di bidang pemerintahan, seperti: Presiden dan Wakil Presiden serta para Menteri, MPR, Dewan Penasihat, dll.
c. Aparatur negara di bidang pertahanan, seperti: TNI dan Polri
d. Aparatur negara di bidang pengadilan, seperti: MA, jaksa, hakim, dll.
3.3 Tata Hukum
Ketatanegaraan tidak dapat dipisahkan dari hukum. Hukum menjadi ketentuan-ketentuan yang mengatur ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian Negara kita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan teratur. Dengan perkataan lain Negara berhubungan erat dengan hukum.
3.3.1 Konstitusi
Konstitusi merupakan suatu pola hidup berkelompok dalam organisasi Negara. Dengan demikian muatannya ialah:
a) Hal-hal yang dianggap fundamental dan berorganisasi seperti kepala negara, warga negara, perwakilan, dan kewenangan kenegaraan.
b) Hal-hal yang dianggap penting dalam hidup berkelompok suatu bangsa
c) Hal-hal yang dicita-citakan. Aspek ini berperan sebagai daya pemersatu, menstabilkan arah dan gerak kenegaraan.
Beberapa aspek di atas akan menjadi hukum dasar yang tidak dapat diubah-ubah, jika aspek-aspek tersebut dirumuskan dalam suatu naskah tertulis. Hal ini dapat dipandang dalam undang-undang dasar bangsa Indonesia. UUD ini bersumber dari muatan yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia.
3.3.2 Hak dan Kewajiban Konstitusional Warga Negara
Sebagaimana UUD 1945 bersumber dari Pancasila, maka dalam bagian ini akan dipaparkan mengenai hak dan kewajiban Konstitusional warga negara menurut UUD 1945.
Warga negara terdiri dari:
a) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan kewajiban menaati hukum,
b) Kesamaan hak dalam pemerintahan dan kewajiban menjunjung visi pemerintahan yang syah,
c) Hak atas pekerjaan yang layak dari segi kemanusiaan,
d) Hak akan kehidupan yang layak dari segi kemanusiaan,
e) Hak atas bela negara serta kewajibannya,
f) Hak atas pendidikan nasional dan kewajibannya,
g) Kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Dengan perkataan lain kebebasan berpolitik,
h) Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah sesuai dengan agamanya atau kepercayaannya,
i) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
3.3.3 Negara Hukum
Menurut Emanuel Kant konsep Negara Hukum adalah keamanan dan ketertiban masyarakat. Konsep ini dapat disebut juga sebagai Negara jaga malam (Nachtwachterstaat-nachtwaker staat). Dalam perkembangan selanjutnya konsep tersebut dihubungkan dengan penyelenggaraan kepentingan umum yang ditentukan sebagai persetujuan antara pemerintah dan rakyat yang melampaui wakilnya. Persetujuan ini disebut Undang-undang. Oleh karena itu konsep negara hukum semacam ini disebut pula negara Undang-undang di mana pemerintahannya berdasarkan atas Undang-undang.
Konsep Negara Hukum Indonesia dapat dipandang dari dua segi:
Segi materi, dapat dijelaskan berdasarkan arti negara dan arti hukum menurut bangsa Indonesia:
• Negara adalah keadaan berkelompoknya bangsa Indonesia, yang atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, didorongkan oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaaan yang bebas.
• Hukum adalah alat ketertiban dan kesejahteraan sosial
Kedua hal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: Suatu organisasi bangsa Indonesia yang atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur bangsa untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas berdasarkan suatu ketertiban menuju suatu kesejahteraan sosial.
Segi formal terdiri dari beberapa unsur:
• Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum
• Kekuasaan tertinggi dilaksanakan oleh MPR dan DPR
• Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi
• Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam arti bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
• Ada kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi para warga negara dan kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali
• Hukumnya berfungsi sebagai pengayoman dalam arti menegakkan kehidupan yang demokrasi, kehidupan yang berkeadilan sosial
3.4 Tata Nilai
3.4.1 Ideologi
Secara umum ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam hal ini nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang dicita-citakan dan diwujudkan. Pancasila merupakan jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
3.4.2 Politik
Pancasila berfungsi sebagai landasan dan sekaligus tujuan dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Hal ini tampak dalam keberhasilan bangsa Indonesia menjabarkannya menjadi program-program dan aturan-aturan permainan dalam proses mewujudkan dan mengembangkan jati diri bangsa sebagai sistem politik Demokrasi Pancasila. Keberhasilan ini didukung dengan suatu evaluasi yang obyektif tentang realita kehidupan politiknya dari waktu ke waktu sehingga apa yang dicita-citakan bersama dapat terwujud dengan baik.
Jika ditinjau dari bidang politik, maka demokrasi lebih dimaksudkan sebagai kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Sebagai perwujudannya, masyarakat berpartisipasi dalam menyumbangkan pandangannya demi keutuhan hidupnya dan negara.
3.4.3 Ekonomi
Pancasila dalam bidang ekonomi merupakan aturan main yang mengikat setiap pelaku ekonomi. Jika hal ini dipatuhi secara baik, maka akan terwujud suatu ketertiban prilaku warga sebagai pelaku ekonomi. Dengan demikian keadilan dan kesejahteraan sosial dapat terwujud.
Pancasila dalam bidang ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Ketuhanan Yang Maha Esa. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi.
b) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ada kehendak kuat dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yang sesuai dengan asas kemanusiaan
c) Persatuan Indonesia. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh. Hal ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi
d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam hal ini koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan bentuk paling konkret dari usaha bersama.
e) Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya keseimbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan daerah dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi.
3.4.4 Sosial
Pancasila adalah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat Indonesia. Pancasila secara institusional dalam bidang kehidupan berbangsa tampak dengan adanya suku-suku yang menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia yang memiliki derajat yang sama. Di samping itu, adanya kesatuan bahasa, yakni bahasa Indonesia.
3.4.5 Agama
Dalam bidang ini, nilai Pancasila diartikan sebagai sikap peduli dan toleransi antar agama. Setiap agama memiliki kepercayaan masing-masing. Dengan perkataan lain, kepercayaan pada setiap agama berbeda-beda. Namun, perbedaan itu bukan menjadi penghambat bagi kesatuan berbangsa. Pancasila menjadi pemersatu agama-agama dalam mewujudkan suatu bangsa, yakni bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi sikap kepedulian atau toleransi antar agama.
4. Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
Pada bab pendahuluan dikatakan bahwa di dalam UUD 1945 tercantum dasar, tujuan, dan alasan berdirinya negara Indonesia. Di dalam UUD 1945 itu juga tercantum falsafah negara Indonesia, yaitu Pancasila. Maka boleh dikatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan RI, UUD 1945 dan Pancasila memegang peranan penting karena di dalamnya tercantum arah pembentukan ketatanegaraan RI dan segala sistem pemerintahannya. Pada poin ini, akan diuraikan bagaimana sistem ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
4.1 Pengertian, Kedudukan, Sifat dan Fungsi UUD 1945
4.1.1 Pengertian UUD 1945
UUD ialah kumpulan dan ketentuan dalam suatu kodifikasi mengenai hal-hal yang mendasar atau pokok ketatanegaraan suatu negara sehingga kepadanya diberi sifat kekal dan luhur. Maka, mengubah UUD memerlukan cara yang istimewa dan lebih berat bila dibandingkan dengan pembuatan atau perubahan peraturan perundang-undangan. Menurut Tap. MPR no. III/MPR/2000, UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
4.1.2 Kedudukan UUD 1945
UUD bukan hukum biasa melainkan hukum dasar . Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum. Oleh karena itu, setiap produk hukum (seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan lainnya) harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Sekalipun konvensi adalah hukum dasar namun ia tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
4.1.3 Sifat UUD 1945
Dengan tidak mengurangi sifatnya yang kekal dan luhur, Dalam teori konstitusi, sifat dari UUD adalah luwes (flexible) dan kaku (rigid), tertulis dan tidak tertulis. UUD bersifat luwes, yakni dapat mengalami perubahan, tambahan dan penyempurnaan demi penyesuaian dengan zaman tetapi juga bersifat kaku karena perubahan UUD itu memerlukan prosedur yang istimewa. Selain itu, UUD juga bersifat tertulis karena aturan-aturan pokok dituliskan pada suatu naskah tetapi sekaligus tidak tertulis karena tidak semua aturan-aturan yang mendetail dituliskan dalam suatu naskah.
4.1.4 Fungsi UUD 1945
UUD 1945 menempati tingkatan tertinggi norma hukum. UUD 1945 mengontrol aturan hukum yang berlaku apakah sesuai atau tidak dengan semangat UUD 1945. Artinya, UUD 1945 menjadi tolok ukur bagi aturan hukum di bawahnya, yaitu Ketetapan MPR, UU, Perpu (Peraturan pemerintah pengganti undang-undang), Peraturan pemerintah, Keputusan presiden dan peraturan daerah.
4.2 Pembukaan UUD 1945
UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dari hukum yang berlaku di Indonesia, sedangkan Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan serta tekad bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional. Pembukaan UUD 1945 merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari proklamasi 17 Agustus 1945. Apabila proklamasi itu merupakan suatu pernyataan kemerdekaan (proclamation of independence) Republik Indonesia, maka Pembukaan UUD 1945 merupakan deklarasi kemerdekaan (declaration of independence) itu sendiri.
4.2.1 Makna Alinea-alinea dalam Pembukaan UUD 1945
Alinea pertama
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini adalah sebagai berikut:
– Adanya keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah kemerdekaan melawan penjajah,
– Tekad bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan di atas bumi,
– Pengungkapan suatu dalil obyektif, yakni bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,
– Pernyataan suatu dalil subyektif, yakni aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan.
Alinea kedua
”Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini adalah sebagai berikut:
– Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada saat yang menentukan,
– Momentum yang telah dicapai harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan,
– Kemerdekaan itu harus diisi untuk mewujudkan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (cita-cita nasional bangsa Indonesia).
Alinea ketiga
”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini adalah sebagai berikut:
– Motivasi spiritual bahwa kemerdekaan kita adalah berkat rahmat dari Tuhan
– Keinginan untuk hidup seimbang antara hidup material dan hidup spiritual, antara kehidupan dunia dan akhirat,
– Pengukuhan melalui proklamasi kemerdekaan kemerdekaan sebagai suatu negara yang berwawasan kebangsaan.

Alinea keempat
”Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakya Indonesia.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini adalah sebagai berikut:
– Tujuan sekaligus fungsi negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berkedaulatan, kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
– Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat,
– Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila.
4.3 Dinamika Pelaksanaan UUD 1945
4.3.1 Masa Awal Kemerdekaan (1945-1959)
Lahirnya Pancasila dan UUD 1945 tidak terlepas dari perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia sendiri tidak terlepas dari situasi politik internasional menjelang tahun 1945. Jadi perlu dicatat bahwa UUD 1945 disusun akhir Perang Dunia II dan setelah berakhirnya Perang Dunia tersebut. Pancasila tidak jauh dari perjuangan para pejuang bangsa Indonesia.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada tentara Jepang. Semenjak itu seluruh daerah jajahan Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan tentara Jepang. Pemerintah militer Jepang melarang mengibarkan Bendera Sang Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta larangan membentuk Pemerintahan Nasional Indonesia. Tindakan Jepang menimbulkan perjuangan pergerakan kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia ditingkatkan, baik itu gerakan bawah tanah maupun perlawanan terbuka. Berkat perjuangan ini, sejak bulan September 1944 bangsa Indonesia diperbolehkan lagi mengibarkan bendera nasional dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Menjelang akhir tahun 1944 tentara Jepang menderita kekalahan terus-menerus terhadap serangan-serangan pihak tentara Sekutu di Pasifik. Jepang akhirnya kalah terhadap sekutu. Mendengar kekalahan tentara Jepang, pemerintah militer Jepang di Indonesia membentuk suatu badan yang diberi nama Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 29 April 1945. kemudian pada tanggal 28 Mei pemerintah bala tentara Jepang melantik anggota BPPK. Sepanjang sejarah, badan ini hanya menjalani dua masa sidang yaitu: a) Masa sidang I: 29 Mei – 1 Juni 1945, membicarakan dasar negara Indonesia; b) Masa sidang II: 10 Juli – 16 Juli 1945, membicarakan rancangan UUD Indonesia.
Untuk melaksanakan tugasnya menyelidiki segala sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia, BPPK telah membentuk beberapa Panitia Kerja, di antaranya ialah: Panitia Perumus (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Perancang UUD (diketuai oleh Ir. Soekarno dan Dr. Soeparno), Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta), dan Panitia pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Abikusno tjokrosujoso). Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Perumus berhasil menyusun suatu Naskah Rancangan Pembukaan UUD pada tanggal 22 Juni 1945, Rancangan Pembukaan UUD yang terdiri atas 4 alinea. Rancangan ini di kemudian hari dikenal orang dengan nama Piagam Jakarta. Dalam Rancangan Pembukaan UUD inilah pertama kali Pancasila dicantumkan sebagai dasar negara Indonesia. Seperti diketahui, Pancasila sebagai dasar negara telah diusulkan oleh anggota BPPK (Ir. Soekarno) dalam sidang 1 Juni 1945, yang kemudian diterima baik oleh Sidang Pleno BPPK pada tanggal 16 Juli 1945. Sementara Panitia Perancang UUD sendiri berhasil menyusun suatu Rancangan UUD Indonesia pada tanggal 16 Juli 1945.
Untuk mewujudkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan segera mungkin, maka diumumkanlah PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan diumumkannya pembentukan PPKI, BPPK juga dibubarkan. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 disaksikan oleh PPKI. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang yang pertama dan telah mengambil keputusan sebagai berikut:
1) Menetapkan dan menyahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang bahan-bahannya hampir seluruhnya diambil dari rancangan Pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Perumus ( yang anggotanya sendiri pada waktu itu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta) pada tanggal 22 Juni 1945.
2) Menetapkan dan menyahkan UUD 1945, yang bahan-bahannya hampir seluruhnya diambil dari rancangan UUD yang disusun oleh Panitia Perancang UUD pada 16 Juli 1945.
3) Memilih Ketua PPKI Ir. Soekarno dan Wakil Ketua PPKI Drs. Mohammad Hatta masing-masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI.
4) Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidang lagi dan memutuskan:
a) Pembentukan 12 Departemen Negara.
b) Pembagian wilayah Indonesia dalam 8 provinsi, dan tiap provinsi dibagi dalam keresidenan-keresidenan.
4.3.2 Masa Orde Lama (1959-1965)
UUD 1945 ditetapkan dan disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Status UUD 1945 ini sementara. UUD 1945 ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian pada tanggal 27 Desember 1949 berubahlah status negara kesatuan yang diproklamasikan menjadi negara serikat (Republik Indonesia Serikat). Di sini negara Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Pada masa republik Indonesia Serikat, UUD 1945 turun derajatnya dan berkurang wilayah berlakunya, karena UUD 1945 hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia, sedangkan di seluruh negara Republik Indonesia Serikat berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949.
Secara resmi UUD 1945 tidak pernah dinyatakan tidak berlaku. Namun demikian dengan berlakunya Konstitusi RIS 1949 dengan sendirinya UUD 1945 menjadi tidak berlaku secara nasional, karena tidak mungkin dalam satu negara berlaku lebih dari satu UUD. Semasa RIS, UUD 1945 dijadikan UUD Negara bagian Republik Indonesia; negara bagian RI merupakan salah satu dari 16 negara bagian dalam lingkungan RI pada waktu itu. Dengan tidak berlakunya UUD 1945, negara Indonesia Merdeka yang mulai ada dan berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945, tetap ada berdiri, tetapi dengan UUD yang berbeda. Walaupun pokok-pokok pikiran tentang negara yang terkandung dalam UUD 1945 tidak sepenuh dalam konstitusi RIS 1949, namun ketentuan-ketentuan pokok seperti bentuk Republik, kedaulatan rakyat dan Pancasila yang terkandung dalam UUD 1945, masih terkandung dalam konstitusi RIS 1949.
Negara RIS yang berbentuk negara serikat tak sesuai dengan cita-cita rakyat yang diucapkan sejak Sumpah Pemuda 1928. Rakyat kita tetap menghendaki negara kesatuan Republik Indonesia. Berhubungan dengan itulah pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden RIS (Ir. Soekarno) kembali memproklamasikan pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia dan dengan sendirinya negara RIS bubar. Pada tahun 1950 Konstitusi RIS diubah menjadi UUD Sementara 1950 yang berlaku di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan UUD 1950 itu dibentuk Konstituante (Badan Pembentukan Konstitusi/pembuat UUD) yang bertugas membentuk UUD yang tetap.
Timbullah dalam Konstituante dua kelompok, yaitu pendukung berlakunya kembali UUD 1945 dan yang menolaknya. Meskipun golongan yang menginginkan kembali ke UUD 1945 merupakan mayoritas (60 %) tetapi karena tidak memenuhi ketentuan suara sekurang-kurangnya dua pertiga (seperti dikehendaki UUDS 1950) maka gagallah Konstituante untuk membuat UUD yang tetap. Hal ini menimbulkan kekacauan politik. Dalam situasi negara yang demikian, demi keselamatan negara dan bangsa Indonesia serta dengan dukungan sebagian besar rakyat dan ABRI, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden tentang kembali ke UUD 1945. Isi dekrit Presiden itu ialah:
1. Menetapkan pembubaran Konstituante
2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS 1950
3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, dengan sendirinya Pancasila demi hukum tetap menjadi dasar falsafah negara dengan perumusan dan tata urutan yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dari uraian tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa UUD 1945 berlaku di Indonesia secara nasional dalam dua kurun waktu, yakni:
1. Antara 18 Agustus 1945 (pengesahan UUD 1945 oleh PPKI) sampai tanggal 17 Agustus 1950.
2. Antara 5 Juli 1959 sampai sekarang.
Sementara pada rentang waktu antara tahun 1950-1959, UUD 1945 tidak berlaku secara nasional, karena digantikan oleh Konstitusi RIS dan UUDS 1950.
4.3.3 Masa Orde Baru (1965 – 12 Mei 1998)
Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, PKI telah dua kali mengkhianati Negara, bangsa, dan dasar Negara. Atas dasar itulah rakyat menghendaki dan menuntut dibubarkannya PKI. Namun, pimpinan Negara waktu itu tidak mau mendengarkan dan tidak mau memenuhi tuntutan rakyat, sehingga timbullah apa yang disebut situasi politik antara rakyat dengan Presiden. Keadaan semakin meruncing, keadaan ekonomi dan keamanan makin tidak terkendalikan. Dengan dipelopori oleh Pemuda atau Mahasiswa, rakyat menyampaikan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yaitu:
1. Bubarkan PKI.
2. Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur PKI.
3. Turunkan harga-harga/ perbaikan ekonomi.
Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Letnan Soeharto untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan. Surat perintah ini dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret (1966).
Lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) ini dianggap oleh rakyat sebagai lahirnya Orde Baru. Dengan berdasarkan Supersemar, pengemban Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto telah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Dalam sejarah negara RI, pemerintahan Orde Baru, sampai saat ini adalah pemerintahan terlama. Sayangnya, pemerintahan Orde Baru ini melakukan banyak penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 ini tampak terutama dalam pelaksanaan pemilu-pemilu:
1. Campur tangan birokrasi terlalu besar dalam mempengaruhi pilihan rakyat.
2. Panitia pemilu tidak independen, memihak salah satu kontestan.
3. Kompetisi antar kontestan tidak leluasa.
4. Rakyat tidak bebas mendiskusikan dan menentukan pilihan.
5. Penghitungan suara tidak jujur.
6. Kontestan tidak bebas kampanye karena dihambat aparat keamanan.
Selain penyimpangan di atas, penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto ialah dalam melaksanakan UU No. 1 Tahun 1983 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR.
4.4.4 Masa Reformasi (1998-kini): Periode Amandemen (Perubahan) Undang-undang Dasar 1945
Berdasarkan UUD 1945 pasal 3 sebelum diamandemen, MPR melakukan amandemen UUD 1945. Menurut pasal tersebut, MPR adalah badan yang berwewenang menetapkan UUD dan GBHN. Kewenangan inilah yang membuat MPR pada akhirnya memutuskan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Selain mengamandemen UUD 1945, MPR juga mencabut Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dan UU No. 5/1985 juga tentang Referendum. Pencabutan Tap MPR dan UU dilakukan pada saat Sidang Umum MPR tahun 1999. Perihal amandemen UUD 1945 ini akan dibicarakan secara khusus dalam bagian berikut ini.

5. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pascaamandemen UUD 1945
5.1 Panorama Umum seputar Perubahan (Amandemen) Konstitusi Suatu Negara
Secara filosofis, konstitusi suatu negara harus berubah dan diubah. Hal ini disebabkan oleh perubahan kehidupan manusia, baik dalam kehidupan internal yang meliputi pikiran, kemampuan diri dan kebutuhan hidupnya, maupun kehidupan eksternalnya yang berkaitan dengan orang lain, lingkungan hidupnya seperti lingkungan sosial, kultural dan natural. Juga, hal yang berkaitan dengan tata nilai dan tata struktur masyarakat sesuai dengan tuntutan perkembangan yang dihadapinya. Konstitusi adalah produk masyarakat yang senantiasa berubah. Maka, menolak perubahan konstitusi pada hakikatnya menolak kesemestian hidup yang harus dijalaninya.
Pada umumnya, ada tiga faktor yang mempengaruhi perubahan konstitusi suatu negara, yakni faktor ekonomi, politik dalam-luar negeri dan kepentingan politik kelompok mayoritas. Faktor pertama, yakni ekonomi, terkait dengan jantung kehidupan suatu negara. Kemapanan ekonomi menyokong kesejahteraan rakyatnya. Faktor kedua, kondisi politik dalam-luar negeri, salah satu faktor yang mengharuskan suatu negara mengubah kontitusinya. Pergaulan bangsa-bangsa sering mengakibatkan keterikatan dan/atau ketergantungan suatu negara terhadap negara lain. Ada kalanya juga bahwa kontitusi berisi ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan keinginan politik mayoritas (faktor ketiga). Apabila dalam perkembangan selanjutnya kelompok politik mayoritas di parlemen berubah, maka mereka yang menjadi kelompok mayoritas akan memasukkan beberapa ketentuan untuk mengakomodasikan kepentingan politik mereka.
Bahasa yang populer dalam perubahan UUD adalah ”amandemen”. Beberapa kategori arti amandemen adalah sebagai berikut:
a. Membuat, berarti mencipta pasal baru;
b. Mengubah, berarti mengganti suatu pasal tertentu dengan pasal baru;
c. Mencabut, berarti menyatakan suatu pasal tidak berlaku, tanpa menggantinya dengan pasal baru;
d. Menyempurnakan, berarti menambah suatu ‘sub-diktum’ baru pada ‘diktum’ dari suatu pasal;
e. Memberi interpretasi baru pada suatu pasal.
Dalam kontitusi bangsa Indonesia, batasan amandemen tertuang dalam pasal 37 UUD 1945. pasal ini memberi batasan amandemen yang berlaku hanya untuk pasal-pasal dan tidak termasuk Pembukaan, amandemen mengacu pada Pembukaan dan harus mengikuti prosedur yang diisyaratkan pasal 37.
5.2 Amandemen UUD 1945: Latar Belakang dan Dasar Yuridis
5.2.1 Latar Belakang
Pascaamandemen UUD 1945 semakin jelas bahwa negara Indonesia didasarkan pada sendi kedaulatan rakyat dan merupakan sebuah negara hukum yang secara eksplisit dirumuskan dalam pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang berbunyi, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (ayat 2) dan Negara Indonesia adalah negara hukum (ayat 3).” Realitas demikian juga ditemukan dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan yang dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan hukum (rechtsstaat). Prinsip kedaulatan rakyat tercermin dari hubungan kerja antar lembaga negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, kekuasaan negara diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yakni sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power).
Hubungan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan dan kondisi masyarakat. Sejak tanggal 17 Agustus 1945 sampai 14 November 1945 Indonesia menganut sistem presidensiil di bawah Presiden Sukarno. Akibat perkembangan politik terkait dengan kedudukan Indonesia di mata dunia internasional, maka tanggal 16 Oktober 1945 KNIP diserahi fungsi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dengan demikian, terjadi pergeseran hubungan kekuasaan legislatif dan eksekutif yang konsekuensinya struktur ketatanegaraan Indonesia berubah dari sistem presidensiil ke parlementer mulai tanggal 14 November 1945. Sistem ini berlaku hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak Dekrit Presiden tersebut, dengan kembalinya UUD 1945 sebagai dasar negara, Indonesia kembali menganut sistem presidensiil. Sistem ini dengan landasan UUD 1945 tetap dianut oleh bangsa Indonesia pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1966-1998) hingga tahun 1999 sebelum babak baru perubahan UUD 1945. Dalam perkembangan sejarah politik Indonesia telah terjadi dinamika dan perubahan hubungan kekuasaan legislatif dengan eksekutif sebelum dilakukan amandemen UUD 1945. Akan tetapi, tujuan Indonesia merdeka tetap belum tercapai. Hal ini melahirkan tuntutan reformasi masyarakat Indonesia yang mengakibatkan lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Ada beberapa sebab ’ketidakberhasilan’ UUD 1945 sehingga perlu diamandemen. Pertama, struktur UUD 1945 memberi kekuasaan yang besar terhadap pemegang kekuasaan eksekutif (presiden). Pada diri presiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan (chief excutive) yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi). Kedua, struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem yang biasa disebut check and balances (kekuasaan untuk saling mengawasi dan mengendalikan) antara cabang-cabang pemerintahan. Ketiga, terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas yang membuka penafsiran yang berbeda-beda. Keempat, tidak ada kelaziman bahwa UUD memiliki penjelasan resmi. Dalam praktik ketatanegaraan baik secara hukum maupun kenyataan, Penjelasan UUD 1945 diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti UUD (batang tubuh).
5.2.2 Dasar Yuridis
MPR melakukan amandemen UUD 1945 dengan berpedoman pada ketentuan pasal 37 UUD 1945. Naskah UUD 1945 yang menjadi obyek perubahan adalah UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebelum melakukan amandemen UUD 1945, MPR dalam sidang Istimewa MPR tahun 1998, mencabut Ketetapan MPR Nomor IV MPR/1983 tentang Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum secara nasional dengan persyaratan yang demikian sulit.
Dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945, fraksi-fraksi di MPR menyepakati beberapa keputusan yang dikenal dengan ”lima kesepakatan”. Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 karena merupakan pernyataan kemerdekaan Indonesia, dasar negara dan tujuan berdirinya negara. Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketiga, tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensiil yang bertujuan mempertegas dan memperkokoh sistem pemerintahan Indonesia. Keempat, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal, misalnya pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman. Kelima, perubahan dilakukan dengan cara adendum. Artinya, semangat naskah asli UUD 1945 dan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat adalah satu kesatuan dan tidak boleh dipisahkan.
5.3 Jenis dan Proses Amandemen UUD 1945
5.3.1 Jenis Amandemen UUD 1945
Ada tiga tradisi berkaitan dengan amandemen UUD suatu negara. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah materi UUD dengan langsung memasukkan materi perubahan itu ke dalam naskah UUD. Negara-negara yang mengikuti pola ini adalah Republik Prancis, Jerman dan Belanda. Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah UUD. Hal ini pernah dialami oleh bangsa Indonesia dengan Konstitusi RIS pada tahun 1949 dan UUDS tahun 1950. Pada umumnya, tradisi seperti ini dilakukan oleh negara-negara yang sistem politiknya belum mapan. Ketiga, amandemen konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya. Tradisi perubahan UUD dengan amandemen dipelopori oleh Amerika Serikat. Sistem inilah yang diikuti oleh bangsa Indonesia lewat amandemen berturut-turut sampai empat kali.
Ada empat jenis amandemen yang dibuat oleh MPR terhadap UUD 1945. Pertama, rumusan, yang telah ada sebelumnya, diubah. Contohnya dapat dilihat pada pasal 2 ayat 1. Sebelum diamandemen, pasal ini menetapkan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR, ditambah Utusan Daerah dan Golongan-golongan. Namun setelah diamandemen, Utusan Golongan tidak lagi masuk menjadi anggota MPR. Dengan demikian, sekarang ini yang menjadi anggota MPR hanyalah anggota DPR ditambah Utusan Daerah. Rumusan yang ada sebelumnya mengenai keanggotaan MPR berubah total. Akibat dari penghapusan Utusan Golongan ini, terjadilah perubahan struktur ketatanegaraan kita. Kedua, amandemen dibuat dengan membuat rumusan yang baru sama sekali. Contohnya adalah pasal 6A ayat 1. Bila sebelumnya MPR memilih presiden dan wakil presiden, maka sekarang presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat. Dan itu berlaku mulai pemilu tahun 2004 yang lalu. Ketiga, amandemen dibuat dengan menghapus atau menghilangkan rumusan yang telah ada sebelumnya. Contohnya ada pada ketentuan dalam Bab IV UUD 1945 tentang DPA. Selanjutnya hal ini akan diatur dalam UU tentang Lembaga Kepresidenan. Dan yang keempat, amandemen dibuat dengan memindahkan rumusan pasal ke dalam rumusan ayat atau sebaliknya. Contohnya adalah pasal 34 UUD 1945. Sebelum amandemen, ayat pasal ini hanya satu. Setelah diamandemen, ayatnya menjadi empat.
5.3.2 Proses Amandemen UUD 1945
Berdasarkan ketentuan pasal 37, amandemen UUD dilakukan lewat prosedur berikut:
1. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR;
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan diajukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya;
3. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR;
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 % ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR;
5. Khusus mengenai bentuk negara kesatuan Republik Indonesia tidak dilakukan amandemen.
Menurut pasal 92, tentang tata tertib MPR tahun 1999, ada empat tingkat pembicaraan dalam membahas dan mengambil keputusan terhadap materi sidang MPR. Setelah melalui empat tingkat pembicaraan itu, MPR telah mengambil putusan empat kali amandemen UUD 1945. Amandemen pertama ditetapkan oleh MPR RI tanggal 19 Oktober 1999. Amandemen kedua ditetapkan oleh MPR RI tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen ketiga ditetapkan MPR RI tanggal 19 November 2001. Akhirnya, pada Sidang Tahunan MPR RI 10 Agustus 2002, dikeluarkanlah amandemen IV.
Setelah empat kali amandemen, UUD 1945 akhirnya memiliki susunan sebagai berikut: yang pertama adalah naskah asli; yang kedua adalah amandemen I; yang ketiga adalah amandemen II; yang keempat adalah amandemen III; yang kelima adalah amandemen IV. Hasil amandemen keempat ini dicantumkan dalam Ketetapan MPR tanggal 10 Agustus 2002 meski sebenarnya disahkan oleh MPR pada tanggal 11 Agustus 2002 pukul 01.30 WIB. Naskah asli UUD 1945 dan hasil amandemen itu kemudian disatukan dalam satu naskah untuk memudahkan pemahaman secara sistematis, holistik dan komprehensif. Penyatuan ke dalam satu naskah itu adalah hasil kesepakatan Komisi A MPR yang disampaikan pada rapat paripurna Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Sebelum diamandemen, UUD 1945 terdiri dari tiga bagian:
1. Pembukaan (preambule);
2. Batang Tubuh;
3. Penjelasan.
Namun setelah diamandemen, bagian Penjelasan dihilangkan. Dengan demikian, sebelum diamandemen, UUD 1945 terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, dan 4 Pasal Aturan Peralihan ditambah 2 Ayat Aturan Tambahan. Setelah diamandemen, UUD 1945 terdiri dari 21 Bab, 73 Pasal, 170 Ayat, 3 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 Ayat Aturan Tambahan. Dalam amandemen UUD 1945, ada 33 materi yang merupakan tambahan. Selain itu, amandemen UUD 1945 juga menghasilkan dua lembaga dalam struktur ketatanegaraan RI: Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi ini sejajar dengan Mahkamah Agung. Komisi Yudisial sendiri adalah pengawas pelaksanaan hukum dan aparat penegak hukum, secara khusus para hakim.
5.4 Bentuk Negara, Kedaulatan, Negara Hukum, Bangunan Negara dan Sistem Pemerintahan Indonesia
5.4.1 Bentuk Negara
Bentuk negara Indonesia dapat kita perhatikan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi, “… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat …” Dengan demikian, jelas bahwa negara Indonesia berbentuk republik .
Pascaamandemen UUD 1945, bentuk negara Republik Indonesia dapat ditemui dalam beberapa pasal sebagai berikut:
– Pasal 1 ayat (1), “Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik.”
– Pasal 6A ayat (1), “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” dan ayat (5), “Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.”
– Pasal 7, “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu masa jabatan.”

5.4.2 Kedaulatan
Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Hal itu terdapat dalam UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen:
a. “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” (pasal 1 ayat (2) UUD 1945);
b. “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.” (pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pascaamandemen).
Menurut Jimly Asshidiqie, ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat berlaku secara simultan di dalam bangsa Indonesia. Keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar-dasar berpikir sistemik dalam konstruksi UUD negara kita.
Pascaamandemen UUD 1945, paham kedaulatan diatur antara lain dalam pasal 1 ayat (2), pasal 6A ayat (1) dan ayat (3), pasal 7A, pasal 19 ayat (1) dan (2), pasal 22E ayat (1), pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD, maka kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh beberapa lembaga yang sesuai dengan wewenang, tugas dan fungsi yang ditetapkan oleh UUD 1945.
5.4.3 Negara Hukum
Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa secara umum ciri-ciri negara yang menganut paham negara hukum adalah bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara kita temukan tiga prinsip dasar, yakni supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
Padmo Wahyono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengemukakan bahwa konsep negara hukum berpangkal tolak pada perumusan yang digariskan oleh pembentuk-pembentuk UUD 1945, yakni Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Dalam perkembangan teori kenegaraan, pengertian rechtsstaat sering dikaitkan dengan pengertian demokrasi (dari, oleh dan untuk rakyat).
Padmo Wahyono mengemukakan beberapa prinsip negara hukum sebagai berikut:
1. Ada suatu pola untuk menghormati dan melindungi hak-hak kemanusiaan. Menurut UUD 1945, hak-hak warga negara adalah mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan berhak mendapat pengajaran;
2. Ada suatu mekanisme kelembagaan negara yang demokratis. Hal ini tampak dalam penegasan bahwa tidak ada produk hukum yang disebut undang-undang bila tidak mendapat persetujuan DPR, sehingga mekanisme kelembagaan negara secara konstitusional dijamin sifat demokratisnya dengan memberikan wadah undang-undang dalam penetapannya;
3. Ada suatu tertib hukum. Bentuk ketertiban yang paling sederhana dan tetap merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan ialah pencegahan tindakan-tindakan kriminal baik secara preventif maupun represif;
4. Ada kekuasaan kehakiman yang bebas. Dalam UUD 1945 pasal 24 ayat (1) ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang. Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari kekuasaan pemerintah.

5.4.4 Bangunan Negara
Pada umumnya, bangunan negara ada tiga, yakni negara serikat (federal), negara konfederasi (serikat negara-negara) dan negara kesatuan (unitaris). Negara serikat (federasi) ialah suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara bagian. Pemerintah pusat dengan pemerintah negara bagian mempunyai wewenang yang sama dalam membentuk undang-undang. Negara konfederasi yakni apabila negara terdiri dari gabungan beberapa negara yang sejak semula masing-masing berdaulat kemudian bergabung untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu. Penggabungan negara-negara tidak menghapuskan masing-masing kedaulatan negara-negara tersebut. Negara kesatuan ialah suatu negara yang kekuasaan pemerintahan atau yang berdaulat hanya dalam satu tangan, yaitu pemerintah pusat yang mengatur keseluruhan daerah. Negara kesatuan memiliki dua bentuk, yakni negara kesatuan dengan sistem sentralisasi (seluruh kebijakan ditentukan dari pusat) dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi.
Pascaamandemen UUD 1945, bentuk negara Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi berarti kekuasan dan kewenangan diberi kepada daerah-daerah untuk menentukan kebijakan dan mengurus rumah tangganya sendiri. Yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam UU no. 32 tahun 2004 tanggal 15 Oktober 2004 “tentang Pemerintah Daerah” pasal 10 ayat (3) meliputi: Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter-fiskal nasional dan agama.
5.4.5 Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang biasa dikenal ada tiga, yakni sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensial dan sistem campuran. Dalam sistem parlementer kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlemen, setiap anggota kabinet adalah anggota parlemen terpilih, kepala pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh rakyat tetapi oleh parlemen dan ada pemisahan yang tegas antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan presidensial fungsi kepala pemerintahan dan kepala negara ada pada satu tangan (tunggal), presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat dan memangku jabatannya selama empat tahun (hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan – 8 tahun). Sistem pemerintahan campuran pada hakikatnya merupakan bentuk variasi dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.
5.4.5.1 Sistem Pemerintahan Indonesia Praamandemen UUD 1945
Pada periode ini dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial dengan ciri-ciri parlementer. Dalam pasal 7 TAP MPR NO. III/MPR/1978 ditentukan bahwa apabila DPR menganggap Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara, UUD 1945 dan lain-lain peraturan, maka DPR dapat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan presiden. Apabila presiden tidak mengindahkan memorandum DPR tersebut, maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Contoh konkret dari sistem ini dalam perjalanan kehidupan politik Indonesia ditandai dengan jatuhnya Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid. Kejatuhan Presiden Soekarno, misalnya, diwarnai kondisi politik pro dan kontra yang diagendakan dalam Sidang Istimewa MPRS dengan meminta pertanggungjawaban Soekarno. Sidang Istimewa tersebut menghasilkan empat ketetapan, salah satu ketetapan tersebut adalah TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tanggal 11 Maret 1967 yang mencabut kekuasaan pemerintah negara Presiden Soekarno.
5.4.5.2 Sistem Pemerintahan Indonesia Pascaamandemen UUD 1945
Pada periode ini bangsa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil. Sistem pemerintahan presidensiil pascaamandemen UUD 1945 merupakan purifikasi sistem pemerintahan presidensiil yang dianut UUD 1945 praamandemen. Pada periode ini, posisi presiden lebih karena proses impeachment harus didahului oleh putusan peradilan (mahkamah konstitusi) tentang tindak pidana yang dilakukan oleh presiden dan/atau wapres sebagaimana ditentukan dalam pasal 7B UUD 1945 tentang prosedur pemberhentian presiden.
5.5 Lembaga-lembaga Negara Pascaamandemen UUD 1945
Perubahan UUD 1945 tidak mengenal lembaga tertinggi dan tinggi negara, melainkan lembaga kekuasaan negara sebagaimana diuraikan berikut ini:
a. Lembaga legislatif, yaitu MPR, terdiri atas DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah),
b. Lembaga eksekutif, yaitu Presiden dan wakil presiden,
c. Lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY),
d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
5.5.1 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Tugas dan wewenang MPR sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Pada pasca-Pemilu 2004, Indonesia menjalankan sistem majelis perundang-undangan kembar (”bikameral” ), di mana MPR terdiri atas DPR dan DPD. Setelah dihapuskannya utusan golongan dari komposisi MPR, maka seluruh anggota dipilih melalui pemilu. Ada beberapa alasan menyebabkan Indonesia menjalankan sistem ”bikameral” yaitu:
– Utusan daerah dan golongan tidak berfungsi efektif dan tidak jelas orientasinya keterwakilannya,
– Kebutuhan mengakomodasikan kepentingan masyarakat daerah secara struktural melalui institusi di tingkat nasional,
– Kebutuhan untuk menerapkan sistem cheks and balances untuk mendorong demokratisasi ketatanegaraan Indonesia.
5.5.2 Dewan Perwakilan Rakyat
Pembentukan dan susunan anggota DPR pascaamandemen UUD 1945 diatur dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) yang menentukan bahwa pembentukan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum dan susunannya diatur dengan undang-undang. Susunan anggota DPR pascaamandemen UUD 1945 diatur dengan UU No. 22 tahun 2003 tanggal 31 Juli 2003 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1999.
Tugas dan wewenang DPR adalah sebagai berikut:
a. Bersama-sama dengan Presiden membentuk undang-undang;
b. Bersama-sama dengan Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. Melakukan pengawasan terhadap undang-undang, APBN dan kebijakan pemerintah;
d. Meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;
e. Membahas hasil pemeriksaan keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK;
f. Melakukan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan MPR kepada DPR.
Untuk melaksanakan tugasnya, DPR memiliki hak-hak, antara lain hak interpelasi (meminta keterangan), hak angket (mengadakan penyelidikan), hak amandemen (mengadakan perubahan), hak mengajukan pendapat, hak mengajukan seseorang jika ditentukan oleh suatu peraturan perundangan, hak inisiatif (mengajukan rancangan undang-undang) dan hak mengajukan pertanyaan, protokoler serta keuangan/administratif.
5.5.3 Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Amandemen UUD 1945 melahirkan dan sekaligus menambah sebuah lembaga legislatif baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pasal 22C dan 22D diatur bahwa keanggotaan DPD dipilih melalui pemilihan umum, persidangan sedikitnya dilakukan sekali dalam satu tahun, berwenang mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang berkaitan dengan otonomi daerah dan DPD mengawasi pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah.
5.5.4 Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Berdasarkan perubahan keempat UUD 1945, kedudukan, fungsi dan peranan DPA telah dihapuskan dalam kelembagaan negara. Pasal 16 perubahan keempat UUD 1945 berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasita dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang.”
Wacana dan isu yang berkembang sebelum DPA dibubarkan adalah bahwa keberadaan DPA banyak dipertanyakan mengingat sebagai lembaga tinggi negara, DPA hanya memiliki hak memberikan saran atau nasihat kepada Presiden, tanpa diatur dengan jelas bagaimana bentuk tanggung jawab DPA. Tidak ada sanksi apa pun yang secara imperatif mengikat Presiden bila saran DPA tidak dilaksanakan. [Syahrial 126-127]
5.5.5 Presiden
5.5.5.1 Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
Menurut Pasal 4 UUD 1945, Presiden Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar. Artinya, Presiden adalah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Dalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden. Sesuai pasal 17 ayat (1) UUD 1945, Presiden juga dibantu oleh menteri-menteri. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
5.5.5.2 Kekuasan Presiden sebagai Kepala Negara
Pasal 10 – 15 mengatur kekuasaan Presiden selaku kepala negara:
a. Ketetapan MPR no. VII/MPR/2000 menyatakan bahwa TNI (AD, AL dan AU) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (RI) berada di bawah Presiden. Pimpinan TNI seorang panglima TNI, sedangkan pimpinan Polri adalah kepala kepolisian RI. (pasal 10)
b. Hak menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengna persetujuan DPR (pasal 11).
c. Menyatakan negara dalam keadaan bahaya (pasal 12).
d. Mengangkat duta dan konsul dan menerima duta lain dengan persetujuan DPR (pasal 13).
e. Memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (pasal 14). Dalam memberi grasi dan rehabilitasi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, sedangkan dalam memberi amnesti dan abolisi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR.
f. Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan (pasal 15).
5.5.6 Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (MA) merupakan badan peradilan tertinggi, artinya terhadap putusan yang diberikan tingkat akhir oleh badan peradilan lain dapat dimintakan kasasi kepada MA. MA juga melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan badan-badan peradilan itu. Hakim agung diangkat oleh presiden selaku kepala negara dari daftar nama yang diusulkan oleh DPR.
Dalam TAP. MPR No. III/MPR/1978 ditetapkan MA dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi negara serta mempunyai wewenang menguji secara material di bawah undang-undang. Pemeriksaan dilakukan sekurang-kurangnya oleh tiga hakim.
5.5.7 Mahkamah Konstitusi (MK)
Keberadaan lembaga MK merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan Indonesia. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini tersendiri. Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk lembaga ini dan merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuknya.
Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa MA perlu diberi kewenangan untuk membanding UU. Namun, ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo dengan alasan UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham Trias Politika.
Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Menguji undang-undang terhadap UUD;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e. Memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum.
Kedudukan MA dan MK adalah sederajat, kedua lembaga tersebut hanya berbeda dalam fungsi dan wewenangnya. MA lebih menitikberatkan pada pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan MK lebih menitikberatkan pada pengadilan hukum (court of law).
5.5.8 Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial (KY) juga adalah lembaga baru di lingkungan kekuasaan kehakiman. KY tidak berperan dalam proses peradilan tetapi sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya KY dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan menegakkan kehormatan hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5.5.9 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga tinggi negara dengan tugas khusus untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara, apakah telah digunakan sesuai dengan yang telah disetujui DPR (pasal 23 ayat (5)). Badan ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. Hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR guna dipakai sebagai bahan penilaian atau pengawasan dan bahan pembahasan Rancangan APBN tahun berikutnya.
6. Penutup
Pancasila lahir dari budaya masyarakat Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghargai budayanya. Budaya dihargai karena di dalamnya banyak nilai-nilai luhur. Nilai luhur itu terus dihidupi sebagai suatu asas hidup bermasyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan dan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang luhur itu dihidupi dan dijadikan aturan hidup sehari hari sebagai norma (sila) yang kemudian dari sanalah lahir istilah Pancasila.
Walaupun pada awalnya, belum dipakai istilah Pancasila namun nilai-nilai tersebut telah terkandung di dalamnya. Dengan demikian jelaslah bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang telah lama dihidupi oleh masyarakat Indonesia. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit telah banyak nilai-nilai kehidupan yang diterapkan oleh kerajaan kepada masyarakatnya yang dihidupi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sudah ada sejak zaman dahulu.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dikukuhkan dalam sidang I BPPK pada tanggal 1 Juni 1945, menjelang hari kemerdekaan Indonesia. Dasar itu berupa suatu Filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesia yang merdeka. Terbentuknya Pancasila mendahului terbentuknya suatu negara Indonesia yang merdeka. Dengan demikian Pancasila menjadi dasar berdirinya negara Indonesia.
Sebagai dasar dan fondasi negara Indonesia, Pancasila menjadi sumber segala hukum dan peraturan ketatanegaraan Indonesia. Pancasila menjiwai seluruh peraturan yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan bangsa. Karena mendasari segala peraturan maka Pancasila dalam hukum dan peraturan itu mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, tak tergantikan dan tak berubah bagi negara Indonesia.
Kedudukan pokok Pancasila bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebagai dasar negara. Pernyataan demikian berdasarkan ketentuan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut : “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara menjadikan setiap tingkah laku dan setiap pengambilan keputusan para penyelenggara negara dan pelaksana pemerintahan harus selalu berpedoman pada Pancasila, dan tetap memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur serta memegang teguh cita-cita moral bangsa. Pancasila sebagai sumber nilai menunjukkan identitas bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Hal ini menandakan bahwa dengan Pancasila bangsa Indonesia menolak segala bentuk penindasan, penjajahan dari satu bangsa terhadap bangsa yang lain. Bangsa Indonesia menolak segala bentuk kekerasan dari manusia satu terhadap manusia lainnya, dikarenakan Pancasila sebagai sumber nilai merupakan cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari bangsa Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber acuan dalam menyusun etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia, maka Pancasila juga sebagai paradigma pembangunan, maksudnya sebagai kerangka pikir, sumber nilai, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu. Pancasila sebagai paradigma pembangunan mempunyai arti bahwa Pancasila sebagai sumber nilai, sebagai dasar, arah dan tujuan dari proses pembangunan. Untuk itu segala aspek dalam pembangunan nasional harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila Pancasila dengan mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten berdasarkan pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia.
Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai fungsi sebagai acuan bersama, baik dalam memecahkan perbedaan serta pertentangan politik di antara golongan dan kekuatan politik yang ada. Ini berarti bahwa segenap golongan dan kekuatan yang ada di Indonesia ini sepakat untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan bingkai Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara adalah nilai-nilai Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara. Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara. Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber semangat bagi para penyelenggara negara dan para pelaksana pemerintahan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya agar tetap diliputi dan diarahkan pada asas kerohanian negara seiring dengan perkembangan jaman dan dinamika masyarakat.
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, menurut sistem konstitusi kita mengandung makna yang penting sekali, yakni 1) sebagai Dasar Negara Republik Indonesia khusus sebagai dasar falsafahnya, 2) sebagai norma pokok atau kaidah fundamental hukum kita yang merupakan sumber utama tertib hukum Indonesia. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Pancasila di atas segala-galanya. Dengan demikian dalam penyusunan segala undang-undang dan hukum yang berlaku di Indonesia ini selalu berdasar pada Pancasila. Sistem pemerintahan yang berlaku sesuai dengan Pancasila yakni sila ke-4. Jadi segala bentuk undang-undang yang berhubungan dengan pemerintahan selalu bercermin pada nilai-nilai Pancasila. Bentuk pemerintahan yang berbentuk demokrasi adalah suatu nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem ketatanegaraan dengan segala aparatnya adalah suatu bentuk ketatanegaraan yang berdasar pada Pancasila. Dalam perjalanannya, Pancasila telah menuntun pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat Indonesia yang luhur.
Dasar-dasar pokok kenegaraan bersumber pada norma-norma pokok kenegaraan yang merupakan fundamen negara, yang dirumuskan dalam konstitusi. Adapun isi konstitusi atau pokok-pokok kenegaraan yang diatur dalam konstitusi itu pada umumnya merupakan norma atau prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak mereka yang diperintah dan hubungan pemerintah dan yang diperintah. Segala pokok atau asas kenegaraan diatur dan ditetapkan dalam undang-undang dasar negara untuk diselenggarakan lebih lanjut secara konsekuen dalam ketatanegaraan.
Dari semua penjelasan di atas, pada akhirnya boleh dikatakan bahwa Pancasila selain menjadi pandangan hidup bangsa juga menjadi hukum tertinggi yang merangkum semua hukum yang berlaku di Negara kita ini. Dengan kata lain Pancasila merupakan fundamen bangsa yang menjiwai seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
7. Refleksi
Apabila kita masih tetap ingin berpegang kepada apa yang telah digariskan oleh para pendiri Negara Republik Indonesia dan para penyusun UUD 1945, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur Pancasila, maka kita tidak dapat melepaskan diri dari wawasan, bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar dari pada semua kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat cita hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang berfungsi konstitutif terhadap norma hukum dan ketatanegaraan bangsa Indonesia. Norma fundamental negara yang adalah Pancasila membentuk norma-norma hukum bawahannya secara bejenjang-jenjang. Norma hukum yang di bawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi. Norma hukum yang lebih tinggi dilengkapi oleh norma hukum yang di bawahnya. Keduanya saling melengkapi.
Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tidak statis, melainkan dinamis, dengan gerakan-gerakannya yang positif dan serasi. Namun tetap berpegang pada konsep dasar dari Pancasila tersebut. Tetapi ternyata gerakan-gerakan sila-sila tersebut tidak senantiasa bergerak dalam suatu lingkaran yang selaras dan seimbang. Karena pada peristiwa-peristiwa penting tertentu, seperti krisis-krisis yang menimpa ketatanegaraan, sebagai gejolak kehidupan bangsa tersebut tampak menonjol satu atau beberapa sila saja. Hal ini secara silih berganti bisa terjadi pada setiap sila dalam peristiwa –peristiwa lain, menurut sifat tantangan bahaya yang dihadapi bangsa dan negara. Tetapi bila mana masyarakatnya pulih kembali menjadi stabil, kembalilah sila-sila Pancasila atau ke dalam gerak yang lingkarannya yang serasi dan seimbang.
Pancasila, proklamasi 17 Agustus 1945, dan UUD 1945 yang merupakan cita-cita bangsa saling berkaitan dan kaitan itu mengarah pada pembentukan ketatanegaraan Republik Indonesia dan segala sistem pemerintahannya. Hal ini perlu dicermati sebagai perjuangan untuk meningkatkan kesatuan masyarakat Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bangsa merupakan perjuangan penegakan jiwa Pancasila yang telah berabad-abad lamanya dicita-citakan. Selanjutnya tujuan dan cita-cita proklamasi yang sudah kita lihat dalam UUD 1945 yang terbagi dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD hendaknya dimengerti dan dihayati. Karena di sanalah termaktub sumber tata tertib hukum Indonesia.
Pada pembukaan UUD 1945 telah dijelaskan alasan bangsa Indonesia untuk mendirikan suatu negara. Di dalamnya juga secara resmi dirumuskan kelima sila Pancasila sebagai falsafah negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan, diungkapkan secara terperinci dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang terdiri dari 37 pasal, 4 aturan peralihan dan 2 aturan tambahan. Secara khusus, pada pembukaan UUD 1945 dalam alinea IV, disebutkan bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, dan kemudian dipertegas kembali pada pasal 1 yang mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan. Hal ini hendak menandaskan tuntutan jiwa Pancasila, yaitu terbentuknya negara kesatuan.
Pada akhirnya penulis menyarankan supaya pewarisan dalam arti penerusan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia, dari generasi ke generasi, harus dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab, demi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Diusulkan supaya pemerintah tetap melanjutkan penataran P4 secara bertahap, sehingga segenap lapisan masyarakat Indonesia mendapatkannya. Hal ini dimaksudkan agar Pancasila tidak hanya di bibir saja atau diyakini saja tetapi supaya dapat pula dijiwai sampai kepada tulang sumsum anggota masyarakat. Sehingga semangat Pancasila tidak hanya tampak dalam segala tingkah laku manusia Indonesia, bahkan akan meresap hingga menjadi suatu tindakan reaktif yang bersifat otomatis dan mekanis dari budi nurani manusia Indonesia, setiap saat ia menghadapi tantangan atau permasalahan di dalam hidupnya.
Nilai-nilai Pancasila harus kita hayati sungguh-sungguh dan kita amalkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa, jika kita tidak ingin tenggelam dalam arus dunia yang makin menggelora dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan atau teknologi, jika kita tidak ingin terseret dan terombang-ambing oleh gelombang dunia modern yang makin melanda setiap bangsa.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. Mahkamah Kontitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Pematangsiantar: Sekolah Tinggi Teologia (STT), 2005.
Bangun, Zakaria. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Medan: Bina Media Perintis, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Heuken, A. at al, “Negara”, dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jilid III. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1988.
“Hakikat Bangsa dan Negara”, dalam http://halil4.files.wordpress.com/2009/12/bab-i-bentuk-negara-1.ppt, 23 Februari 2010.
Jarmanto, Pancasila: Suatu Tinjauan Aspek Historis dan Sosio-Politis. Yogyakarta: Liberty, 1982.
Lasiyo-Yuwono, Pancasila: Pendekatan Secara Kefilsafatan. Yogyakarta: Liberty, 1985.
Mardojo, M. “Saat-saat yang Menentukan dalam Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia” dalam Darji Darmodiharjo (ed), Santiaji Pancasila Suatu Tinjauan Historis dan Yuridis Konstitusional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1983.
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Purbopranoto, Kuntjoro. “Pancasila Ditinjau dari Segi Hukum Tata Negara”, dalam Darji Darmodiharjo (ed.) Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Konstitusional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Semantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 2006.
Setiawan, E. at al, “Hukum Tata Negara” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 11. Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.
Wahjono, Padmo. “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan”, dalam Oetojo Oesman dan Alvian (ed.), Pancasila sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat, 1990.